Monday 3 December 2012

Bahayakah murjiah

Neo-Murji’ah (Murji’ah Masa Kini, Lebih Radikal)

Oleh: As-Syaikh Abdul-Malik Ramadhon al-Jazairi Hafidzahullah

Setelah melihat kebanyakan orang-orang yang memiliki maksud jelek menuding Syaikh Bin Baz, Syaikh al-Albani, & Syaikh al-Utsaimin dengan tuduhan irja’, maka sayapun terdorong menulis pasal ini. Tudingan itu mereka lontarkan hanya karena ulama tersebut menafsirkan surat al-Maidah ayat 44 (yang berbicara tentang berhukum dengan hukum Alloh) berdasarkan perincian yang telah dikenal di kalangan ulama salaf, mereka tidak mengkafirkan secara mutlak.
Dan karena para ulama tersebut melarang melakukan pemberontakan terhadap penguasa muslim yang zhalim selama belum terbukti kekufurannya, bahkan kalau nyata-nyata kafir. Mereka juga melarang mengadakan pemberontakan jika tidak ada maslahat syar’i-nya & kemampuan untuk itu tidak dimiliki….
Maka dari itu saya katakan:
[1.] Bahwasanya pendapat yang membolehkan mengadakan pemberontakan itulah sebenarnya pendapat Murji’ah. Ibnu Syahin meriwayatkan dari ats-Tsauri bahwa ia berkata: “Jauhilah hawa nafsu yang menyesatkan itu!”, “Jelaskan kepada kami maksudnya?”, pinta seseorang.
Sufyan ats-Tsauri pun berkata: “Adapun Murji’ah mereka mengatakan… (beliau menyebutkan beberapa pemikiran Murji’ah)”, kemudian beliau berkata: “Mereka menghalalkan darah ahli kiblat (kaum muslimin).” [Al-Kitab al-Lathif: 15, Syarah Ushul I'tiqod oleh al-Lalika'i: 1834].
Seseorang berkata kepada Abdulloh ibnul-Mubarok: “Apakah engkau menganut pemikiran Murji’ah?” Jawab beliau: “Bagaimana mungkin aku penganut paham Murji’ah sementara aku tidak menghalalkan darah kaum muslimin!” [Al-Kitab al-Lathif: 17].
Bahkan al-Imam ash-Shabuni meriwayatkan dengan sanad yang shahih sampai kepada Ahmad bin Sa’id ar-Ribathi bahwa ia berkata: “Abdulloh bin Thahir berkata kepadaku: “Wahai Ahmad, kalian ini membenci mereka (yakni Murji’ah) atas dasar kejahilan! Dan aku membenci mereka atas dasar ilmu. Pertama, mereka tidak memandang wajib taat kepada sultan…” [Aqiidatus-salaf Ashhabul-Hadits: 109].
Bukankah nash-nash ulama salaf di atas secara tegas menyatakan bahwa merekalah sebenarnya Murji’ah! Dan para ulama tersebut bersih dari tudingan mereka itu!?
Catatan penting:
Satu hal yang aneh bin ajaib, Safar al-Hawali tidak memahami hubungan yang sangat jelas antara Murji’ah dan Khawarij. Ia berkata: “Sebagaimana sebuah pernyataan al-Imam Ahmad yang sulit memahaminya, yaitu ucapan beliau: “Sesungguhnya Khawarij itulah Murji’ah!
Kemudian ia menakwilkannya secara sembarangan, ia berkata: “Menafsirkan kalimat Murji’ah di sini dengan irja’ para sahabat kelihatannya lebih memungkinkan!” [Zhahirotul-Irja': I/361].
Sekiranya ia memeriksa atsar-atsar ulama salaf di atas tentunya tidak akan sulit baginya memahami hubungan antara Murji’ah dan Khawarij dalam masalah pemberontakan terhadap penguasa.
Oleh sebab itu tidak mengherankan bila bid’ah Murij’ah muncul setelah terjadinya pemberontakan, Qotadah berkata “Sesungguhnya Murji’ah itu muncul setelah pemberontakan Ibnul-Asy’ats.” [Riwayat Abdulloh bin al-Imam Ahmad dalam As-Sunnah: 644, dll. riwayat ini hasan].
Bukti lain yang menunjukkan bahwa merekalah sebenarnya Murji’ah adalah:
[2.] Tidak mengucapkan istitsna’ tatkala menyatakan keimanan (yaitu ucapan: Saya seorang mukmin, insya Alloh, -pent.) berikut beberapa perincian dalam masalah ini.
Walaupun secara lisan sebagian mereka mengaku mengikuti manhaj salaf. Coba lihat perkataan mereka: “Asy-Syahid Hasan al-Banna…, asy-Syahid Sayyid Quthb….” Sekiranya dikatakan kepada mereka: “Kalaulah pemberian gelar asy-Syahid itu merupakan kewajiban haroki bagi kalian, maka apa beratnya bila kalian sebutkan istitsna’ (insya Alloh)? Bukankah Imam al-Bukhori telah menulis sebuah bab dalam Kitabul-Jihad yang berbunyi: “Bab Jangan Katakan Si Fulan Syahid“. Beliau menyebutkan beberapa dalil dalam masalah ini. Sudah berulang kali mereka diminta untuk itu, namun mereka tetap keberatan. Mereka malah membalas: “Tujuan kalian hanyalah mendiskreditkan jihad & hanya diperalat oleh spionase internasional!”
Keberatan mengucapkan istitsna’ itulah hakikat bid’ah irja’! Abdurrohman bin Mahdi berkata: “Hakikat irja’ adalah menolak mengucapkan istitsna’!” [Al-Khallal dalam as-Sunnah: 1061, dll.]
[3.] Kembali pada pokok permasalahan, perlu Anda ketahui bahwa pokok kesalahan kaum Murji’ah generasi pertama adalah terlalu membesar-besarkan perkara iman dan menyepelekan perkara maksiat. Mereka menyangkal iman dapat terhapus karena dosa. Mereka mengatakan: “Dosa tidak dapat melunturkan iman!” Itulah pangkal kesesatan mereka.
Adapun pokok kesalahan mereka sekarang ini adalah terlalu membesar-besarkan masalah politik. Siapa saja yang ikut dalam gerakan mereka akan mendapat loyalitas penuh. Dosa tidak dapat mempengaruhi fiqih haraki!Meskipun dosa syirik kepada Alloh robbul-’alamin sekalipun! Buktinya berapa banyak tokoh dan pemimpin mereka yang jatuh dalam kesalahan besar, namun tidak seorangpun di antara mereka yang tergerak mengkritiknya demi membela agama! Semangat mereka hanyalah untuk membela kelompok dan golongan mereka saja.
Coba lihat bagaimana heboh dan gegernya mereka ketika Syaikh Abdul-Aziz bin Baz dan Syaikh al-Albani menganjurkan agar menghentikan perlawanan berdarah melawan Yahudi selama memulihkan kekuatan kaum muslimin! Padaha fatwa tersebut berasal dari dua orang mujtahid abad ini!
Adapun apabila tokoh dan pemimpin mereka yang salah, maka sebagai anggota harokah mereka tertuntut menutup mata terhadap kesalahan itu walau sebesar apapun kesalahan tersebut. Betapa sering mereka mengeluarkan fatwa yang berakibat tertumpahnya darah, terkoyaknya kehormatan, dan terampasnya harta benda! Itupun kalaulah kita anggap mereka sudah mencapai derajat seorang penuntut ilmu!
Buktinya, coba lihat Ali bin Haj yang mengeluarkan fatwa sehingga mengakibatkan terbunuhnya ribuan kaum muslimin dan selebihnya terusir dari kampung halaman mereka serta menyebar rasa takut di dalam negeri yang sebelumnya aman, lalu seenaknya saja ia berkomentar dengan membawakan ajaran-ajaran demokrasi sebagaiman yang telah saya nukil di atas. Namun, menurut mereka hanya para penjilat pemerintah sajalah yang berani mengkritik komentarnya.
Sebelumnya, Sayyid Quthb mencela sejumlah Nabi ‘alaihimus-salam, ia juga mencela beberapa orang sahabat yang telah ditetapkan masuk surga, ia beranggapan bahwa politik syar’i itu sejalan dengan paham sosialis! Dan masih banyak lagi kebatilan-kebatilan lainnya yang telah dijelaskan oleh Syaikh Robi’ al-Madkholi dalam beberapa kitab beliau yang terakhir.

Dan masih banyak sebenarnya contoh-contoh lainnya! Namun kesalahan-kesalahan sebesar itu tidaklah melunturkan iman mereka dan tidak menurunkan derajat mereka. Bahkan menurut mereka sangat celaka orang yang berpikiran mengkritik mereka, sebab itu sama saja dengan menodai ruh jihad. Lalu mereka berangan-angan (setelah berbuat nista, bid’ah, dan kufur itu), daulah Islam yang ditunggu-tunggu itu telah muncul di Afghanistan dan Sudan. Salman al-Audah mendengung-dengungkannya dalam kaset ceramahnya berjudul: “Limaadza Yakhofuuna minal-Islam?” Akan tetapi sangat jauh panggang dari api! Bukankah Alloh telah mengatakan: [QS. An-Nisaa': 123].
Oleh sebab itu sebagian ahli ilmu menyebut mereka: Kaum Murji’ah radikal!Sebab, kaum Murji’ah generasi pertama membesar-besarkan masalah iman yang memang merupakan inti agama, sementara mereka membesar-besarkan sesuatu yang merupakan perkara parsial dalam agama, yaitu politik. Dan perlu diketahui juga bahwa praktik politik yang mereka lakukan itu tidak terlepas dari racikan ajaran sosialis dan demokrasi. Hal itu dapat terlihat jelas dalam buku-buku karangan Sayyid Quthb dan orang-orang yang satu pemikiran dengannya. Atau dapat kita sebut sebagai bid’ah fiqih haraki!
Kaum Murji’ah terdahulu tidaklah menampik bila dosa syirik dapat melunturkan keimanan, bahkan mereka menyatakan bahwa kebaikan tidaklah ada gunanya bila masih kafir. Lain halnya mereka yang selalu membela dan mendukung tokoh-tokoh mereka meskipun telah mengucapkan kata-kata yang jelas kekufurannya, sebagaimana yang telah saya nukil di atas.
[4.] Kemudian dari kaidah ini berlanjut kepada kaidah Murji’ah lainnya, yaitu: Tidak wajib menyampaikan Sunnah kepada manusia dan tidak perlu menyanggah ahli bid’ah.
Setelah berbicara tentang ahli takfir, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Sebagai lawan dari ahli takfir yang mengkafirkan kaum muslimin secara bathil adalah sekelompok orang yang tidak mengenal aqidah Ahlussunnah wal-Jama’ah sebagaimana mestinya. Atau mereka hanya mengetahui satu sisi saja dan jahil terhadap sisi yang lain. Dan yang mereka ketahui itupun mereka sembunyikan, tidak mereka sampaikan kepada manusia. Mereka tidak melarang bid’ah yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka tidak mencela ahli bid’ah dan tidak menjatuhkan sanksi terhadapnya. Sebaliknya mereka mencela pembicaraan tentang Sunnah Nabi dan ushuluddin secara mutlak…. Atau mereka mengakui eksistensi semua kelompok-kelompok yang saling bertentangan aqidahnya satu sama lain. … Metode seperti ini banyak memperdaya kaum Murji’ah, sebagian orang yang mengaku faqih, kaum sufi dan para filosof… dan kedua cara tersebut (yaitu cara-cara ahli takfir dan kaum Murji’ah serta semua orang yang mengikutinya) adalah menyimpang dan menyalahi al-Qur’an dan as-Sunnah.” [Majmu' Fatawa: XII/467 dan Badai'ut-Tafsir karangan Ibnul-Qoyyim: V/458].
Tidak ada yang menyanggah bahwa cara seperti di atas merupakan pilar utama tegaknya ajaran harakah. Adakah yang ragu bahwa mereka mengatakan: “Marilah kita saling toleran dalam masalah-masalah yang kita perselisihkan, dan marilah kita bekerja sama dalam perkara yang kita sepakati“. Sudah saya jelaskan pada catatan kaki sebelumnya dari perkataan Hasan al-Banna bahwa maksud mereka adalah segala macam perselisihan. Mereka sengaja mempromosikan kaidah tersebut, karena bila mereka menyanggah ahli bid’ah, maka akan berlarianlah pengikut mereka yang selama ini membantu mereka dalam kesesatan.
Ternyata perlakuan istimewa ini tidak hanya terhadap ahli bid’ah saja, tetapi juga orang kafir. Sudah saya nukil pernyataan mereka sebelumnya tentang kerelaan mereka mengangkat kaum Nashrani sebagai saudara setanah air, bahkan meminta agar mewujudkan hal itu. Saya juga sudah menukilpernyataan Hasan al-Banna dan Yusuf al-Qaradhawi bahwa persengketaan antara penduduk muslim Palestina dengan bangsa Yahudi bukanlah masalah agama. (Tapi masalah politik, sehingga tidak ada jihad karena tujuannya bukan kepada Alloh, -ed.)
Setelah itu semua, lalu apakah lagi yang bisa diharapkan dari mereka?
Dalam keempat poin itulah mereka setali tiga uang dengan kaum Murji’ah, lalu siapakah sebenarnya yang layak disebut Murji’ah? Bukankah ini yang namanya senjata makan tuan? Semua perkara terpulang kepada Alloh semata.
[Sumber: Pandangan Tajam terhadap Politik, antara Haq dan Bathil jilid 1, (Madarikun Nazhar fis-Siyasah...), Syaikh Abdul-Malik Ramadhon al-Jazairi)


No comments: