Nifas adalah darah yang keluar oleh
rahim karena proses kelahiran, yang bisa jadi keluarnya bersamaan dengan
kelahiran atau sesudahnya atau bisa juga sebelumnya dalam jangka dua
tiga hari yang disertai dengan munculnya rasa sakit.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
darah yang didapati oleh seorang wanita ketika mulai merasakan sakit
itulah darah nifas. Beliau tidak mengaitkan dengan waktu dua atau tiga
hari, dan yang di maksud rasa sakit adalah rasa sakit yang diikuti oleh
kelahiran.
Para ulama berbeda pendapat tentang
batasan minimal dan maksimal masa nifas. Asy syaikh Taqiyuddin ( Ibnu
Taimiyyah ) dalam risalah beliau Fil Asma’ allaqasy syari’ al ahkama
biha ( halaman 37 )
“ adapun nifas maka tidak ada
batasan minimal maupun maksimalnya. Kalau seandainya ada seorang wanita
yang mendapati darahnya lebih dari 40 hari atau 60 hari atau 70 hari
kemudian baru berhenti, maka itulah nifasnya. Akan tetapi jika terus
menerus, maka darah tersebut darah fasad ( istihadhah ). Dan jika ini
yang terjadi padanya, maka masa nifasnya dihitung 40 hari, karena inilah
puncak dari kebanyakan atsar- atsar yang datang menjelaskan batasan
lamanya haid.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
atas dasar itu, jika darahnya melampaui 40 hari dan kebiasaanya berhenti
40 hari atau tampak tanda- tanda akan berhentinya maka dia menunggu
hingga darahnya betul-betul berhenti. Jika tidak, maka dia mandi ketika
genap 40 hari. Dikecualikan jika bersambung dengan kebiasaan masa
haidnya, maka dia menunggu hingga selesai masa haidnya.
Jika darah ( setelah kelahiran)
tersebut berhenti maka dihukumi suci walaupun belum mencapai 40 hati.
Maka segera mandi dan di halalkan baginya untuk melakukan shalat. Akan
tetapi jika berhentinya kurang dari satu hari (24 jam –pen), maka tidak
di hukumi suci.
Jika ternyata seorang keguguran, dan
yang keluar tidak jelas berbentuk manusia, maka darahnya tidak dihukumi
sebagai darah nifas, akan tetapi darah urat sehingga berlaku padanya
hukum wanita yang mengalami istihadhah.
Al Majd Ibnu Taimiyah ( kakek Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah ) berkata : maka kapan saja seorang wanita mendapati
darah yang tidak disertai rasa sakit sebelum masa tersebut, maka dia
tidak memperdulikannya. Adapun jika terjadi sesudah masa tersebut maka
dia menahan diri dari shalat dan puasa. Kemudian juka sesudah kelahiran (
keguguran ) tersebut terungkap kenyataan yang menyelisihi dzahirnya
maka dia kembali melakukan ibadah dan mengejar ( yang tertinggal dengen
mengqodhonya). Dan jika tidak terungkap perkaranya, maka hukumnya dzahir
berlaku dan tidak ada kewajiban untuk mengulangi ( ibadah yang di
tinggalkan tersebut –pen)( ucapan beliau dinukil dalam Syarhul Iqna ‘)
Hukum –hukum nifas
Hukum –hukum nifas sama dengan hukum pada permasalahan haid, kecuali dalam perkara-perkara berikut ini :
1. Masalah iddah
Maka ‘iddah talaqnya diperhitungkan
dengan haid, tidak dengan nifas. Karena jika talaqnya terjadi sebelum
kelahiran, maka ‘iddahnya berakhir dengan kelahiran tersebut bukan
dengan nifas. Sedangkan jika terjadi sesudah kelahiran, maka di tunggu
kembali masa haidnya.
2. Masa Ila
Diperhitungkan berdasarkan masa haid, bukan berdasarkan masa nifas. Sedangkan yang dimaksud dengan ila adalah sumpah seorang suami untuk meninggalkan menggauli istrinya untuk selama-lamanya atau waktu yang lebih dari 4 bulan.
Sehingga jika ada seorang suami yang
bersumpah, kemudian istrinya menuntut agar sang suami menggaulinya maka
diberikan waktu kepada suami selama empat bulan sejak sumpahnya. Jika
telah genap empat bulan, maka sang suami dipaksa untuk menggaulinya atau
berpisah dengan istrinya berdasarkan permintaan istri. Masa ( empat
bulan ), jika ternyata seorang nifas, maka masa nifasnya tersebut tidak
diperhitungkan, sehingga ditambahkan kepada masa empat bulan tadi,
sesuai masa nifasnya. Berbeda dengan masa haid tersebut masuk dalam masa
yang di perhitungkan untuk sang suami tadi.
3. Masa baligh
Masa baligh dicapai dengan terjadinya
haid, bukan dengan terjadinya nifas. Karena seorang wanita tidak mungkin
akan hamil sampai wanita mengalami inzal ( keluar mani), sedangkan
tercapainya masa baligh adalah dengan keluarnya mani yang mendahului
terjadinya proses kehamilan.
4. Darah haid jika terputus kemudian keluar dari dalam masa biasa terjadi haid, maka secara yakin di hukumi sebagai haid.
Misalnya : kebiasaan seorang wanita
haidnya delapan hari, ternyata dia melihat darahnya selama empat hari
kemudian berhenti selama dua hari, kemudian keluar lagi pada hari
ketujuh dan kedelapan. Maka darah yang keluar secara yakin merupakan
darah haid sehingga berlaku padanya hukum-hukum haid.
Adapun darah nifas, jika berhenti
sebelum 40 hari kemudian keluar darah lagi pada hari ke 40 maka
diragukan keadaan darah tersebut.
Dalam permasalahan seperti itu pendapat
yang benar, bahwa darah tersebut jika kembali keluar pada masa yang
memungkinkan wanita tersebut masih dalam masa nifas. Maka dihukumi
sebagai darah nifas, jika tidak maka dihukumi darah haid. Kecuali jika
terus menerus keluar maka di hukumi sebagai darah istihadhah. Pendapat
ini mirip dengan apa yang dinukilkan di dalam Al Mugni ( 1/349) dari
ucapan Al Imam Malik dimana beliau berkata :
“ jika seorang wanita mendapatkan
darahnya keluar lagi sesudah dua atau tiga hari terhenti maka darah
tersebut darah nifas. Jika tidak maka darah haid”
Ini pula pendapat yang di pilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Tidak ada dalam perkara darah – darah
tersebut sesuatu yang diragukan menurut realiata yang ada pada darah
tersebut. Akan tetapi karaguan ini adalah perkara yang sifatnya nisbi (
relatif). Berbeda sesuai dengan kadar ilmu dan pemahaman yang ada pada
masing-masing orang. Sedangkan pada Al Kitab dan As Sunnah ada
keterangan yang menjelaskan segala sesuatu.
Adapun seorang yang telah menjalankan
beban syariat sesuai dengan batas kemampuan yang ada pada dirinya, maka
sudah lepas tanggungannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“ Allah tidak membenani seorang melainkan sesuai dengan kesanggupanya..” ( Al Baqarah : 286 )
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُ
“ maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggunpanmu “ ( At Taghabun : 16)
5. Jika seorang wanita telah suci dari haidnya sebelum masa kebiasaan dari haidnya.
Dibolehkan bagi sang suami untuk
menggaulinya tanpa ada sedikitpun kemakhruhan pada perbuatan tersebut.
Adapun nifas, jika dia telah suci sebelum 40 hari, maka makruh sang
suami untuk menggaulinya menurut pendapat yang mashur dalam madzab (
Hanabila, -pen)
Pendapat yang benar bahwa tidak di
makruhkan bagi sang suami . inilah pendapat jumhur ( mayoritas) ulama.
Karena menghukumi makruh terhadap sesuatu perkara adalah hukum syar’i
yang butuh dalil syar’i. Dan tidak ada dalil dalam permasalahan ini
kecuali riwayat yang disebutkan oleh Al Imam Ahmad, dari ‘Utsman bin
Abil ‘Ash : bahwa istrinya mendatanginya sebelum genap masa nifasnya 40
hari. Maka dia berkata kepada istrinya : “ Jangan kau dekati aku “
Ucapan beliau tersebut tidaklah
mengharuskan hukum makruh. Karena bisa jadi ucapan tersebut muncul
sebagai bentuk kehati-hatian, khawatir istrinya belum yakin betul akan
kesuciaanya, atau khawatir akan menyebabkan keluar kembali darahnya
akibat jima’ atau bisa juga sebab sebab yang lain. Wallahu’alam
( diambil dari buku, Probelma Darah Wanita, Ash Shaf, Media)
No comments:
Post a Comment