Wednesday 11 December 2013

Ayat-Ayat Al-Quran & Hadith-Hadith Yang Melarang Berzikir Dengan Suara Yang Kuat

October 28, 2013 at 10:20pm
Ayat al-Quran Yang Melarang Mengeraskan Zikir :

1- Surah Al A'raf, ayat 205

Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah.

2- Surah Al A'raf, ayat 55

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

3- Surah Al Isra', ayat 110

Katakanlah (Muhammad), "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahmaan. Dengan nama Allah yang mana saja kamu dapat menyeru, kerana Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (Asmaa'ul Husnaa) dan janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam solat dan janganlah pula merendahkannya dan usahakan jalan tengah di antara kedua itu.

Hadith-Hadith Yang Melarang Berzikir Dengan Suara Yang Kuat :

Imam al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahawa Abu Musa al-Anshari berkata:

Kami pernah bersama-sama Nabi di dalam satu ekspedisi apabila ada beberapa orang yang menyebut "Allahu Akbar" dengan suara yang kuat. Mendengar itu, Nabi menegur mereka dengan berkata:

أيها النس اربعوا على أنفسكم انكم ليس تدعون أصم ولا ئبا. انكم تدعون سميعا قريبا وهو معكم.

Wahai manusia! Kasihanilah diri kamu kerana bukanlah kamu menyeru (berdoa) kepada Dzat yang pekak lagi jauh. Sesungguhnya kamu menyeru kepada Dzat yang Maha Mendengar lagi dekat bersama kamu. - Shahih al-Bukhari (no. 2830).

Dalam hadis yang lain, Imam Malik telah meriwayatkan bahawa al-Bayadhiyyi telah berkata:

أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ خَرَجَ عَلَى النَّاسِ وَهُمْ يُصَلُّو نَ وَقَدْ عَلَتْ أَصْوَا تُهُمْ بِالْقِرَاءَةِ فَقَالَ: أَنَّ الْمُصَلِّي يُنَا جِيْ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يُنَاجِيْهِ وَلاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَىَ بَعْضٍ بِالْقِرْ آنِ.

Bahawa Rasulullah pada suatu ketika keluar kepada orang ramai. Didapatinya ramai orang bersolat dan ramai pula yang mengeraskan (meninggikan) suara mereka dalam membaca al-Qur’an. (Melihat yang demikian) Maka Rasulullah bersabda: Sesungguhnya orang yang sedang bersolat itu sedang munajat atau berkomunikasi dengan Tuhannya ‘Azza wa Jalla, maka seharusnya dia mengetahui apa yang diperkatakannya itu! Dan janganlah pula sebahagian kamu mengeraskan suara melebihi yang lainnya dalam membaca al-Qur'an. - Musnad Ahmad (no. 19022).

Dalam riwayat Abu Daud (no. 1332) ada disebutkan:

أعْتَكَفَ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهِ عَلَيْهْ وَسَلَّمْ فِيْ الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُوْنَ بِا الْقِرَاءِة فَكَشَفَ السِّتْرَ وَقَالَ أَلاَّ اِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَىَ بَعْضٍ فِيْ الْقِرَاءِةِ أَوْ قَالَ فِيْ الصًّلاَةِ.

Rasulullah memerhatikan orang-orang yang beriktikaf di masjid dan baginda mendengar mereka menguatkan suara mereka sewaktu membaca al-Qur'an. Baginda menyelak kain langsir dan berkata: Setiap daripada kamu sedang berkomunikasi dengan Tuhannya. Janganlah sebahagian daripada kamu mengganggu yang lainnya. Janganlah kamu menguatkan suara kamu melebihi yang lainnya sewaktu membaca al-Qur'an atau ketika kamu sedang solat. ~ Cikgu Mohd Hairi Nonchi

LARANGAN MENGAMBIL ILMU DARI AHLI BID'AH




Diriwayatkan dari Abu Umayyah al-Jumahi radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya salah satu tanda dekatnya hari Kiamat adalah ilmu diambil dari kaum ashaaghir (ahli bid'ah)*.”

* Ibnul Mubarak berkata dalam kitab az-Zuhd (hal. 21 dan 281): "Yang dimaksud kaum ashaaghir adalah ahli bid'ah."

[Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam kitab az-Zuhd (61), dari jalur tersebut al-Lalika-i meriwayatkannya dalam kitab Syarah Usbuul I'tiqaad Ahlis Sunnah (102), ath-Thabrani dalam al-Kabiir (XXII/908 dan 299), al-Harawi dalam kitab Dzammul Kalaam (11/137), al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih (11/79), Ibnu 'Abdil Barr dalam kitab Jaami’ Bayaanil 'llm (1052) dan lainnya dari jalur Ibnu Luhai'ah, dari Bakr bin Sawadah, dari Abu Umayyah. Saya (Syaikh Salim) katakan: "Sanadnya shahih shahih, karena riwayat al-'Abadillah dari Ibnu Luhai'ah adalah riwayat shahih. Adapun perkataan al-Haitsami dalam Majma'uz Zawaa-id (I/1365) yang mendha'ifkan Ibnu Luhai'ah tidaklah tepat."]

Ditambah lagi Ibnu Luhai'ah tidak tersendiri dalam meriwayatkan hadits ini, ia telah diikuti oleh Sa'id bin Abi Ayyub yang dikeluarkan oleh al-Khathib al-Bagdadi dalam al-Jaami' li Akhlaaqir Raawi wa Adaabis Saami' (I/137). Sa'id adalah perawi tsiqah.

Ada dua penyerta lain lagi bagi hadits ini:

Pertama:

Diriwayatkan dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, bahwa ia berkata:

"Manusia senantiasa shalih dan berpegang kepada yang baik selama ilmu datang kepada mereka dari Sahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan dari orang-orang yang berilmu dari mereka. Jika ilmu datang kepada mereka dari kaum ashaaghir maka mereka akan binasa."

[Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak (815), 'Abdurrazaq (XI/246), Abu Nu'aim dalam al-Hilyah (VIII/49) dan al-Lalikai dalam Syarh Ushuul I'tiqaad Ahlis Sunnah (101)]. Saya katakan: "Sanad hadits tersebut shahih."

Kedua:

Diriwayatkan dari Salman al-Farisi radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

"Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama generasi pertama masih tersisa dan generasi berikut menimba ilmu dari mereka. Jika generasi pertama telah berlalu sebelum generasi berikut menimba ilmu dari mereka, maka manusia akan binasa."

[Diriwayatkan oleh ad-Darimi (I/78-79) dan Ahmad dalam kitab az-Zuhd (hal. 189) melalui dua jalur dari Salman.

Kedua hadits ini memiliki hukum marfu', sebab perkara di atas termasuk salah satu tanda hari Kiamat yang tidak dapat dikatakan atas dasar logika dan ijtihad. Wallahu a'lam.

KANDUNGAN BAB:

1. Kaum ashaaghir adalah ahli bid'ah dan pengikut hawa nafsu yang berani mengeluarkan fatwa meski mereka tidak memiliki ilmu. Hal ini telah diisyaratkan dalam hadits yang berbicara tentang terangkatnya ilmu.

2. Ulama adalah kaum Akaabir meskipun usia mereka muda usia. Ibnu 'Abdil Barr berkata dalam kitab Jaami'Bayaanil’llm, "Orang jahil itu kecil, meskipun usianya tua. Orang alim itu besar meskipun usianya muda." Lalu ia membawakan sebuah sya'ir, "Tuntutlah ilmu, karena tidak ada seorangpun yang lahir langsung jadi ulama. Sesungguhnya orang alim tidaklah sama dengan orang jahil. Sesepuh satu kaum yang tidak punya ilmu Akan menjadi kecil bila orang-orang melihat kepadanya."

3. Ilmu adalah yang bersumber dari Sahabat radhiyallahu 'anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka. Itulah ilmu yang berguna. Jika tidak demikian, maka pemiliknya akan binasa karenanya. Dan pemiliknya tidak akan menjadi imam, tidak menjadi orang dipercaya dan diridhai.

4. Para penuntut ilmu harus mengambil ilmu dari orang-orang yang bertakwa, shalih dan mengikuti Salafush Shalih. Sebab, keberkatan selalu bersama mereka. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Keberkahan selalu bersama kaum akaabir (ahli ilmu) kalian."

[HR Ibnu Hibban (955), al-Qadha’i dalam Musnad asy-Syihab (36-37), al-Hakim (I/62), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (VIII/171-172), al-Khathib al-Baghdadi dalam Taarikh Baghdaad (XI/165), al-Bazzar dalam Musnadnya (1957) dan lainnya melalui beberapa jalur dari 'Abdullah bin al-Mubarak, dari Khalid al-Hadzdza', dari 'Ikrimah, dari 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhu. Saya katakan: "Sanadnya shahih].

5. Ulama Salaf terdahulu telah mengisyaratkan keterangan ini yang dapat menyelamatkan kita dari kejahilan dan menjaga kita dari kesesatan.

Seorang tabi'in yang mulia, Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, "Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka lihatlah dari siapa engkau mengambil agamamu!" [HR Muslim dalam Muqaddimah Shahiihnya (1/14) dengan sanad shahih].

Sebab, ilmu ini hanya dibawa oleh orang-orang yang terpercaya, maka selayaknya diambil dari mereka. Sebagaimana dikatakan oleh Abu Musa 'lsa bin Shabih, Telah diriwayatkan sebuah hadits shahih dari Rasululah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ilmu ini akan dibawa oleh orang-orang terpercaya dari setiap generasi. Mereka akan meluruskan penyimpangan kaum yang melampaui batas, takwil orang-orang jahil dan pemalsuan ahli bathil. Ilmu ini hanya layak disandang oleh orang-orang yang memiliki karakter dan sifat seperti itu." (Al-Jaami' li Akhlaaqir Raawi wa Adaabis Saami' [1/129]).

Oleh karena itu pula harus dibedakan antara ulama Ahlus Sunnah dengan ahli bid'ah, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Muhammad bin Siirin rahimahullah:

"Dahulu, orang-orang tidak bertanya tentang sanad. Namun setelah terjadi fitnah (munculnya bid'ah), mereka berkata, 'Sebutkanlah perawi-perawi kalian!' Jika perawi tersebut Ahlus Sunnah, maka mereka ambil haditsnya. Dan jika ahli bid'ah, maka tidak akan mereka ambil haditsnya." [HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahiihnya (1/15) dengan sanad shahih].

Demikian pula harus dilihat spesialisasi tiap-tiap orang dan mengambil pendapatnya dalam bidang yang sudah menjadi spesialisasinya. Sebab setiap ilmu memiliki tokoh-tokoh tersendiri, mereka dikenal dengan ilmu tersebut dan ilmu tersebut dapat diketahui melalui mereka.

Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata:

"Sesungguhnya, ilmu ini adalah agama, maka periksalah dari siapa engkau mengambil ajaran agamamu. Aku sudah bertemu tujuh puluh orang yang mengatakan, fulan berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaiahi wa sallam bersabda di tiang masjid ini -beliau menunjuk Masjid Nabawi namun aku tidak mengambil satu pun hadits dari mereka.- Sesungguhnya, ada beberapa orang dari mereka yang apabila diberi amanat harta, maka ia akan memelihara amanat tersebut. Akan tetapi mereka bukanlah orang-orang yang ahli dalam bidang ini. Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin Syihab pernah datang ke sini, lalu mereka berkerumun di depan pintunya." [Lihat kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih (11/98)].

Para ahli ilmu telah mengingatkan hal ini dalam tulisan-tulisan mereka. Tujuannya untuk melindungi generasi mendatang agar tidak terpengaruh oleh klaim-klaim dari orang-orang yang bertambah subur tanaman mereka di tanah yang tandus. Yakni orang-orang yang ingin mencuat sebelum matang, ingin muncul sebelum tiba waktunya!

Mereka berkoar-koar di majelis-majelis ilmu, sibuk mengeluarkan fatwa dan sibuk mengarang buku. Mereka mendesak naik ke puncak yang telah ditempati oleh para ulama terlebih dulu. Mereka menempatinya untuk merubuhkan batas-batas pemisahnya dan mengurai jalinannya.

Aksi mereka bertambah gila lagi dengan berdatangannya orang-orang awam dan orang-orang yang setipe dengannya ke majelis-majelis mereka dengan perasaan takjub, amat girang menyimak cerita-cerita kosong mereka.

Al-Khathib al-Baghdaadi berkata dalam kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih (11/960), "Seorang penuntut ilmu seharusnya menimba ilmu dari ahli fiqih yang terkenal kuat memegang agama, dikenal shalih dan menjaga kesucian diri."

Kemudian ia mengatakan: "Dan hendaknya ia juga harus menghiasi diri dengan etika-etika ilmu, seperti sabar, santun, tawadhu' terhadap sesama penuntut ilmu, bersikap lembut kepada sesama, rendah hati, penuh toleransi kepada teman, mengatakan yang benar, memberi nasihat kepada orang lain dan sifat-sifat terpuji lainnya."

Dalam kitabnya yang langka, yakni al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi wa Aadaabis Saami' (1/126-127), beliau telah menulis beberapa pasal. Kami akan menyebutkan inti dari pasal-pasal tersebut:

1. Tingkatan keilmuan para perawi tidaklah sama, harus didahulukan mendengar riwayat dari perawi yang memiliki sanad 'Ali (lebih dekat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika sanad para perawi tersebut sama dalam hal ini, sedang ia ingin mengambil sebagian saja dari sanad-sanad tersebut, maka hendaklah ia memilih perawi yang lebih populer dalam bidang hadits, yang dikenal ahli dan menguasai ilmu ini.

2. Jika para perawi tersebut juga sama dalam kedua hal tersebut, maka hendaklah memilih perawi yang memiliki nasab dan silsilah yang lebih mulia. Riwayatnyalah yang lebih layak disimak.

3. Hal itu semua berlaku bila para perawi itu telah memenuhi kriteria lain, seperti istiqamah di atas manhaj Salafush Shalih, terpercaya dan terhindar dari bid'ah. Adapun perawi yang tidak memenuhi kriteria di atas, maka harus dijauhi dan jangan menyimak riwayat darinya.

4. Para ulama telah sepakat bahwa tidak boleh mendengar riwayat dari perawi yang telah terbukti kefasikannya. Seorang perawi dapat disebut fasik karena banyak perkara, tidak hanya karena perkara yang berkaitan dengan hadits. Adapun yang berkaitan dengan hadits misalnya memalsukan matan hadits atas nama Rasulullah saw. atau membuat-buat sanad-sanad atau matan-matan palsu. Bahkan katanya, alasan diadakannya pemeriksaan terhadap para perawi awalnya adalah disebabkan perkara di atas.

5. Di antara para perawi itu ada yang mengaku telah mendengar dari syaikh yang belum pernah ditemuinya. Karena itulah para ulama mencatat tarikh kelahiran dan kematian para perawi. Ditemukanlah riwayat-riwayat sejumlah perawi dari syaikh-syaikh yang tidak mungkin bertemu dengan mereka karena keterpautan usia yang sangat jauh.

6. Ulama ahli hadits juga menyebutkan sifat-sifat ulama dan kriteria mereka. Dengan demikian banyak sekali terbongkar kedok sejumlah perawi.

7. Jika perawi tersebut terlepas dari tuduhan memalsukan hadits, terlepas dari tuduhan meriwayatkan hadits dari syaikh yang belum pernah ditemuinya dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang dapat menjatuhkan kehormatannya, hanya saja ia tidak memiliki kitab riwayat yang didengarnya itu dan hanya beipatokan kepada hafalannya dalam menyampaikan hadits, maka tidak boleh mengambil haditsnya hingga para ulama ahli hadits merekomendasikannya dan menyatakan ia termasuk dalam deretan penuntut ilmu yang memiliki perhatian kepada ilmu, memelihara dan menghafalnya dan telah diuji kualitas hafalannya dengan mengajukan hadits-hadits yang terbolak-balik kepadanya.

Jika perawi itu termasuk pengikut hawa nafsu dan pengikut madzhab yang menyelisihi kebenaran, maka tidak boleh mendengar riwayatnya, meskipun ia dikenal memiliki banyak ilmu dan kuat hafalannya.

Seorang penuntut ilmu syar'i harus mengetahui hakikat sebenarnya. la harus tahu dari siapa ia mengambil ajaran agamanya. Janganlah ia mengambil ilmu dari ahli bid'ah, karena mereka akan membuatnya sesat sedang ia tidak menyadarinya.

Semoga bermanfaat....

-Sahabatmu-
Abu Muhammad Herman

(Disalin dari kitab Ensiklopedi Larangan Jilid I, cet.Kedua, Muharram 1426 H/Februari 2005 M, hal. 219-224, Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali hafizhahullah)
[respon terhadap pelakuan beberapa ikhwan yg mengharuskan ucapan christman kdp non muslim]

Tanda seseorang mengikuti hawa nafsunya ialah meninggalkan perkataan dan amalan sahabat.. Tidak akan menjadi baik sesuatu amalan melainkan apa2 amalan yg telah dianggap baik pula oleh pada sahabat nabi.. Kerana merekalah satu kaum yg paling mengenal wahyu dan syariat ISLAM yg dibawa oleh nabi, paling adil dan amanah dlm melaksanakan ketetapan agama, paling sedikit dosa dan kesalahan mereka.. Di sisi yg lain kebaikkan kita dlm berinfaq EMAS sebesar Gunung Uhud sekalipun tdk akan menyamai kebaikan para sahabat nabi sebesar satu cupak atau setengah drnya.

Apa lagi jika kita menunjuk pandai utk berkata ini "amalan yg baik" ibarat lebih kuah dr sudu... Celakalah org2 yg selalu meninggalkan petunjuk sahabat..!!

elakkan berdebat

ASIHAT KEPADA RAKAN2 YG SUKA BERJIDAL

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits:

مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ: مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ

“Tidak ada satu kaum yang tersesat setelah mendapat petunjuk, melainkan karena mereka suka berjidal (debat untuk membantah).” Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membaca ayat: “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar. [Az-Zuhruf: 58]”

- [HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad].

attaqwa dan wara'

AT-TAQWA DAN WARA’

📌 Berkata Al-Imam Daqiiqul ‘Iid ~rahimahullaahu Ta’ala~:

“Tidaklah saya berbicara satu kata, dan mengerjakan satu perbuatan, kecuali saya telah mmpersiapkan bginya jawaban dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla”.

📋 Thobaqaat asy Syaafi’iyyah al Kubraa, (9/212).

🔸🔸🔸

📌 Ditanya Asy-Syaikh Rabi’ Al-Madkhaliy ~hafizhahullaah~:

Apakah disyaratkan di dalam JARH ahlul bida’ kesepakatan ‘ulama di zaman tersebut atau cukup seorang ‘Alim saja?!!!.

Jawaban:

🔗 “Ini adalah merupakan kaedah2 basa basi yang jelek ~baarakallahu fikum~ di masa kapan mereka mnsyaratkan ijma’ seperti ini? Dan mana dalil yang menunjukkan syarat ini?
🔗 Apabila Al-Imam Ahmad bin Hanbal atau Yahya ibnu Ma’iin JARH (mengeritik) seorang mubtadi’,” saya katakan, “Wajib bagi dia mengumpulkan imam2 As-Sunnah di dunia seluruhnya untuk mengatakan si fulan ini mubtadi’!!!
🔗 Apabila datang 2 orang saksi atas si fulan bahwa dia membunuh, kenapa kita tidak mensyaratkan harus ijma’ dulu ummat atas bahwa dia telah membunuh?

✔ Apabila datang seorang ‘Alim dengan JARH yang terperinci, dan menyelisihinya dua puluh orang, atau lima puluh orang ‘alim, yang tidak ada pada mereka dalil2, tidak ada pada mereka kecuali hanya baik sangka saja dan menghukum zhohirnya, sementara seorang ‘Alim tadi memiliki dalil2 ketika menJARH lelaki tadi, maka sesungguhnya didahulukan JARH dia; karena yang menJARH (pengeritik) ada hujjah, sedangkan hujjah (dalil) itulah yang didahulukn, dan kadang2 hujjah didahulukan walaupun menyelisihinya seluruh penduduk bumi.”

📋 Dari kaset Al-Manhaj At-Tamyii’ dan Qawaaidnya.

berhati-hati dalam menyampai ilmu?

Bismillaah.

Yg bakal menimbulkan FITNAH yg lebih besar tentunya apabila sebuah KESALAHAN ITU TELAH MENYEBAR dan IA SUDAH DIANGGAP SEBUAH KEBENARAN.

~Nas'alullah assalaamah wal 'aafiyah~

Maka pertimbangan maslahat dan mafsadah adalah kita tdk MENGABAIKAN/MEMBIARKAN WALAU SATU KESALAHAN, melainkan ia wajib diluruskan oleh org2 yg memiliki KEILMUAN ttgnya.

Jika seorang yg ‘alim telah menjelaskan Al-Haq tentangnya, maka itu sudah merupakan ILMU dan maslahatnya adalah utk keumuman kaum muslimin.

Wallahu a'lam.

Siapa ahlussunnah?

Pengiktirafan ahlu sunnah wal jama'ah bukan sekadar mengaku di mulut. Amalan dan cara hidup itu yang menjadi ukuran.. Mana mungkin kita mengatakan seseorang terkeluar dari akidah ahlu sunnah sedangkan cara hidup kita sendiri tidak kena dengan pegangan ahlu sunnah itu sendiri. Andai masih bercampur antara agama dan sekular dalam kehidupan,usah menuding jari pada orang.Tegakkan agama secara ikhlas dan amanah ilmu bukan kerana kepentingan tertentu.

syiar Islam

Syiar Islam

Penegakkan Syiar Islam bermula dari bawah setahap demi setahap.

Dengan ilmu dan sabar dalam mengamalkanya serta berdakwah.

Tidak akan tertegak negara ahlus sunnah melainkan dengan meng-ahlus-sunnah kan diri dan masyarakat berpandukan aqidah dan ilmu yang benar.

Tentang bacaan yasin

Ahlus Sunnah Manhaj Salaf tidak pernah sama sekali menghalang atau mengharamkan mana-mana individu yang membaca surah yasin pada khamis malam jumaat.

Bagaimana mungkin membaca surah yasin hukumnya haram sedangkan ia adalah sebahagian surah dari ayat al quran.

Tetapi pendirian ahlus sunnah bahawa mereka yang membaca surah yasin pada khamis malam jumaat adalah bidaah kerana tiada contoh serta perbuatan dari nabi.

 menetapkan sesuatu ikhtiqad pada bacaan tertentu, pada waktu yang tertentu, dengan khaifiat yang tertentu, dan juga dengan kiraan yang tertentu tanpa didasari daripada petunjuk Nabi Shalallahu 'alaihi wa Sallam dan juga para sahabat Radhiyallahu 'anhum ajma'in. itulah yang menyebabkan amalan kita termasuk dalam Bid'ah.

cukuplah Ittiba' (petunjuk Nabi) wa ikhlas (karna Allah semata tanpa mempersekutukan-Nya) menjadi prinsip asas amal ibadah kita.

wallahu'alam.

Thursday 3 October 2013

JAMINAN SURGA UNTUKMU

::: JAMINAN SURGA UNTUKMU :::

September 28, 2013 at 11:54pm
Bismillaah.

“Aku jamin rumah didasar surga bagi yang menghindari berdebat sekalipun ia benar, dan aku jamin rumah ditengah surga bagi yang menghindari dusta walaupun dalam bercanda, dan aku jamin rumah di puncak surga bagi yang baik akhlaqnya.” [Hadits Riwayat Abu Daud]

Tiga sifat tercela dalam hadits ini adalah :
1 > SUKA BERDEBAT
2 > DUSTA WALAUPUN BERCANDA
3 > AKHLAK YANG BURUK

Sahabat,

[Satu]
--» jangan suka berdebat..

[Dua]
--» jangan suka bercanda yang isinya dusta atau cerita-cerita lawakan yang fiktif dengan maksud untuk hanya menghibur teman-teman antum.
--» Ngga usah caper.. Ngga usah iseng.
--» Kalau memang bingung mau bikin status apa, jangan ikuti bisikan syaithan yang memotivasi kita untuk menulis yang sia-sia.
--» Menulis gojekan, menulis hal-hal kecil atau sekedar mengetik tanda baca seperti titik [.] atau tanda tanya [?] itu ngga ada faedahnya.
--» Karena kita punya banyak teman-teman dewasa yang seperti anak kecil
--» Status dg tanda baca titik-titik aja ramainya luar biasa.. ~Allahul musta‘aan~

[Ketiga]
-- » berakhlaklah yang baik … Jangan berakhlak jelek.

… ITU SEMUA KUNCI MASUK SURGA
… DAMBAAN HATI SELURUH HAMBA.

Hanya kepada Allaah kita memohon taufik.

SELAMATKAN DIRI KALIAN DARI DEBAT, SEKARANG DAN AKAN DATANG

::: SELAMATKAN DIRI KALIAN DARI DEBAT, SEKARANG DAN AKAN DATANG :::

September 29, 2013 at 7:26am
Bismillaah.

Majelis debat, jidal tidak Allaah nilai sebagai ibadah. Karena Rasululllah shallallaah ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk berdebat. Sehingga itu bukan majelis ilmu..

*MAA DHALLA QOUMUN BA’DA HUDAN KAANUU ‘ALAIHI ILLAA UUTUL JADAL*

“Tidaklah sesat suatu kaum setelah mendapatkan hidayah untuk mereka, melainkan karena terlalu banyak berdebat.” [Hadits Riwayat Ahmad dan Tirmidzi].

“Dahulu sudah berada di atas hidayah … Sebelumnya sudah berada di atas AL-HAQ … Tapi dengan sebab AL-JIDAL mereka menyimpang. Maka hiasi majelis kita ini, yang sekarang maupun akan datang dengan al-quran, was-sunnah wa manhajis salaf.” [Ustadz Luqman Ba ‘Abduh pada muhadharah di Singapura, 25 September 2013 sesi pertama pada menit 14:50–15:40]



Ikhwaatii fillaah.

Jauh hari, Nabi sudah peringatkan kita akan bahaya berjidal. Beliau mengerti, bahwa orang yang pas-pasan dalam ilmu dan amal biasanya hobi berjidal. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan umatnya dari ketergelinciran setelah mereka mendapatkan hidayah, Allaah mewahyukan kepada Nabi kita yang mulia untuk membuka lisan beliau yang mulia dan terdengarlah nasehatnya yang lembut:

*MAA DHALLA QOUMUN BA’DA HUDAN KAANUU ‘ALAIHI ILLAA UUTUL JADAL*

Seakan-akan beliau kuatir, bahwa dengan jidal ini umatnya akan terjerumus ke lembah hina bernama ADH-DHALAALAH.. Kitalah yang beliau kuatirkan.. Bukan beliau sendiri.. Beliau sudah mendapatkan surga tertinggi di sisi Allaah.

Oleh karenanya, kita tidak pernah bosan untuk menasehati diri sendiri dan teman-teman yang hendak saling mengambil faedah. Bahwa perdebatan, apapun bentuk engga ada gunanya sama sekali. Manfaatnya selalu NOL PERSEN.. Perdebatan hanya menyakitkan hati kita. Tidak pernah membikin tentram. Selalu membikin risau jiwa pihak yang benar maupun pihak yang salah ketika berdebat.

Saya engga habis pikir dan prihatin dengan hobi yang selalu muncul dalam bentuk tulisan entah itu di postingan status atau di kolom-kolom komentar. Yang akhirnya nanti justru menyibukkan diri dengan perdebatan itu. Sibuk mencari referensi bantahan untuk memenangkan perdebatan. Kalau kita sudah yakin dengan hidayah, sudah tsabat dan mantap dengan AL-HAQ yang kita pegang kenapa harus ngajak debat..?! Membikin status atau memposting komentar yang memancing debat sama dengan membuka pintu syaithan lebar-lebar untuk menjerumuskan diri. Kenapa..?! Karena dengan terbukanya satu saja pintu debat, akan segera masuk syubhat-syubhat mereka ke telinga-telinga kita, ke telinga saudara-saudara kita.. Kasihan mereka yang masih awal-awal hendak belajar, justru disodori perdebatan.

Saya akan kasih tahu rahasia untuk memenangkan perdebatan yang akan lebih menyakitkan mereka sebagai lawan debat kita. Sebuah sikap yang akan mengangkat derajat kita di sisi musuh-musuh debat kita. Sikap yang akan memberikan rasa sakit buat mereka itu adalah DIAM. Iya, dengan diam, hati mereka akan menjadi lebih resah. Karena mereka tidak punya lawan debat. Dan syubhat-syubhat mereka yang akan mengotori jiwa kita pun berjumlah nol. Karena kita tidak mendengarkannya. Karena kita tidak membaca bantahan mereka.

Sikap terpuji ini, dijanjikan oleh Allaah akan mendapat pahala surga.

Rasul ~shallallahu ‘alaihi wa sallam~ bersabda:

“Aku jamin rumah di dasar surga BAGI YANG MENGHINDARI BERDEBAT sekalipun ia benar, dan aku jamin rumah ditengah surga BAGI YANG MENGHINDARI DUSTA walaupun dalam bercanda, dan aku jamin rumah di puncak surga BAGI YANG BAIK AKHLAQNYA." [Hadits Riwayat Abu Daud]

Dengarkan perkataan beliau, bahwa menghindari perdebatan, menghindari dusta, berakhlak mulia akan menjadi sebab masuk surga.

Ikhwatii fillaah.

Coba sekali tempo datangi ustadz antum terdekat. Tanya kepada beliau bagaimana sekiranya kalau kita bikin status atau postingan di media sosial seperti di facebook ini untuk berdebat.. Kalau memang beliau membolehkan ya sudah, berdebatlah terus sampe ubanan.. [Sebenernya, tadinya bukan “..sampe ubanan..” Tapi saya sensor biar engga serem banget..]

Hanya kepada Allaah kita memohon taufik..

# Catatan daripada akun Majalah Tashfiyah Mudah Berfaedah #

KILAUAN PERMATA YANG BERHARGA DARI ‘ULAMA AL-HARAMAIN

:: KILAUAN PERMATA YANG BERHARGA DARI ‘ULAMA AL-HARAMAIN :::

September 25, 2013 at 4:43pm
Bismillaah.

Berkata Syaikhuna Rabee' bin Haadiy Al-Madkhaliy ~hafizhohullahu ta‘ala~ dan semoga Allah mengokohkan dia dan kita dan seluruh kaum muslimin di atas AL-HAQ dan AL-HUDAA …

:: Berbicara seorang PENUNTUT ILMU dan ‘AALIM

1 > Dengan HUJJAH dan BURHAN (penjelasan).
2 > Dengan HIKMAH dan NASIHAT yang baik.

:: Bukan dengan cara yang DUNGU dan SERAMPANGAN

~ seorang yang DUNGU dan SERAMPANGAN lebih besar mudharatnya dari mamfa'atnya
~ maka si dungu yang serampangan ini DITINGGALKAN

[Fataawa dalam masalah ‘Aqiidah dan Manhaj (al-halaqah pertama), fatwa no. 38, oleh Asy-Syaikh Rabee’ ~hafizhohullahu~]

___

Matan asli:

الدر الثمين
من عالم الحرمين

قال شيخنا
ربيع بن هادي عمير المدخلي
حفظه الله وثبته وإيانا وجميع المسلمين على الحق والهدى..

يتكلم طالب العلم والعالم :
- بالحجة والبرهان.
- والحكمة والموعظة الحسنة.

وليس بالسَّفه والطَّيش،
[ بعضهم يتَسفَّهُ ويَطِيشُ ويضُرُّ أكثر مما ينفع فهذا السَّفهُ والطَّيش يُترك.]

[فتاوى في
العقيدة والمنهج
(الحلقة الأولى)
(فتوى رقم: 38 )
للشيخ ربيع -حفظه الله-]

المجموعات المعتمدة فى الملتقى التعاوني السلفي اﻹعلامي للوآتساب بتشجيع وتأييد إمام الجرح والتعديل الشيخ ربيع المدخلي حفظه الله
goo.gl/gl3xRj
〰〰〰〰〰〰〰〰
شآرك باﻷجر وانشرها ....
〰〰〰〰〰〰〰〰

للإشتراك في المجموعات المذكورة في الرابط يرجى إرسال كلمة "إشتراك " للأرقام المعتمدة فيه .

مع تحيات :
إدارة ملتقيات التعاون السلفي الإعلامي
goo.gl/gl3xRj



Ditranskrip oleh:
Al-Ustadz Abul Mundzir Dzul Akmal ~hafidzahullah~
25 Dzul Qa’dah 1434H

# Daripada Asy-Syaikh Abu Ziyaad ~hafizhahullaahu ta‘ala~ # via WA Ta‘dzhiim As-Sunnah (1) #

Bolehkah Menyembelih Haiwan Qurban Di Masjid

Bolehkah Menyembelih Haiwan Qurban Di Masjid ? Asy Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi

October 21, 2012 at 11:23pm
Bolehkah Menyembelih Haiwan Qurban Di Masjid ? Asy Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi

 Assalamu'alaikum Warohmatullhi Wabarokaatuh.

Ana mahu bertanya masalah Qurban

Ana dan Isteri berniat melaksanakan Qurban, Atas nama siapakah haiwan qurban itu. Atas nama Keluarga atau Nama masing-masing.
Bagaimanakah hukum acara penyembelihan haiwan qurban yang dilakukan di Masjid secara bersama-sama dan apakah setiap akan meyembelih haiwan qurban itu ada Ijab Qobul atau penyebutan nama orang yang berqurban. Assalamu'alaikum Warohmatullhi Wabarokaatuh.
Mohon Penjelasan serta dalil-dalilnya. Jazakallah Khair.

Irfan. Safitra@***. com

Syaikhuna Mufti KSA Bagian Selatan Syaikh Muhaddits Ahmad bin Yahya An-Najmi hafizhahullah menjawab :

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه وبعد :
الجواب : الأضحية سنة مؤكدة على القادر عليها ماديا وهي على الرجل المكلف بالنفقة وتكون باسمه وأهل بيته. قال النبي صلى الله عليه وسلم :
((يا أيها الناس إن على كل أهل بيت في كل عام أضحية. )).
أما ذبح الأضاحي في المساجد وما حولها مثل حوشه وما أشبه ذلك. فهذه بدعة. لم نسمع بأحد فعلها إلا أهل أندونسيا. لأن الدم المسفوح نجس, ولا يجوز أن يسفح في المساجد وما حولها, لأن هذا العمل تنجيس لها. وقد قال الله عز وجل :
((قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ)) الأنعام : 145.
ذبح الأضحية إما في المجزرة أو في الفضاء وإلا فكل واحد يذبح أضحيته في بيته. اتقوا الله يا أهل أندونسيا لا تنجسوا المساجد بالدم المسفوح الذي هو نجس بصريح القرآن وبإجماع العلماء من زمن الصحابة إلى الآن.
أما كونه يوكل الجزار في ذبح أضحيته, فأنت إذا أعطيته وقلت له “اذبح لي أضحيتي” فذالك توكيل منك له. وبالله التوفيق.
أملى هذه الفتوى
فضيلة الشيخ أحمد بن يحيى النجمي
19 شوال 1428 هـ

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Rasulullah, keluarga dan para Shahabatnya. Wa ba’du :

Jawab :

Kurban adalah sunnah muakkadah bagi yang memiliki kemampuan secara harta benda. Dan kurban dibebankan kepada kaum lelaki sebagai pemberi nafkah keluarga serta berlaku bagi dirinya dan keluarganya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Wahai manusia, sesungguhnya atas setiap keluarga untuk berkurban setiap tahunnya…”. Adapun penyembelihan haiwan kurban di masjid-masjid dan lingkungan masjid seperti halamannya dan sebagainya, maka ini adalah bid’ah. Kami belum pernah mendengar seorang-pun melakukannya kecuali penduduk Indonesia. Sebab darah yang mengalir (iaitu darah yang menyembur saat proses penyembelihan) adalah najis. Dan tidak boleh mengalirkan darah tersebut di masjid-masjid dan lingkungannya. Sebab perbuatan ini membuat najis masjid. Allah Azza Wa Jalla berfirman yang artinya : Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -kerana sesungguhnya semua itu kotor- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ” Al An’am : 145.
Penyembelihan haiwan kurban boleh dilakukan di tempat pnyembelihan atau di tanah lapang, jika tidak, maka masing-masing menyembelih haiwan kurbannya di tempat tinggalnya. Bertakwalah kepada Allah wahai penduduk Indonesia. Janganlah kalian membuat najis masjid-masjid dengan darah (haiwan kurban) yang mengalir yang najis berdasarkan ketetapan Al Qur’an dan ijma’ para Ulama’ dari sejak zaman Shahabat hingga sekarang. Adapun seseorang mewakilkan haiwan kurbannya kepada tukang jagal, maka jika menyerahkan(nya) kepadanya anda katakan : “Sembelihlah haiwan kurbanku untukku”. Maka yang demikian adalah perwakilan anda kepadanya. Wabillahit-taufiq.

Yang mendikte fatwa ini

Yang mulia Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi

19 Syawal 1428 H Alih bahasa oleh Abu Abdillah Muhammad Yahya

19 Syawal 1428 H/31 Oktober 2007

Nijamiyah-Shamithah-Jazan KSA

Catatan : Syaikhuna berpesan agar fatwa ini diedarkan seluas-luasnya agar diketahui kaum muslimin.

www. mimbarislami. or. id/?module=konsultasi&action=detail&tjid=5sumber: www. darussalaf. or. id, penulis: Asy Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi

Hukum-hukum Seputar Qurban

HUKUM-HUKUM BERKAITAN UDHIYYAH 2

October 22, 2012 at 2:13pm
Hukum-hukum Seputar Qurban

Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum secara umum yang terkait dengan haiwan qurban, untuk melengkapi pembahasan sebelumnya:

1) Menurut pendapat yang rajih, hewan qurban dinyatakan rasmi (ta’yin) sebagai أُضْحِيَّةٌdengan dua hal:

a. dengan ucapan: هَذِهِ أُضْحِيَّةٌ (Haiwan ini adalah haiwan qurban)
b. dengan tindakan, dan ini dengan dua cara:
1. Taqlid iaitu diikatnya sandal/sepatu (kaki) haiwan, potongan-potongan qirbah (tempat air yang menggantung), pakaian lusuh dan yang semisalnya pada leher haiwan. Ini berlaku untuk unta, sapi dan kambing.
2. Isy’ar iaitu dilukakan bonggol unta/lembu sehingga darahnya mengalir pada rambutnya. Ini hanya berlaku untuk unta dan lembu saja.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah , dia berkata:

فَتَلْتُ قَلَائِدَ بُدْنِ رَسُولِ اللهِ بِيَدَيَّ ثُمَّ أَشْعَرَهَا وَقَلَّدَهَا

Aku memintal ikatan-ikatan unta-unta Rasulullah dengan kedua tanganku. Lalu baginda isy’ar dan men-taqlid-nya.” (HR. Al-Bukhari no. 1699 dan Muslim no. 1321/362)

Kedua tindakan ini khusus pada haiwan hadyu, sedangkan qurban cukup dengan ucapan. Adapun semata-mata membelinya atau hanya meniatkan tanpa adanya lafadz, maka belum dinyatakan (ta’yin) sebagai haiwan qurban. Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum bila haiwan tersebut telah di-ta’yin sebagai haiwan qurban:

2) Diperbolehkan menunggangi haiwan tersebut bila diperlukan atau tanpa keperluan, selama tidak memudaratkannya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah , dia berkata: Rasulullah melihat seseorang menuntun unta (qurban/hadyu) maka baginda bersabda:

ارْكَبْهَا

Tunggangi unta itu.” (HR. Al-Bukhari no. 1689 dan Muslim no. 1322/3717)

Juga datang dari Anas bin Malik (Al-Bukhari no. 1690 dan Muslim no. 1323) dan Jabir bin Abdillah (HR. Muslim no. 1324). Lafadz hadits Jabir sebagai berikut:

ارْكَبْهَا بِالْـمَعْرُوفِ إِذَا أُلْـجِئْتَ إِلَيْهَا حَتَّى تَجِدَ ظَهْرًا

Naikilah unta itu dengan cara yang baik bila engkau memerlukannya hingga engkau mendapatkan tunggangan (lain).”

3) Diperbolehkan mengambil manfaat dari haiwan tersebut sebelum/setelah disembelih selain menungganginya, seperti:

a. mencukur bulu haiwan tersebut, bila hal tersebut lebih bermanfaat bagi haiwan. Misal: bulunya terlalu tebal atau di badannya ada luka.
b. Meminum susunya, dengan ketentuan tidak memudaratkan haiwan tersebut dan susu itu kelebihan dari keperluan anak nya
c. Memanfaatkan segala sesuatu yang ada di badan haiwan, seperti tali kekang dan pelana.
d. Memanfaatkan kulitnya untuk alas duduk atau alas shalat setelah disamak.
Dan berbagai sisi kemanfaatan yang lainnya. Dasarnya adalah keumuman firman Allah :

Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya.” (Al-Hajj: 36)

4) Tidak diperbolehkan menjual haiwan tersebut atau menghibahkannya kecuali bila ingin menggantinya dengan haiwan yang lebih baik. Begitu pula tidak boleh menyedekahkannya kecuali setelah disembelih pada waktunya, lalu menyedekahkan dagingnya.

5) Tidak diperbolehkan menjual kulit haiwan tersebut atau apapun yang ada padanya, namun untuk dishadaqahkan atau dimanfaatkan.

6) Tidak diperbolehkan memberikan upah dari haiwan tersebut apapun bentuknya kepada tukang sembelih. Namun bila diberi dalam bentuk wang atau sebahagian dari haiwan tersebut sebagai shadaqah atau hadiah bukan sebagai upah, maka diperbolehkan.
Dalil dari beberapa perkara di atas adalah hadits Ali bin Abi Tahlib , dia berkata:

أَمَرَنِي رَسُولُ اللهِ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أُقَسِّمَ لُـحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالـَهَا عَلَى الْـمَسَاكِينِ وَلَا أُعْطِي فِي جَزَارَتِهَا شَيْئًا مِنْهَا

Nabi memerintahkan aku untuk menangani (penyembelihan) unta-untanya, membahagikan dagingnya, kulit, dan perangkatnya kepada orang-orang miskin dan tidak memberikan sesuatu pun darinya sebagai (upah) penyembelihannya.” (HR. Al-Bukhari no. 1717 dan 1317)

7) Bila terjadi cacat pada hewan tersebut setelah di-ta’yin (dirasmikan sebagai haiwan qurban) maka dirinci:
- Bila cacatnya membuat haiwan tersebut tidak sah, maka disembelih sebagai shadaqah bukan sebagai qurban yang syar’i.
- Bila cacatnya ringan maka tidak ada masalah.
- Bila cacatnya terjadi akibat (perbuatan) pemilik maka dia harus mengganti yang semisal atau yang lebih baik
- Bila cacatnya bukan kerana kesalahan sang pemilik, maka tidak ada kewajiban mengganti, sebab hukum asal berqurban adalah sunnah.

8) Bila haiwan tersebut hilang atau lari dan tidak ditemukan, atau dicuri, maka tidak ada kewajiban apa-apa atas pemilik. Kecuali bila hal itu terjadi kerana kesalahannya maka dia harus menggantinya.

9) Bila hewan yang lari atau yang hilang tersebut ditemukan, padahal pemilik sudah membeli gantinya dan menyembelihnya, maka cukup bagi dia haiwan ganti tersebut sebagi qurban. Sedangkan haiwan yang ketemu tersebut tidak boleh dijual namun disembelih, sebab haiwan tersebut telah di-ta’yin.

10) Bila haiwan tersebut mengandung janin, maka cukup bagi dia menyembelih ibunya untuk menghalalkannya dan janinnya. Namun bila he\aiwan tersebut telah melahirkan sebelum disembelih, maka dia sembelih ibu dan janinnya sebagai qurban. Dalilnya adalah hadits:

ذَكَاةُ الْجَنِينِ ذَكَاةُ أُمِّهِ

Sembelihan janin (cukup) dengan sembelihan ibunya.”

Hadits ini datang dari banyak sahabat, lihat perinciannya dalam Irwa`ul Ghalil (8/172, no. 2539) dan Asy-Syaikh Al-Albani t menshahihkannya.
11) Adapun bila haiwan tersebut belum di-ta’yin maka diperbolehkan baginya untuk menjualnya, menghibahkannya, menyedekahkannya, atau menyembelihnya untuk diambil daging dan lainnya, layaknya haiwan biasa.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Hukum-hukum dan Adab-adab Yang Terkait dengan Orang yang Berqurban

1. Syariat berqurban adalah umum, mencakupi lelaki, wanita, yang telah berkeluarga, bujang dari kalangan kaum muslimin, kerana dalil-dalil yang ada adalah umum.

2. Diperbolehkan berqurban dari harta anak yatim bila secara kebiasaan mereka menghendakinya. Ertinya, bila tidak disembelihkan qurban, mereka akan bersedih tidak dapat makan daging qurban sebagaimana anak-anak sebayanya. (Asy-Syarhul Mumti’, 3/427)

3. Diperbolehkan bagi seseorang berhutang untuk berqurban bila dia mampu untuk membayarnya. Sebab berqurban adalah sunnah dan upaya menghidupkan syi’ar Islam. (Syarh Bulugh, 6/84, bahagian catatan kaki)

Al-Lajnah Ad-Da`imah juga mempunyai fatwa tentang diperbolehkannya menyembelih qurban walaupun belum dibayar harganya. (Fatawa Al-Lajnah, 11/411 no. fatwa 11698)

4. Dipersyaratkan haiwan tersebut adalah miliknya dengan cara membeli atau yang lainnya. Adapun bila haiwan tersebut hasil curian atau ghashab lalu dia sembelih sebagai qurbannya, maka tidak sah.

إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إلَّا طَيِّبًا

Sesungguhnya Allah itu Dzat yang baik tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim no. 1015 dari Abu Hurairah )

Begitu pula bila dia menyembelih haiwan orang lain untuk dirinya, seperti haiwan gadaian, maka tidak sah.

5. Bila dia mati setelah men-ta’yin haiwan qurbannya, maka haiwan tersebut tidak boleh dijual untuk menutupi hutangnya. Namun haiwan tersebut tetap disembelih oleh ahli warisnya.

6. Disunnahkan baginya untuk menyembelih qurban dengan tangannya sendiri dan diperbolehkan bagi dia untuk mewakilkannya. Keduanya pernah dikerjakan Rasulullah sebagaimana hadits:

ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ

Rasulullah menyembelih kedua (kambing tersebut) dengan tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5565 dan Muslim no. 1966)

Juga hadits ‘Ali bin Abi Thalib yang telah lewat, di mana beliau diperintah oleh Rasulullah n untuk menangani unta-untanya.
7. Disyariatkan bagi orang yang berqurban bila telah masuk bulan Dzulhijjah untuk tidak mengambil rambut dan kukunya hingga haiwan qurbannya disembelih.
Diriwayatkan dari Ummu Salamah , dia berkata: Rasulullah n bersabda:

إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ

Apabila telah masuk 10 hari pertama (Dzulhijjah) dan salah seorang kalian hendak berqurban, maka janganlah dia mengambil rambut dan kukunya sedikitpun hingga dia menyembelih qurbannya.” (HR. Muslim no. 1977)

Dalam lafadz lain:

وَلَا بَشَرَتِهِ

Tidak pula kulitnya.”

Larangan dalam hadits ini ditujukan kepada pihak yang berqurban, bukan pada haiwannya. Sebab mengambil bulu hewan tersebut untuk kemanfaatannya diperbolehkan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya.

Juga, dhamir (kata ganti) هِ pada hadits di atas kembali kepada orang yang hendak berqurban. Larangan dalam hadits ini ditujukan khusus untuk orang yang berqurban. Adapun keluarganya atau pihak yang disertakan, tidak mengapa mengambil kulit, rambut dan kukunya. Sebab, yang disebut dalam hadits ini adalah yang berqurban saja.

- Bila dia mengambil kulit, kuku, atau rambutnya sebelum haiwannya disembelih, maka qurbannya sah, namun berdosa bila dia lakukan dengan sengaja. Tetapi bila dia lupa atau tidak sengaja maka tidak mengapa.
- Bila dia baru mampu berqurban di pertengahan 10 hari pertama Dzulhijjah, maka keharaman ini berlaku saat dia niat dan ta’yin qurbannya.
- Orang yang mewakili penyembelihan haiwan qurban orang lain, tidak terkena larangan di atas.
- Larangan di atas dikecualikan bila terjadi sesuatu yang mengharuskan dia mengambil kulit, kuku, atau rambutnya.
Wallahu a’lam bish-shawab.

8. Disyariatkan untuk memakan sebahagian dari haiwan qurban tersebut. Dalilnya adalah firman Allah :

“Maka makanlah sebagian darinya.” (Al-Hajj: 28)

Juga tindakan Rasulullah n yang memakan sebahagian dari haiwan qurbannya.

9. Diperbolehkan menyimpan daging qurban tersebut walau lebih dari tiga hari. Baginda bersabda:

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنِ ادِّخَارِ لُـحُومِ الْأَضَاحِي فَوْقَ ثَلَاثٍ، فَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ

Dahulu aku melarang kalian menyimpan daging qurban lebih dari 3 hari. (Sekarang) tahanlah (simpanlah) semau kalian.” (HR. Muslim no. 1977 dari Buraidah )

10. Disyariatkan untuk menyedekahkan sebahagian dari hewan tersebut kepada fakir miskin. Allah berfirman:

Berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (Al-Hajj: 28)

Juga firman-Nya:

Beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (Al-Hajj: 36)

Yang dimaksud dengan الْبَائِسَ الْفَقِيرَ adalah orang faqir yang menjaga kehormatan dirinya tidak mengemis padahal dia sangat memerlukan. Demikian penjelasan Ikrimah dan Mujahid.
Adapun yang dimaksud dengan الْقَانِعَ adalah orang yang meminta-minta daging qurban. Sedangkan الْـمُعْتَرَّ adalah orang yang tidak meminta-minta daging, namun dia mengharapkannya. Demikian penjelasan Ibnu Jarir Ath-Thabari .

11. Diperbolehkan memberikan sebahagian dagingnya kepada orang kaya sebagai hadiah untuk menumbuhkan rasa kasih sayang di kalangan muslimin.

12. Diperbolehkan memberikan sebahagian dagingnya kepada orang kafir sebagai hadiah dan upaya melembutkan hati. Sebab qurban adalah seperti shadaqah sunnah yang dapat diberikan kepada orang kafir. Adapun shadaqah wajib seperti zakat, maka tidak boleh diberikan kepada orang kafir.
Dan yang dimaksud dengan kafir disini adalah selain kafir harbi. Al-Lajnah Ad-Da`imah mengeluarkan fatwa tentang hal ini (11/424-425, no. 1997).

13. Diperbolehkan membahagikan daging qurban dalam keadaan mentah ataupun masak. Diperbolehkan pula mematahkan tulang haiwan tersebut.
Demikian beberapa hukum dan adab terkait dengan qurban yang dapat dipaparkan pada lembar majalah ini, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish-shawab.


Sikap Terhadap Orang Yang Tidak Mahu Mencela Ahlul Bid’ah

Sikap Terhadap Orang Yang Tidak Mahu Mencela Ahlul Bid’ah


Sikap Terhadap Orang Yang Tidak Mahu Mencela Ahlul Bid’ah

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Yahya Al-Bura’iy


PERTANYAAN:

Di berbagi forum di masa ini muncul banyak celaan diantara para penuntut ilmu Salafiyyun yang pendorongnya terkadang membela kepentingan peribadi dan mereka menutupinya dengan baju pembelaan terhadap As-Sunnah dengan membawakan ayat-ayat dan hadits-hadits, yang hal ini menyebabkan fitnah diantara ikhwah, terkhusus sebahagian penuntut ilmu ditazkiyah di sisi para masayikh. Hanya saja tidak nampak darinya sikap kuat terhadap orang-orang tertentu yang dihukum Mubtadi’ oleh para masayikh di masa ini, seperti Al-Halaby dan Al-Ma’riby.

Pertanyaannya: bagaimana sikap yang benar terhadap orang yang tidak jelas sikapnya terhadap para Mubtadi’ tersebut? Dan apakah mengwajibkan semua masayikh untuk menampakkan sikapnya hingga boleh diambil ilmunya? Serta bagaimana membantah siapa saja yang mencela para masayikh tersebut -baarakallahu fiikum?

JAWAB:

Wahai saudaraku -semoga Allah menjagamu- pertama kami nasehatkan kepada para penuntut ilmu agar bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dan merasa diawasi oleh-Nya, kerana orang yang ketakwaannya lemah dan imannya lemah, dia akan berani mencela si fulan dan membicarakan si fulan tanpa merasa diawasi oleh Allah, tanpa rasa takut dan khasyah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka orang semacam ini -baarakallahu fiikum- hendaklah dia bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan merasa diawasi oleh-Nya. Orang seperti ini dikhawatirkan keadaannya. Banyak orang yang keadaannya seperti ini menyimpang. Engkau tidak sedar kecuali dia telah mencukur habis janggutnya dan boleh jadi dia meninggalkan shalat. Boleh juga dia ditimpa musibah-musibah yang tidak ada yang mengetahui seberapa jauhnya selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh kerana inilah kami mewasiatkan semua pihak agar bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kita mengetahui bahwa kehormatan saudara-saudara kita Salafiyyun adalah kehormatan yang terjaga sehingga tidak boleh bagi seorangpun untuk mencela mereka atau membicarakan mereka dengan buruk.
Adapun kaitannya dengan orang yang engkau katakan ini, tidak nampak darinya sikap yang baik terhadap Al-Halaby, Al-Ma’riby dan selain mereka.

Maka kita katakan: Jika Allah tidak membukakan hatinya untuk berbicara, maka kita mengharapkan darinya agar memuji para ulama yang berbicara tentang mereka (Al-Halaby, Al-Ma’riby dan yang lainnya) dan menjelaskan kesesatan mereka. Dan hendaklah dia mengatakan:“Saya bersama para ulama pada apa yang mereka katakan, apa yang mereka tulis dan apa yang mereka jelaskan bahwa mereka (Al-Halaby, Al-Ma’riby dan lainnya) adalah mubtadi’, sedangkan untuk berbicara banyak tentang hal ini saya tidak memiliki kemampuan, cukuplah dengan apa yang dikatakan oleh para ulama.”

Jika dia mengatakan demikian kemudian kita tidak melihatnya mendengar kaset-kaset mereka (Al-Halaby, Al-Ma’riby dan yang lainnya), tidak menganjurkan untuk mendengarkannya, serta tidak mengikuti ucapan-ucapan mereka di internet dan selainnya, maka orang seperti ini -baarakallahu fikum- boleh diambil ilmunya dan semoga Allah membalasnya dengan kebaikan serta mensyukuri apa yang dia lakukan.


Tetapi jika dia hanya diam dalam keadaan dia melihat manusia berkerumun menunggu kalimat yang akan dia ucapkan, namun dia tetap diam. Maka ini -baarakallahu fiikum- adalah bom waktu yang dikhawatirkan akan muncul ledakan Hizbiyyah darinya sewaktu-waktu. Kenapa dia diam?! Sampai biladia akan diam?! Apa yang menyebabkan dia diam?! Engkau memiliki kecemburuan terhadap manhaj salaf, engkau memiliki kecemburuan terhadap dakwah salafiyah, mereka itu terus berusaha menghancurkan dakwah salafiyah malam dan siang dan mengerahkan pasukan mereka dan siapa saja yang ada di sekitar mereka dengan tujuan menggulingkan dakwah salafiyah, tetapi engkau kikir untuk sekadar mengatakan: “Para ulama telah benar dalam menghukum mereka sebagai mubtadi’.” Engkau susah untuk mengatakan kalimat seperti ini. Apa yang ada padamu?! Apa yang engkau miliki?! Apa yang ada di belakangmu?! Bicaralah dan katakan apa yang engkau yakini dan kita tidak akan menanyakan lagi.

Oleh kerana inilah -baarakallahu fiikum- kita tidak akan mengharuskannya jika dia tidak memiliki kemampuan untuk berdiskusi, membantah dan menjelaskan keadaan ahlul bathil, iaitu kita tidak akan mengharuskannya melakukan semua yang diinginkan oleh para penuntut ilmu darinya, asalkan dia telah mendukung para masayikh dalam sikap mereka, namun kita tidak bisa menerima darinya sikap diam total dalam keadaan dia melihat manusia berselisih dalam permasalahan tersebut namun dia hanya diam. Jadi ini tidak diterima -baarakallahu fiikum.

Berapa banyak bom-bom waktu yang kita kerananya kita menjadi berselisih dan kita tidak menyedari kecuali dia telah meledakkan hizbiyyahnya. Bukan merupakan sikap taklid ketika seseorang mengatakan: “Saya bersama para ulama.” Misalnya: “Saya bersama Asy-Syaikh Rabi’ di dalam menilai Abul Hasan, Ali Hasan Al-Halaby, Adnan Ar’ur dan Al-Maghrawy. Saya bersama beliau pada apa yang beliau tulis dan apa yang beliau katakan tentang mereka dan perkataan beliaulah yang benar.” Ini sudah cukup -baarakallahu fiikum. Ini bukan merupakan sikap taklid, ini adalah sikap ittiba’ (mengikuti dalil) -baarakallahu fikum.

Ditranskrip oleh: Abu Ubaidah Munjid bin Fadhl Al-Haddad

fitnah wanita

Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَنَاظِرٌ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

“Sesungguhnya dunia ini manis lagi hijau, dan sungguh Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di atasnya, lalu Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, kerana awal fitnah yang menimpa Bani Israil dari wanitanya.” (HR. Muslim no. 6883)

fitnah

Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَنَاظِرٌ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

“Sesungguhnya dunia ini manis lagi hijau, dan sungguh Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di atasnya, lalu Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, kerana awal fitnah yang menimpa Bani Israil dari wanitanya.” (HR. Muslim no. 6883)

jalan wanita

Abu Usaid Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita ketika beliau keluar dari masjid dan mendapati para lelaki bercampur baur dengan mereka di jalan:

اسْتَأْخِرْنَ، فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرْيْقَ، عَلَيْكُنَّ بِحَافَاتِ الطَّرِيْقِ.- فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْصُقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى أَنَّ ثَوْبَهَا يَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ

“Berjalanlah kalian di belakang (jangan mendahului lelaki). Karena sungguh tidak ada bagi kalian hak untuk melalui di tengah-tengah jalan, tapi bagi kalian hanyalah (boleh berjalan di) tepi-tepi jalan.”

Maka ada wanita yang berjalan menempel/merapat ke dinding/tembok sampai-sampai pakaiannya melekat dengan tembok kerana rapatnya dengan tembok tersebut. (HR. Abu Dawud no. 5272, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 856 dan Al-Misykat no. 4727)

fitbah lelaki

Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu berkata bahawa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :

مَا تركْتُ بَعْدي فِتْنة هي أضَرّ على الرجال من النّساء

Tiada aku tinggalkan suatupun fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki daripada fitnah dari kalangan para wanita. Hadits Muttafaqun ‘alaihi

wanita

Bismillah...

* Tahukah kamu BUNGA ?
~ indah mempesona..
~ harum semerbak..

* namun itu tk berlangsung lama :
~ akan layu dg segera..
~ sirna aroma harumnya dg cepatnya ...

> Begitulah DUNIA...laksana bunga ..bgt menarik bg manusia...namun tidaklah keelokan & semerbaknya itu ABADI..ternyata menipu..

> Sbgmn firman Alloh :
[ WA LAA TAMUDDANNA 'AINAIYKA ILAA MAA MATTA'NAA BIHII AZWAAJAN MINHUM [ZAHROTAL] HAYAATID DUNYA LINAFTINAHUM FIIH, WA RIZQU RÓBBIKA KHÓIRUN WA ABQOO ]

BIMBINGANNYA AGAR KITA TIDAK TERJERUMUS PADA SIFAT ASHOBIYYAH :::

BIMBINGANNYA AGAR KITA TIDAK TERJERUMUS PADA SIFAT ASHOBIYYAH :::


Bismillaah.

[Soal] Bagaimana bimbingannya agar kita tidak terjerumus pada sifat ASHOBIYYAH kepada ustadz-ustadz yang kita KENAL DEKAT dan CINTA kepadanya?

[Jawab] Prinsipnya seperti yang diterangkan tadi ...

[Pertama] tanamkan dalam diri antum, dalam jiwa antum dan keyakinan antum:

» TAKZIMUL HAQ (mengagungkan kebenaran)
» ITTIBA’UL HAQ (mengikuti kebenaran)
» TAKDIMUL HAQ (senantiasa mendahulukan kebenaran)

[Kedua] YAKINI dalam diri antum ustadz itu sepintar apapun, setinggi apapun ilmunya ... manusia biasa.

» Boleh SALAH
» Boleh BENAR

... ini yang harus dicamkan terlebih dahulu, insya Allah akan terbebas dari sikap ASHOBIYYAH tadi sehingga rasa cinta kita, penghormatan kita, dekatnya kita kepada seorang ustadz yang kita kenal tidak sampai membutakan MATA dan MATA HATI kita.

» ketika ustadz tadi ada perkara yang KELIRU, atau perkara yang MENYIMPANG, tidak segan-segan kita untuk MENEGUR beliau.

... Jangan kerana kedekatan, kerana kecintaan ... semuanya baik! semuanya benar, tidak ada yang salah. Nabi atau Ustadz ini?

Baarakallahu fiikum. Ini ustadz bukan nabi. Maka camkan prinsip ini baik-baik. Baarakallahu fiikum.

[Ketiga] Seperti yang disebutkan oleh shahabat Rasul, dari Ali bin Abi Thalib ~radhiyAllaahu ‘anhu wa yardho~:

“Cintailah orang yang sangat kamu cintai itu sedang-sedang saja kerana bisa jadi suatu masa dia akan menjadi orang yang kamu benci. Bencilah orang yang kamu benci itu sedang-sedang saja kerana bisa jadi suatu masa dia akan menjadi orang yang kamu cintai.”

# sehingga CINTAI-lah dan BENCI-lah sesuai yang dituntunan oleh syariat.

Baarakallahu fiikum.

Amalan Mulia seputar Idul Adha

Amalan Mulia seputar Idul Adha


Amalan Mulia seputar Idul Adha

Written by buletin al-ilmu | 4 November 2011 |

Beberapa hari pertama dari bulan Dzulhijjah tahun ini telah kita lewati. Semoga Allah subhaanahu wa ta’aalaa menerima amal kita dan menghitungnya sebagai amalan yang dinyatakan oleh Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Tidaklah ada suatu hari yang amal shalih yang dilakukan padanya lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini (iaitu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah).” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Masih tersisa bagi kita di awal bulan ini beberapa hari yang memiliki keutamaan khusus dibanding hari-hari yang lain. Iaitu hari Arafah pada tanggal 9 dan keesokan harinya yang merupakan hari raya ‘Idul Adha. Berikutnya tiga hari setelah hari raya yang disebut hari tasyriq. Barangsiapa mengisi hari-hari itu dengan amalan yang sesuai dengan petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dia akan meraih keutamaan yang besar.

Para pembaca rahimakumullah. Pada buletin edisi kali akan kami sebutkan secara ringkas makna dari hari-hari tersebut (hari Arafah, hari raya ‘Idul Adha, dan hari-hari tasyriq), keutamaannya, serta amalan apa saja yang dianjurkan pada hari-hari itu, berikut hukum-hukumnya sesuai dengan bimbingan Allahsubhaanahu wa ta’aalaa dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Namun sebelumnya, penting untuk kita ketahui bahwa di antara amalan yang disyariatkan untuk diperbanyak ketika memasuki 10 hari pertama bulan Dzulhijjah adalah mengucapkan takbir. Ibadah ini masih terus berlanjut hingga akhir hari-hari Tasyriq. Ada dua macam takbir yang disyariatkan pada hari-hari tersebut, yaitu Takbir Muthlaq dan Takbir Muqayyad.

Takbir Muthlaq dilakukan sejak masuknya bulan Dzulhijjah sampai akhir hari Tasyriq. Adapun pelaksanaannya adalah setiap waktu, tidak hanya setiap selesai shalat fardhu. Jadi pensyariatannya bersifat mutlak, oleh kerana itulah dinamakan Takbir Muthlaq.

Sedangkan Takbir Muqayyad dilakukan setiap selesai shalat fardhu, dimulai sejak shalat shubuh hari ‘Arafah sampai seusai shalat ‘Ashr hari Tasyriq yang terakhir. Jadi pensyariatannya terikat dengan shalat, oleh kerana itu dinamakan dengan Takbir Muqayyad (terikat).


Puasa Arafah

Bagi jama’ah haji, hari Arafah adalah saat yang istimewa. Kerana pada hari itulah puncak pelaksanaan manasik haji ditunaikan, iaitu wukuf di padang Arafah. Pada saat itulah Allah subhaanahu wa ta’aalaa memuji dan membanggakan mereka di hadapan para malaikat-Nya. Dan pada hari itulah, banyak hamba-hamba Allah subhaanahu wa ta’aalaa yang dibebaskan dari an-naar (api neraka). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang ertinya):

“Tidak ada hari yang Allah membebaskan hamba-hamba dari api neraka yang lebih banyak daripada hari Arafah, dan sesungguhnya Allah akan mendekat dan kemudian membanggakan mereka di hadapan para malaikat dan berfirman: apa yang mereka inginkan?” (HR. Muslim)

Bagi umat Islam yang tidak  sedang menunaikan ibadah haji pun, juga berkesempatan untuk mendapatkan keutamaan dan pahala yang besar di hari itu, yaitu dengan berpuasa (‘Arafah).

Walaupun hukumnya sunnah, namun amalan puasa yang dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijjah ini memiliki keutamaan yang sangat besar, sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

“(Puasa Arafah) menghapus dosa-dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. Muslim)

Diterangkan oleh an-Nawawi rahimahullaah bahwa puasa ‘Arafah itu akan menggugurkan dosa-dosa pelakunya selama dua tahun. Dan yang dimaksud dosa di sini adalah dosa-dosa kecil. Kalau tidak memiliki dosa kecil, diharapkan akan meringankan beban  akibat dosa besarnya. Jika tidak, maka diharapkan akan mengangkat darjat orang yang berpuasa ‘Arafah tersebut. (Syarh Shahih Muslim)

Maka dari itu, seorang muslim hendaknya tidak terlupa dari kesempatan meraih keutamaan yang sangat besar ini.

Amalan lain yang juga dikerjakan pada hari Arafah adalah memulai mengumandangkan takbir muqayyad. Iaitu dimulai ketika selesai shalat shubuh sebagaimana telah diterangkan di atas. Hanya saja para ulama berbeza pendapat, bila lantunan kalimat yang mengandung pengagungan kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa ini diucapkan, apakah setelah istighfar (dalam bacaan dzikir setelah shalat), atau sebelumnya. Menurut Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullaah, yang benar adalah takbir muqayyad ini diucapkan setelah istighfar dan kalimat ‘Allahumma antassalam wa minkassalam…’ (Asy-Syarhul Mumti’)

‘Idul Adha

Tanggal 10 Dzulhijjah adalah hari raya ‘Idul Adha. Menurut pendapat yang paling kuat di kalangan ulama, inilah hari haji akbar yang merupakan hari penunaian manasik haji yang paling utama dan paling tampak, di mana rangkaian manasik haji paling banyak dilaksanakan pada hari itu.

Disebut juga dengan hari nahr (نَحْرٌ), kerana pada hari inilah dimulainya pelaksanaan nahr (dzabh atau penyembelihan) terhadap haiwan kurban dan haiwan hadyu (bagi jama’ah haji).

Inilah hari yang paling agung dan paling baik di sisi Allah subhaanahu wa ta’aalaa, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Sesungguhnya hari yang paling agung di sisi Allah tabaraka wata’ala adalah hari nahr, kemudian hari al-qarr.” (HR. Abu Dawud)

Ibnul Qayyim rahimahullaah berkata, “Sebaik-baik hari di sisi Allah subhaanahu wa ta’aalaa adalah hari Nahr, dan dia adalah hari Haji Akbar.” (Zadul Ma’ad)
Adapun hari al-qarr adalah sehari setelah hari nahr, yaitu tanggal 11 Dzulhijjah.

Shalat ‘Idul Adha

Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Baginda biasa mengerjakan shalat dua hari raya di mushalla -(secara bahasa ertinya tempat shalat)-. Para ulama menerangkan bahwa mushalla yang dimaksud di sini adalah tanah lapang, bukan masjid. Kecuali jika ada halangan, seperti hujan. Dalam kitab Shahih-nya, al-Imam al-Bukhari rahimahullaah meriwayatkan sebuah hadits (yang ertinya):

“Adalah Rasulullah dahulu keluar pada hari Idul Fitri dan Idul Adha ke mushalla, yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat.”

Shalat ‘Idul Adha disunnahkan untuk disegerakan pelaksanaannya agar kaum muslimin akan  bersegera menyembelih haiwan kurbannya. Kerana demikianlah yang afdhal, bersegera melakukan penyembelihan agar daging kurban itu akan segera dinikmati.

Sangat dianjurkan bagi kaum muslimin yang hendak menunaikan shalat ‘Id untuk mandi dan mengenakan pakaian yang paling baik sesuai dengan aturan syar’i dalam berpakaian. Bagi laki-laki sangat disukai untuk memakai wewangian, namun tidak bagi wanita.

Sepulang dari shalat ‘Id, disunnahkan untuk melalui jalan yang berbeda dengan jalan yang dilalui ketika berangkat. Kemudian bagi yang berkurban, hendaknya bersegera menyembelih hewan kurbannya. Alhamdulillah pada edisi buletin yang lalu telah dibahas hukum-hukum kurban dan berbagai masalah yang terkait dengannya. Silakan disimak kembali.

Hari Tasyriq

Hari Tasyriq adalah tiga hari setelah hari nahr, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Menurut al-Imam an-Nawawi rahimahullaah, dinamakan hari tasyriq karena pada hari-hari itu orang-orang melakukan tasyriq (mendendeng) daging kurban dan menjemurnya di terik matahari. (Syarh Shahih Muslim)

Adapun Ibnul ‘Arabi -sebagaimana dinukilkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah – mengatakan bahwa dinamakan hari tasyriq kerana haiwan-haiwan sembelihan, baik hadyu mahupun kurban itu tidaklah disembelih kecuali sampai matahari mengalami isyraq (terbit dan telah tampak bersinar). (Fathul Bari)

Hari-hari tasyriq juga diistilahkan dengan hari-hari Mina. Kerana selama tiga hari ini, jama’ah haji sedang menyempurnakan rangkaian manasik haji mereka di Mina, yaitu mabit (bermalam) dan melempar jumrahdi sana.

Disunnahkan pada hari-hari ini untuk memperbanyak dzikir kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa, sebagaimana yang diperintahkan dalam ayat-Nya (ertinya):

“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (Al-Baqarah: 203)

Abdullah bin Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Yang dimaksud dengan ‘beberapa hari yang berbilang’ pada ayat tersebut adalah hari-hari tasyriq.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Pada asalnya, berdzikir adalah suatu amalan yang dituntunkan untuk dilakukan setiap saat, bilapun dan di manapun. Namun ketika Allah subhaanahu wa ta’aalaa memerintahkan berdzikir khusus pada hari-hari tasyriq -sebagaimana dalam konteks ayat di atas-, ini menunjukkan bahwa berdzikir pada hari-hari itu memiliki nilai dan keutamaan yang lebih.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri pun juga telah menganjurkan umatnya untuk menjadikan hari tasyriq ini sebagai hari-hari untuk berdzikir kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Baginda shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرٍ لِلّهِ تَعَالَى

“Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari untuk menikmati makanan dan minuman, serta hari-hari untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala.” (HR. Muslim)

Al-Hafizh an-Nawawi rahimahullaah berkata, “Dalam hadits ini menunjukkan disukainya (disunnahkan) untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari itu (hari-hari tasyriq), berupa takbir dan yang lainnya.” (Lihat Syarh Shahih Muslim). Baik takbir muthlaq maupun takbir muqayyad. Baik di masjid, di jalan, di rumah, maupun di pasar. Demikianlah sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang sering dilalaikan oleh kaum muslimin sendiri.

Hadits di atas juga menunjukkan larangan berpuasa pada hari tasyriq. Kerana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa hari-hari tersebut adalah saatnya untuk menikmati makanan dan minuman. Baginda shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus salah seorang shahabatnya yang bernama Abdullah bin Hudzafah radhiyallaahu ‘anhu untuk berkeliling di Mina pada hari tasyriq sambil mengumumkan (yang ertinya):

“Hendaknya kalian jangan berpuasa pada hari-hari ini (hari-hari tasyriq), kerana itu adalah hari-hari untuk menikmati makanan, minuman, dan hari-hari untuk berdzikir kepada Allah ‘azza wajalla.” (HR. Ahmad)

Dikecualikan bagi jamaah haji (tamattu’ dan qiran) yang tidak memiliki haiwan hadyu untuk disembelih, boleh bagi mereka berpuasa pada hari-hari itu, sebagai denda kerana tidak menyembelih haiwan hadyu yang merupakan salah satu kewajiban haji. Ini sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman-Nya (yang ertinya):

“Tetapi jika ia tidak mendapatkan (haiwan hadyu atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali.” (Al-Baqarah: 196)

Sehingga bagi kaum mukminin, hari-hari tasyriq merupakan hari yang terkumpul padanya dua kenikmatan, kenikmatan badan (lahir) dan kenikmatan hati (batin). Kenikmatan badan dengan diberikannya kesempatan untuk menikmati makanan dan minuman, terutama daging kurban, kerana pada hari itu adalah termasuk waktu yang terlarang untuk berpuasa.

Sedangkan kenikmatan hati adalah dengan banyak berdzikir kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Karena dzikir itu bisa menenteramkan dan menenangkan hati.

“Ingatlah, hanya dengan berdzikir (mengingat) Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d: 28)

Semoga menjadi bekal ilmu dan amal yang bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Penulis: Al-Ustadz Abu Abdillah Kediri

TAKBIR MENGIKUT SUNNAH

TAKBIR MENGIKUT SUNNAH


Waktu Mulai & Berakhir Takbir

a. Takbir Eidil Fitri

Takbir pada saat Eidil fitri bermula sejak maghrib malam tanggal 1 syawal sehingga selesai solat ‘id.
Hal ini berdasarkan dalil berikut:

1. Allah berfirman, yang ertinya: “…hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (puasa) dan hendaklah kamu mengagungkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.”(Qs. Al Baqarah: 185)
Ayat ini menjelaskan bahawasanya ketika orang sudah selesai menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadlan maka disyariatkan untuk mengagungkan Allah dengan bertakbir.

2. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahawa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari rumah menuju ke tanah lapang kemudian baginda saw bertakbir hingga tiba di tanah lapang (musolla iaitu tempat solat hari raya). Baginda saw terus bertakbir sehingga solat selesai. Setelah menyelesaikan solat, baginda saw menghentikan takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 5621)

Keterangan:

1. Takbir aidil fitri dilakukan dimana saja dan bila saja. Ertinya tidak semestinya di masjid.
2. Sangat dianjurkan untuk memeperbanyak takbir ketika menuju ke tempat solat raya. Ini kerana ia merupakan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Berikut di antara dalilnya:
  • Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar daripada rumah menuju ke tanah lapang (tempat solat hari raya) kemudian baginda saw bertakbir sehingga tiba di tanah lapang. Baginda saw terus bertakbir sehingga solat selesai. Setelah menyelesaikan solat, baginda saw menghentikan takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf)
  • Daripada Nafi: “Dulu Ibn Umar bertakbir pada hari id (ketika keluar rumah) sehingga beliau tiba di tanah lapang. Beliau terus melanjutkan takbir hingga imam datang.” (HR. Al Faryabi dalamAhkam al Idain)
  • Daripada Muhammad bin Ibrahim (seorang tabi’in), beliau mengatakan: “Dulu Abu Qatadah berangkat menuju tanah lapang pada hari raya kemudian bertakbir. Beliau terus bertakbir sehingga tiba di tanah lapang.” (Al Faryabi dalam Ahkam al Idain)
b. Takbir Aidil Adha

Takbir Aidil Adha ada dua:

1. Takbir yang tidak terikat waktu (Takbir Mutlak)
Takbir hari raya yang tidak terikat waktu adalah takbir yang dilakukan bila saja, dimana saja, selama masih dalam tempoh waktu yang dibolehkan.
Takbir mutlak menjelang aidil Adha bermula sejak tanggal 1 Zulhijjah sehingga waktu asar pada tanggal 13 Zulhijjah. Selama tanggal 1 – 13 Zulhijjah, kaum muslimin disyariatkan memperbanyakkan ucapan takbir di mana saja, bila saja dan dalam keadaan apa saja. Boleh sambil berjalan, di kenderaan, bekerja, berdiri, duduk, ataupun berbaring. Demikian pula, takbir ini boleh dilakukan di rumah, jalan, pejabat, sawah, pasar, tanah lapang, masjid, dst. Dalilnya adalah:
a. Allah berfirman, yang ertinya: “…supaya mereka berzikir (menyebut) nama Allah pada hari yang telah ditentukan…” (Qs. Al Hajj: 28)
Allah juga berfirman, yang ertinya: “….Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang…” (Qs. Al Baqarah: 203)
Tafsirnya:
  • Yang dimaksud berzikir pada dua ayat di atas adalah melakukan takbir
  • Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: “Yang dimaksud ‘hari yang telah ditentukan’ adalah tanggal 1 – 10 Zulhijjah, sedangkan maksud ‘beberapa hari yang berbilang’ adalah hari tasyriq, tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah.” (Al Bukhari secara Mua’alaq, sebelum hadis no.969)
  • Dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas, bahawa maksud “hari yang telah ditentukan” adalah tanggal 1 – 9 Zulhijjah, sedangkan makna “beberapa hari yang berbilang” adalah hari tasyriq, tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah. (Disebutkan oleh Ibn Hajar dalam Fathul Bari 2/458, kata Ibn Mardawaih: Sanadnya sahih)
b. Hadis dari Abdullah bin Umar, bahawa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada amal yang dilakukan di hari yang lebih agung dan lebih dicintai Allah melebihi amal yang dilakukan di tanggal 1 – 10 Zulhijjah. Oleh kerana itu, perbanyaklah membaca tahlil, takbir, dan tahmid pada hari itu.” (HR. Ahmad & Sanadnya disahihkan Syaikh Ahmad Syakir)

c. Imam Al Bukhari mengatakan: “Dulu Ibn Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada tanggal 1 – 10 Zulhijjah. Mereka berdua mengucapkan takbir kemudian masyarakat bertakbir disebabkan mendengar takbir mereka berdua.” (HR. Al Bukhari sebelum hadis no.969)

d. Disebutkan Imam Bukhari: “Umar bin Khatab pernah bertakbir di khemahnya ketika di Mina dan didengar oleh orang yang berada di masjid. Akhirnya mereka semua bertakbir dan masyarakat yang di pasar-pun ikut bertakbir. Sehingga Mina bergema dengan takbir.” (HR. Al Bukhari sebelum hadis no.970)

e. Disebutkan oleh Ibn Hajar bahawa Ad Daruqutni meriwayatkan: “Dulu Abu Ja’far Al Baqir (cucu Ali bin Abi Thalib) bertakbir setiap selesai solat sunat di Mina.” (Fathul Bari 3/389)

2. Takbir yang terikat waktu

Takbir yang terikat waktu adalah takbir yang dilaksanakan setiap selesai melaksanakan solat wajib. Takbir ini dimulai sejak setelah solat subuh tanggal 9 Zulhijjah sehingga setelah solat Asar tanggal 13 Zulhijjah. Berikut dalil-dalilnya:

a. Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, bahawa beliau dulu bertakbir setelah solat shubuh pada tanggal 9 Zulhijjah sehingga setelah Zuhur pada tanggal 13 Zulhijjah. (Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi dan sanadnya disahihkan Al Albani)

b. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahawa beliau bertakbir setelah solat shubuh pada tanggal 9 Zulhijjah sehingga Asar tanggal 13 Zulhijjah. Beliau juga bertakbir setelah ashar. (HR Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi. Al Albani mengatakan: “Sahih dari Ali radhiyallahu ‘anhu“)

c. Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahawa beliau bertakbir setelah solat shubuh pada tanggal 9 Zulhijjah sehingga tanggal 13 Zulhijjah. Beliau tidak bertakbir setelah maghrib (malam tanggal 14 Zulhijjah). (HR Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi. Al Albani mengatakan: Sanadnya sahih)

d. Dari Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahawa beliau bertakbir setelah solat shubuh pada tanggal 9 Zulhijjah sehingga Asar tanggal 13 Zulhijjah. (HR. Al Hakim dan disahihkan An Nawawi dalam Al Majmu’)

Lafaz Takbir

Tidak terdapat riwayat lafaz takbir tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja ada beberapa riwayat dari beberapa sahabat yang mencontohkan lafaz takbir. Diantara riwayat tersebut adalah:

Pertama, Takbir Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Riwayat daripada beliau ada 2 lafaz takbir:

أ‌- اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُب‌- اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ

Keterangan:Lafaz: “Allahu Akbar” pada takbir Ibn Mas’ud boleh dibaca dua kali atau tiga kali. Semuanya diriwayatkan Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf.

Kedua, Takbir Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma:

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّاللَّهُ أَكْبَرُ، عَلَى مَا هَدَانَا

Keterangan:Takbir Ibn Abbas diriwayatkan oleh Al Baihaqi dan sanadnya disahihkan Syaikh Al Albani.

Ketiga, Takbir Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu:

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا

Keterangan: Ibn Hajar mengatakan: Takbir Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam Al Mushanaf dengan sanad sahih dari Salman.

Catatan Penting

As Shan’ani mengatakan: “Penjelasan tentang lafaz takbir sangat banyak daripada berberapa ulama. Ini menunjukkan bahawa perintah bentuk takbir cukup longgar. Disamping ayat yang memerintahkan takbir juga menuntut demikian.”
Maksud perkataan As Shan’ani adalah bahawa lafaz takbir itu longgar, tidak hanya satu atau dua lafaz. Orang boleh milih mana saja yang dia suka. Bahkan sebahagian ulama mengucapkan lafaz takbir yang tidak ada keterangan dalam riwayat hadis. Allahu A’lam.

Kebiasaan yang Salah Ketika Takbir

Ada beberapa kebiasaan yang salah ketika melakukan takbir di hari raya, diantaranya:

a. Takbir berjamaah di masjid atau di tanah lapang
Ini kerana takbir yang sunnah itu dilakukan sendiri-sendiri dan tidak diketuai seseoran. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Anas bin Malik bahawa para sahabat ketika bersama nabi pada saat bertakbir, ada yang sedang membaca Allahu akbar, ada yang sedang membaca laa ilaaha illa Allah, dan satu sama lain tidak saling menyalahkan… (Musnad Imam Syafi’i 909)
Riwayat ini menunjukkan bahawa takbirnya para sahabat tidak seragam. Kerana mereka bertakbir sendiri-sendiri dan tidak berjamaah.

b. Takbir dengan menggunakan pengeras suara
Perlu difahami bahawa cara melakukan takbir hari raya tidak sama dengan cara melaksanakan azan. Dalam syariat azan, seseorang dianjurkan untuk melantangkan suaranya sekeras mungkin. Oleh kerana itu, para juru azan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Bilal, dan Abdullah bin Umi Maktum ketika hendak azan mereka naik, mencari tempat yang tinggi. Tujuannya adalah agar azan didengar oleh banyak orang. Namun ketika melakukan takbir hari raya, tidak terdapat satupun riwayat bahawa Bilal naik mencari tempat yang tinggi dalam rangka melakukan takbir. Beliau melakukan takbir di bawah dengan suara keras yang hanya didengari oleh beberapa orang di sekelilingnya saja.
Oleh kerana itu, sebaiknya melakukan takbir hari raya tidak sebagaimana azan. Ini kerana dua syariat ini adalah syariat yang berbeza.

c. Hanya bertakbir setiap selesai solat berjamaah
Sebagaimana telah dijelaskan bahawa takbir itu ada dua. Ada yang terikat waktu dan ada yang sifatnya mutlak (tidak terikat waktu). Untuk takbir yang mutlak sebaiknya tidak dilaksanakan setiap selesai solat fardlu saja. Yang sunnah dilakukan setiap saat, bila saja dan di mana saja.
Ibnul Mulaqin mengatakan: “Takbir setelah solat wajib dan yang lainnya, untuk takbir Aidil Fitri maka tidak dianjurkan untuk dilakukan setelah solat, menurut pendapat yang lebih kuat.” (Al I’lam bi Fawaid Umadatil Ahkam: 4/259)
Amal yang disyariatkan ketika selesai solat jamaah adalah berzikir sebagaimana zikir setelah solat. Bukan melaungkan takbir. Waktu melaungkan takbir cukup longgar, boleh dilakukan bilapun selama hari raya. Oleh kerana itu, tidak selayaknya mengambil waktu yang digunakan untuk berzikir setelah solat.

d. Tidak bertakbir ketika di tengah perjalanan menuju tanah lapang
Sebagaimana riwayat yang telah disebutkan di atas, bahawa takbir yang sunnah itu dilakukan ketika di perjalanan menuju tempat solat hari raya. Namun sayang sunnah ini hampir hilang, melihatkan ramainya orang yang meninggalkannya.

e. Bertakbir dengan lafaz yang terlalu panjang
Sebahagian pemimpin takbir sesekali melantunkan takbir dengan bacaan yang sangat panjang. Berikut lafaznya:
الله أكبر كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إلَّا إيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ…
Takbir dengan lafaz yang panjang di atas tidak ada dalilnya. Allahu a’lam.