Sunday 6 January 2013

khutbah iblis

Iblis berkhutbah…??, benar…ia berkhutbah…bahkan khutbah yang paling menyentuh hati…tidak ada khutbah yang menyentuh hati sebagaimana khutbah Iblis ini.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata :

إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ ، قَامَ إِبْلِيْسُ خَطِيْبًا عَلَى مِنْبَرٍ مِنْ نَارٍ ، فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَعَدَكُمْ وَعْدَ الْحَقِّ وَوَعَدْتُكُمْ فَأَخْلَفْتُكُمْ

"Tatkala hari kiamat Iblis berdiri di atas sebuah mimbar dari api lalu berkhutbah seraya berkata, "Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya…" (Tafsiir At-Thobari 16/563)

Al-Haafizh Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
يُخْبِرُ تَعَالَى عَمَّا خَطَبَ بِهِ إِبْلِيْسُ أَتْبَاعَهُ، بَعْدَمَا قَضَى اللهُ بَيْنَ عِبَادَهُ، فَأدخل المؤمنين الجنات، وأسكن الكافرين الدركات، فقام فيهم إبليس -لعنه الله -حينئذ خطيبا ليزيدهم حزنا إلى حزنهم (4) وغَبنا إلى غبْنهم، وحسرة إلى حسرتهم
"Allah mengabarkan tentang khutbah yang disampaikan oleh Iblis kepada para pengikutnya, yaitu setelah Allah memutuskan/menghisab para hambaNya, lalu Allah memasukan kaum mukminin ke surga, dan Allah menempatkan orang-orang kafir ke dalam neraka jahannam. Maka Iblispun tatkala itu berdiri dan berkhutbah kepada para pengikutnya agar semakin menambah kesedihan di atas kesedihan mereka, kerugian di atas kerugian, serta penyesalan di atas penyesalan…." (Tafsiir Al-Qur'an Al-'Adziim 4/489)

Khutbah tersebut disampaikan oleh Iblis kepada para pengikutnya pada saat yang sangat menegangkan…tatkala mereka pertama kali dimasukkan ke dalam neraka jahannam…tatkala mereka telah melihat api yang menyala-nyala yang siap membakar mereka…!!!

Khutbah tersebut…

Benar-benar masuk ke dalam hati para pengikut Iblis…,

Khutbah yang mengalirkan air mata mereka…

khutbah yang benar-benar telah menyadarkan mereka akan kesalahan-kesalahan mereka…

Khutbah yang menyadarkan mereka bahwasanya selama ini mereka hanya terpedaya oleh sang pemimpin…sang khotiib…Iblis la’natullah 'alaihi
Allah menyebutkan khutbah Iblis yang sangat menyentuh tersebut:
وَقَالَ الشَّيْطَانُ لَمَّا قُضِيَ الأمْرُ إِنَّ اللَّهَ وَعَدَكُمْ وَعْدَ الْحَقِّ وَوَعَدْتُكُمْ فَأَخْلَفْتُكُمْ وَمَا كَانَ لِي عَلَيْكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ إِلا أَنْ دَعَوْتُكُمْ فَاسْتَجَبْتُمْ لِي فَلا تَلُومُونِي وَلُومُوا أَنْفُسَكُمْ مَا أَنَا بِمُصْرِخِكُمْ وَمَا أَنْتُمْ بِمُصْرِخِيَّ إِنِّي كَفَرْتُ بِمَا أَشْرَكْتُمُونِي مِنْ قَبْلُ إِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (٢٢)وَأُدْخِلَ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ (٢٣)
"Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: "Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada kalian janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepada kalian tetapi aku menyalahinya. sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadap kalian, melainkan (sekedar) aku menyeru kalian lalu kalian mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kalian mencerca aku akan tetapi cercalah diri kalian sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolong kalian dan kalian pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatan kalian yang mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu". Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih".
Dan dimasukkanlah orang-orang yang beriman dan beramal saleh ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dengan seizin Tuhan mereka" (QS Ibrahim : 22-23)
Demikianlah khutbah Iblis tersebut….setelah ia menggoda manusia…setelah menipu mereka…setelah menjerumuskan mereka dalam neraka…setelah tercapai cita-citanya…lalu…
  • Iapun berlepas diri dari para pengikutnya. Ia sama sekali tidak mau bertanggung jawab atas godaan-godaannya…
  • Bahkan ia sama sekali tidak mau disalahkan dan dicela…akan tetapi ia menyuruh mereka (para pengikutnya) untuk mencela diri mereka sendiri…
  • Bahkan ia mengaku sejak dulu kufur/ingkar terhadap kesyirikan yang dilakukan oleh pengikutnya…

Yang lebih menjadikan para pengikutnya tersentuh, Iblis menutup khutbahnya dengan menyatakan bahwa "Sesungguhnya orang-orang zalim mendapatkan siksaan yang pedih"…lalu Iblis menyebutkan tentang kenikmatan penduduk surga, yaitu orang-orang yang tidak mau menjadi pengikut Iblis…!!!

Sungguh kehinaan dan kesedihan yang tidak bisa terbayangkan dalam hati para penghuni neraka tatkala mendengar khutbah dari sang pemimpin…

Semoga Allah menjaga kita dari rayuan Iblis…jangan sampai kita termasuk dari orang-orang yang tersentuh karena kutbah Iblis ini….orang-orang yang tatkala di dunia tidak tersentuh oleh nasehat-nasehat, tidak tergerak hati mereka tatkala mendengar pengajian-pengajian dan khutbah-khutbah…hati mereka hanyalah tergerak dan tersentuh tatkala mendengar khutbah Iblis….wal'iyaadzu billah.

Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 14-02-1434 H / 27 Desember2012 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

PENAMPILAN ITU ADALAH SYI’AR ISLAM, BUKAN CIRI-CIRI TERORIS!!

PENAMPILAN ITU ADALAH SYI’AR ISLAM, BUKAN CIRI-CIRI TERORIS!!

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan syari’at Islam dengan sempurna dan meliputi segala hal, berlaku untuk semua zaman, semua tempat, dan dalam semua kondisi.

Baik dalam
bidang aqidah, ibadah, akhlaq sopan santun, cara berpenampilan dan berpakaian, cara bermuamalah antar sesama, dan banyak lagi. Semuanya telah lengkap dan sempurna.

Syari’at Islam ada yang bersifat batin/tidak tampak, ada pula yang bersifat zhahir/tampak. Semuanya merupakan bagian dari syari’at Islam yang harus diamalakan oleh setiap individu muslim. Syi’ar-syi’ar Islam harus dihormati dan dijunjung tinggi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati. (Al-Hajj : 32)

Di antara aturan syari’at Islam yang penuh rahmat ini adalah cara berpenampilan. Islam telah memberikan ketentuan bagi kaum mukminin dan mukminah dalam cara berpenampilan dan berpakaian.

Terkait dengan mukminin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

(Batas panjang) pakaian (sarung, gamis, celana) seorang muslim adalah sampai pertengahan betis, dan tidak mengapa jika sampai antara pertengahan betis dengan dua mata kaki.

Kain yang (dipanjangkan sampai) berada di bawah mata kaki maka itu di neraka. Barangsiapa yang menjulurkan sarung (melebihi mata kaki) karena sombong maka Allah tidak akan melihat kepadanya. (HR. Abu Dawud 4093).

Hadits ini menunjukkan bahwa cara berpakaian seorang muslim harus di atas mata kaki, tidak boleh di bawah mata kaki. Ini ketentuan syari’at Islam sekaligus ini merupakan ajaran junjungan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Barangsiapa yang berani melanggar ketentuan ini dengan sengaja maka dia diancam dengan neraka. Jika melanggar aturan ini karena sombong, maka ancamannya lebih besar lagi.

Seorang muslim yang cinta ajaran Nabinya, cinta agama Islam, tunduk dan patuh kepada perintah Allah ‘Azza wa Jalla, maka pasti dia akan memperhatikan aturan syari’at Islam yang satu ini. Dengan tanpa malu atau gengsi ia akan berpenampilan dengan pakaian (sarung, gamis, celana) di atas mata kaki atau setengah betis.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang berjenggot lebat dan berambut tebal. Ini merupakan teladan dari beliau dalam berpenampilan. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya untuk berjenggot. Beliau bersabda :

Potonglah kumis-kumis (kalian) dan panjangkanlah jenggot-jenggot (kalian), berbedalah kalian dengan penampilan kaum musyrikin. (Muttafaqun ‘alaihi)

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda :

Pangkaslah kumis-kumis (kalian) dan biarkan panjang jenggot-jenggot (kalian), berbedalah kalian dengan penampilan kaum majusi. (Muttafaqun ‘alaihi)

Hadits di atas menunjukkan kewajiban memanjangkan jenggot sekaligus menunjukkan haram menggunting atau mencukur jenggot. Ini adalah perintah dan larangan langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian juga, Islam sebagai syari’at yang lengkap dan sempurna, pembawa rahmat bagi alam semesta, sangat menghargai dan menjaga kehormatan kaum wanita. Jangan sampai mereka menjadi mangsa pihak-pihak tidak bertanggungjawab. Di antara bentuk penjagaan Islam terhadap kaum wanita adalah mereka diwajibkan mengenakan pakaian yang menutupi seluruh aurat mereka, mulai dari rambut, leher, tengkuk, dada, punggung, kaki, dan seluruh anggota tubuh mereka.

Perintah ini Allah tegaskan dalam Al-Qur`an pada surat An-Nur : 31 dan surat Al-Ahzab : 59. Sebagai generasi yang taat, tunduk, dan patuh kepada perintah Allah dan Rasul-Nya para istri Nabi dan para shahabiyyah segera melaksanakan perintah tersebut. Islam mempersyarakatkan baju yang dikenakan tersebut harus menutupi seluruh tubuh, lebar, tidak ketat atau transparan, tidak berwarna mencolok atau menarik, dan beberapa kriteria lainnya.

Termasuk yang juga harus ditutup oleh kaum wanita adalah wajah. Ibunda kaum mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu’anha mengatakan :

“Para pengendara (laki-laki) melewati kami, ketika kami (para wanita) berhaji bersama-sama Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam. Maka ketika mereka (para pengendara laki-laki tersebut) telah dekat, masing-masing kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya sampai menutupi wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, maka kami membuka wajah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain).

Beberapa ketentuan terkait penampilan dan pakaian di atas merupakan ketentuan syari’at Islam dan merupakan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentu saja itu menjadi ciri khas bagi kaum muslimin yang taat menjalankan ajaran syari’at, cinta kepada bimbingan Nabinya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penampilan Islami tersebut merupakan ciri-ciri orang yang bertaqwa, ciri orang yang shalih, ciri orang yang taat dan cinta pada agama Islam.

Penampilan Islami di atas bukan bikinan kelompok/golongan atau bangsa tertentu, bukan pula ciri khas kelompok atau bangsa tertentu, bukan pula sekedar adat kebiasan masyarakat, bangsa, atau kelompok tertentu.

Tapi merupakan aturan syariat Islam, merupakan ketentuan yang berasal dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang diajarkan dan disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sungguh musibah telah menimpa kaum muslimin. Setelah kaum teroris – khawarij mencoreng Islam dan kaum muslimin, mencemarkan nama harum jihad, mereka juga mencemarkan syiar-syiar Islam.

Sebagian kaum teroris – khawarij tersebut ternyata menampakkan atribut-atribut Islami di atas, bahkan mereka jadikan atribut Islami tersebut sebagai sarana untuk penyamaran dan melarikan diri!!

Maka timbullah stigma di masyarakat bahwa orang-orang berjenggot, bergamis, bercelana di atas mata kaki, atau istri bercadar berarti adalah teroris, atau sepaham/sealiran dengan teroris, atau minimalnya pro teroris sehingga harus dicurigai dan diselidiki. Sungguh jahat para teroris – khawarij tersebut, akibat ulah mereka syiar Islam yang mulia menjadi tercitrakan jelek.

Yang sangat disesalkan adalah justru sebagaian kaum muslimin sendiri menjadi benci terhadap jenggot, gamis, cadar, dll serta ikutan-ikutan menaruh curiga kepada setiap orang yang mengenakannya.

Maka suasana ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang membenci syariat Islam, untuk kembali menghembuskan isu bahwa jenggot, gamis, cadar, dll bukan bagian dari Islam, itu hanya adat arab badui, atau merupakan ciri-ciri kelompok garis keras.

Sungguh keyakinan demikian telah menginjak-injak syari’at Islam, dan disadari maupun tidak merupakan pengingkaran terhadap sebagian ajaran Islam. Yang lebih disesalkan adalah justru stigma negatif di atas juga disuarakan oleh orang-orang yang selama ini dianggap sebagai tokoh Islam, atau cendekiawan muslim. Sungguh komentar-komentar mereka tidak memberikan solusi, tapi malah membuat suasana semakin keruh

Sikap sebagian kaum muslimin yang menaruh curiga terhadap segala atribut Islami di atas – bahkan di beberapa daerah sampai pada tindakan main hakim sendiri – bukanlah solusi untuk memberantas terorisme.

Justru hal itu menunjukkan ketidakpahaman umat terhadap hakekat terorisme, di sisi lain menunjukkan betapa rapuhnya aqidah umat sehingga sangat mudah dikendalikan oleh media massa dan tokoh-tokoh yang tidak jelas.

Terorisme – Khawarij muncul karena kecintaan yang besar terhadap Islam dan semangat memperjuangkan Islam, namun keluar dari metode yang benar dalam memahami dan mengaplikasikan dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah. Terorisme yang muncul sekarang sebenarnya berakar dan merupakan kelanjutan dari paham sesat khawarij.
PENAMPILAN ITU ADALAH SYI’AR ISLAM, BUKAN CIRI-CIRI TERORIS!!

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan syari’at Islam dengan sempurna dan meliputi segala hal, berlaku untuk semua zaman, semua tempat, dan dalam semua kondisi.

Baik dalam
bidang aqidah, ibadah, akhlaq sopan santun, cara berpenampilan dan berpakaian, cara bermuamalah antar sesama, dan banyak lagi. Semuanya telah lengkap dan sempurna.

Syari’at Islam ada yang bersifat batin/tidak tampak, ada pula yang bersifat zhahir/tampak. Semuanya merupakan bagian dari syari’at Islam yang harus diamalakan oleh setiap individu muslim. Syi’ar-syi’ar Islam harus dihormati dan dijunjung tinggi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati. (Al-Hajj : 32)

Di antara aturan syari’at Islam yang penuh rahmat ini adalah cara berpenampilan. Islam telah memberikan ketentuan bagi kaum mukminin dan mukminah dalam cara berpenampilan dan berpakaian.

Terkait dengan mukminin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

(Batas panjang) pakaian (sarung, gamis, celana) seorang muslim adalah sampai pertengahan betis, dan tidak mengapa jika sampai antara pertengahan betis dengan dua mata kaki.

Kain yang (dipanjangkan sampai) berada di bawah mata kaki maka itu di neraka. Barangsiapa yang menjulurkan sarung (melebihi mata kaki) karena sombong maka Allah tidak akan melihat kepadanya. (HR. Abu Dawud 4093).

Hadits ini menunjukkan bahwa cara berpakaian seorang muslim harus di atas mata kaki, tidak boleh di bawah mata kaki. Ini ketentuan syari’at Islam sekaligus ini merupakan ajaran junjungan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Barangsiapa yang berani melanggar ketentuan ini dengan sengaja maka dia diancam dengan neraka. Jika melanggar aturan ini karena sombong, maka ancamannya lebih besar lagi.

Seorang muslim yang cinta ajaran Nabinya, cinta agama Islam, tunduk dan patuh kepada perintah Allah ‘Azza wa Jalla, maka pasti dia akan memperhatikan aturan syari’at Islam yang satu ini. Dengan tanpa malu atau gengsi ia akan berpenampilan dengan pakaian (sarung, gamis, celana) di atas mata kaki atau setengah betis.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang berjenggot lebat dan berambut tebal. Ini merupakan teladan dari beliau dalam berpenampilan. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya untuk berjenggot. Beliau bersabda :

Potonglah kumis-kumis (kalian) dan panjangkanlah jenggot-jenggot (kalian), berbedalah kalian dengan penampilan kaum musyrikin. (Muttafaqun ‘alaihi)

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda :

Pangkaslah kumis-kumis (kalian) dan biarkan panjang jenggot-jenggot (kalian), berbedalah kalian dengan penampilan kaum majusi. (Muttafaqun ‘alaihi)

Hadits di atas menunjukkan kewajiban memanjangkan jenggot sekaligus menunjukkan haram menggunting atau mencukur jenggot. Ini adalah perintah dan larangan langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian juga, Islam sebagai syari’at yang lengkap dan sempurna, pembawa rahmat bagi alam semesta, sangat menghargai dan menjaga kehormatan kaum wanita. Jangan sampai mereka menjadi mangsa pihak-pihak tidak bertanggungjawab. Di antara bentuk penjagaan Islam terhadap kaum wanita adalah mereka diwajibkan mengenakan pakaian yang menutupi seluruh aurat mereka, mulai dari rambut, leher, tengkuk, dada, punggung, kaki, dan seluruh anggota tubuh mereka.

Perintah ini Allah tegaskan dalam Al-Qur`an pada surat An-Nur : 31 dan surat Al-Ahzab : 59. Sebagai generasi yang taat, tunduk, dan patuh kepada perintah Allah dan Rasul-Nya para istri Nabi dan para shahabiyyah segera melaksanakan perintah tersebut. Islam mempersyarakatkan baju yang dikenakan tersebut harus menutupi seluruh tubuh, lebar, tidak ketat atau transparan, tidak berwarna mencolok atau menarik, dan beberapa kriteria lainnya.

Termasuk yang juga harus ditutup oleh kaum wanita adalah wajah. Ibunda kaum mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu’anha mengatakan :

“Para pengendara (laki-laki) melewati kami, ketika kami (para wanita) berhaji bersama-sama Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam. Maka ketika mereka (para pengendara laki-laki tersebut) telah dekat, masing-masing kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya sampai menutupi wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, maka kami membuka wajah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain).

Beberapa ketentuan terkait penampilan dan pakaian di atas merupakan ketentuan syari’at Islam dan merupakan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentu saja itu menjadi ciri khas bagi kaum muslimin yang taat menjalankan ajaran syari’at, cinta kepada bimbingan Nabinya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penampilan Islami tersebut merupakan ciri-ciri orang yang bertaqwa, ciri orang yang shalih, ciri orang yang taat dan cinta pada agama Islam.

Penampilan Islami di atas bukan bikinan kelompok/golongan atau bangsa tertentu, bukan pula ciri khas kelompok atau bangsa tertentu, bukan pula sekedar adat kebiasan masyarakat, bangsa, atau kelompok tertentu.

Tapi merupakan aturan syariat Islam, merupakan ketentuan yang berasal dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang diajarkan dan disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sungguh musibah telah menimpa kaum muslimin. Setelah kaum teroris – khawarij mencoreng Islam dan kaum muslimin, mencemarkan nama harum jihad, mereka juga mencemarkan syiar-syiar Islam.

Sebagian kaum teroris – khawarij tersebut ternyata menampakkan atribut-atribut Islami di atas, bahkan mereka jadikan atribut Islami tersebut sebagai sarana untuk penyamaran dan melarikan diri!!

Maka timbullah stigma di masyarakat bahwa orang-orang berjenggot, bergamis, bercelana di atas mata kaki, atau istri bercadar berarti adalah teroris, atau sepaham/sealiran dengan teroris, atau minimalnya pro teroris sehingga harus dicurigai dan diselidiki. Sungguh jahat para teroris – khawarij tersebut, akibat ulah mereka syiar Islam yang mulia menjadi tercitrakan jelek.

Yang sangat disesalkan adalah justru sebagaian kaum muslimin sendiri menjadi benci terhadap jenggot, gamis, cadar, dll serta ikutan-ikutan menaruh curiga kepada setiap orang yang mengenakannya.

Maka suasana ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang membenci syariat Islam, untuk kembali menghembuskan isu bahwa jenggot, gamis, cadar, dll bukan bagian dari Islam, itu hanya adat arab badui, atau merupakan ciri-ciri kelompok garis keras.

Sungguh keyakinan demikian telah menginjak-injak syari’at Islam, dan disadari maupun tidak merupakan pengingkaran terhadap sebagian ajaran Islam. Yang lebih disesalkan adalah justru stigma negatif di atas juga disuarakan oleh orang-orang yang selama ini dianggap sebagai tokoh Islam, atau cendekiawan muslim. Sungguh komentar-komentar mereka tidak memberikan solusi, tapi malah membuat suasana semakin keruh

Sikap sebagian kaum muslimin yang menaruh curiga terhadap segala atribut Islami di atas – bahkan di beberapa daerah sampai pada tindakan main hakim sendiri – bukanlah solusi untuk memberantas terorisme.

Justru hal itu menunjukkan ketidakpahaman umat terhadap hakekat terorisme, di sisi lain menunjukkan betapa rapuhnya aqidah umat sehingga sangat mudah dikendalikan oleh media massa dan tokoh-tokoh yang tidak jelas.

Terorisme – Khawarij muncul karena kecintaan yang besar terhadap Islam dan semangat memperjuangkan Islam, namun keluar dari metode yang benar dalam memahami dan mengaplikasikan dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah. Terorisme yang muncul sekarang sebenarnya berakar dan merupakan kelanjutan dari paham sesat khawarij.

Malam Jum'at Di-Sunnah-kan Baca Surat Al-Kahfi, Bukan Surat Yasin



Malam Jum'at Di-Sunnah-kan Baca Surat Al-Kahfi, Bukan Surat Yasin

OLEH: BADRUL TAMAM

Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada RasulullahShallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya serta umatnya hingga akhir zaman.

Membaca surat Yasin pada malam Jum'at menjadi tradisi yang melekat pada masyarakat Melayu, seperti Indonesia dan Malaysia. Selepas Maghrib, rumah-rumah, masjid, dan mushalla ramai dengan lantunan surat Yasin baik dengan sendiri-sendiri maupun berjamaah (Yasinnan) Terekam dalam benak, bahwa ini adalah amal yang benar-benar disyariatkan dan memiliki pahala besar. Bagaimana sebenarnya hukumtakhsis malam Jum'at dengan membaca surat Yasin?

Pertama, membaca Al-Qur'an dianjurkan kepada kaum muslimin, bahkan termasuk Amal Utama. Pahalanya sangat besar di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kedekatan seseorang dengan Rabb-nya bisa dilihat seberapa ia dekat dengan Al-Qur'an, karena ia adalah Kalamullah.

Maka jika seseorang memperbanyak membaca Al-Qur'an maka itu baik untuknya, termasuk membaca surat Yasin, baik di malam Jum'at atau malam-malam lainnya.
Kedua, Membaca Al-Qur'an termasuk amal ibadah mutlak, tidak terikat kapan dan dimana harus dibaca.

Sementara menghususkannya dengan waktu dan tempat tertentu itu membutuhkan dalil. Dan tidak ditemukan dalil shahih tentang anjuran dan fadhilah membaca surat Yasin pada malam dan hari Jum'at. Para ulama ahli hadits menghukumi keutamaan surat Yasin antara dhaif atau maudhu'.

Sehingga seseorang tidak boleh menghususkannya pada malam Jum'at dengan meyakini itu termasuk amal khusus yang disyariatkan padanya dan memiliki keutamaan tertentu.

Syaikh Abdurrahman al-Sahim dalam forum Syabkah Misykah Al-Islamiyyah menjawab pertanyaan seputar ini, "Shahihkah Hadits yang Menyebutkan Tentang Membaca Surat Yasin dan al-Shaffat pada Malam Jum'at?",.

Jawaban beliau, "Ini tidak shahih. Dan disebutkan riwayat:
مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ يس فِي لَيْلَةِ الْجُمعَةِ غُفِرَ لَهُ
"Siapa yang membaca surat (Yasin) pada malam Jum'at diampuni dosanya."
Syaikh Al-Albani berkata: "Dhaif Jiddan (sangat lemah,-ter)" (Lihat: Dhaif al-Targhib wa al-Tarhib: no. 450).

Dan tidak terdapat satu haditspun yang shahih tentang keutamaan surat Yasin." Wallahu Ta'ala A'lam.
Apa yang Disyariatkan Dibaca Pada Malam dan Hari Jum'at .Salah satu amal ibadah khusus yang diistimewakan pelakasanaannya pada hari Jum’at adalah membaca surat Al-Kahfi.

Berikut ini kami sebutkan beberapa dalil shahih yang menyebutkan perintah tersebut dan keutamaannya.

1. Dari Abu Sa'id al-Khudri radliyallahu 'anhu, dari Nabishallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ َقَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيْقِ
"Barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada malam Jum’at, maka dipancarkan cahaya untuknya sejauh antara dirinya dia dan Baitul 'atiq." (Sunan Ad-Darimi, no. 3273. Juga diriwayatkan al-Nasai dan Al-Hakim serta dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, no. 736)

2. Dalam riwayat lain masih dari Abu Sa’id al-Khudriradhiyallahu 'anhu,
مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ فِي يَوْمِ الْجُمْعَةِ أَضَآءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ مَا بَيْنَ الْجُمْعَتَيْنِ
"Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum’at, maka akan dipancarkan cahaya untuknya di antara dua Jum'at." (HR. Al-Hakim: 2/368 dan Al-Baihaqi: 3/249. Ibnul Hajar mengomentari hadits ini dalam Takhrij al-Adzkar, “Hadits hasan.” Beliau menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits paling kuat tentang surat Al-Kahfi. Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Shahih al-Jami’, no. 6470)

3. Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, berkata: Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ فِي يَوْمِ الْجُمْعَةِ سَطَعَ لَهُ نُوْرٌ مِنْ تَحْتِ قَدَمِهِ إِلَى عَنَانِ السَّمَاءَ يُضِيْءُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَغُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَ الْجُمْعَتَيْنِ
“Siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum’at, maka akan memancar cahaya dari bawah kakinya sampai ke langit, akan meneranginya kelak pada hari kiamat, dan diampuni dosanya antara dua Jumat.”

Al-Mundziri berkata: hadits ini diriwayatkan oleh Abu Bakr bin Mardawaih dalam tafsirnya dengan isnad yang tidak apa-apa. (Dari kitab at-Targhib wa al- Tarhib: 1/298)”

Kapan Membacanya?

Sunnah membaca surat Al-Kahfi pada malam Jum’at (selepas magrib) atau pada hari Jum’atnya (pas Magrib). Dan malam Jum’at diawali sejak terbenamnya matahari pada hari Kamis. Kesempatan ini berakhir sampai terbenamnya matahari pada hari Jum’atnya.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa kesempatan membaca surat Al-Kahfi adalah sejak terbenamnya matahari pada hari Kamis sore sampai terbenamnya matahari pada hari Jum’at.

Imam Al-Syafi'i rahimahullah dalam Al-Umm menyatakan bahwa membaca surat al-Kahfi bisa dilakukan pada malam Jum'at dan siangnya berdasarkan riwayat tentangnya. (Al-Umm, Imam al-Syafi'i: 1/237).

Mengenai hal ini, al-Hafidzh Ibnul Hajar rahimahullaahmengungkapkan dalam Amali-nya: Demikian riwayat-riwayat yang ada menggunakan kata “hari” atau “malam” Jum’at. Maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud “hari” temasuk malamnya. Demikian pula sebaliknya, “malam” adalah malam jum’at dan siangnya. (Lihat: Faidh al-Qadir: 6/199).

DR Muhammad Bakar Isma’il dalam Al-Fiqh al Wadhih min al Kitab wa al Sunnah menyebutkan bahwa di antara amalan yang dianjurkan untuk dikerjakan pada malam dan hari Jum’at adalah membaca surat al-Kahfi berdasarkan hadits di atas. (Al-Fiqhul Wadhih minal Kitab was Sunnah, hal 241).

. . . Kesempatan membaca surat Al-Kahfi adalah sejak terbenamnya matahari pada hari Kamis sore sampai terbenamnya matahari pada hari Jum’at. . .
Keutamaan Membaca Surat Al-Kahfi di Hari Jum’at
Dari beberapa riwayat di atas, bahwa ganjaran yang disiapkan bagi orang yang membaca surat Al-Kahfi pada malam Jum’at atau pada siang harinya akan diberikan cahaya (disinari).

Dan cahaya ini diberikan pada hari kiamat, yang memanjang dari bawah kedua telapak kakinya sampai ke langit. Dan hal ini menunjukkan panjangnya jarak cahaya yang diberikan kepadanya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَى نُورُهُمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ
“Pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka.” (QS. Al-Hadid: 12)

Balasan kedua bagi orang yang membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum’at berupa ampunan dosa antara dua Jum’at. Dan boleh jadi inilah maksud dari disinari di antara dua Jum’at. Karena nurr (cahaya) ketaatan akan menghapuskan kegelapan maksiat, seperti firman Allah Ta’ala:
إن الحسنات يُذْهِبْن السيئات
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS. Huud: 114)

Penutup

Hari Jum'at merupakan hari yang mulia, hendaknya setiap muslim memuliakannya dengan amal-amal ketaatan. Namun menetapkan amal-amal tersebut tidak boleh hanya dengan anggapan semata, tapi harus didasarkan kepada tuntutan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang kita ketahui melalui sunnahnya.

Karena dengan ittiba' kepada sunnah beliau Rasullullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam tersebut, -sesudah ikhlash- seseorang akan diterima amal ibadahnya dan dicintai oleh Rabb-nya. Dan tidak didapatkan sunnah shahihah dari NabiShallallahu 'Alaihi Wasallam yang menghususkan malam Jum'at ataupun siang harinya dengan membaca surat Yasin.

Bersamaan itu, terdapat amal yang dianjurkan oleh beliauShallallahu 'Alaihi Wasallam, yaitu membaca surat Al-Kahfi, dan inilah yang dianjurkan oleh Imam al-Syafi'i rahimahullah. Wallahu Ta’aa a’lam.

bacaan yasin

“BACAAN SURAh YASIN BUKAN UNTUK ORANG MATI”


Oleh : Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

HADITS PERTAMA

مَنْ قَرَأَ يَس فِيْ لَيْلَةٍ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ فَاقْرَؤُوْهَا عِنْدَ مَوْتَاكُمْ.

“Barangsiapa membaca surat Yaasiin karena mencari ke-ridhaan Allah Ta’ala, maka Allah akan mengampunkan dosa-dosanya yang telah lalu. Oleh karena itu, bacakan-lah surat itu untuk orang yang akan mati di antara kalian.”
[HR. Al-Baihaqi dalam kitabnya, Syu’abul Iman]

Keterangan: HADITS INI (ضَعِيْفٌ) LEMAH
Lihat Dha’if Jami’ush Shaghir (no. 5785) dan Misykatul Mashaabih (no. 2178).

HADITS KEDUA

مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ كُلَّ جُمُعَةٍ فَقَرَأَ عِنْدَهُمَا أَوْ عِنْدَهُ يَس غُفِرَ لَهُ بِعَدَدِ كُلِّ آيَةٍ أَوْ حَرْفٍ.

“Barangsiapa menziarahi kubur kedua orang tuanya setiap Jum’at dan membacakan surat Yaasiin (di atasnya), maka ia akan diampuni (dosa)nya sebanyak ayat atau huruf yang dibacanya.”

Keterangan: HADITS INI (مَوْضُوْعٌ) PALSU
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy (I/286), Abu Nu’aim dalam kitab Akhbaru Ashbahan (II/344-345) dan ‘Abdul Ghani al-Maqdisi dalam Sunannya (II/91) dari jalan Abu Mas’ud Yazid bin Khalid. Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaim ath-Thaifi, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aisyah, dari Abu Bakar secara marfu’.

Lihat Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (no. 50).

Dalam hadits ini ada ‘Amr bin Ziyad Abul Hasan ats-Tsaubani. Kata Ibnu ‘Adiy: “Ia sering mencuri hadits dan menyampaikan hadits-hadits yang BATHIL.”

Setelah membawakan hadits ini, Ibnu ‘Adiy berkata: “Sanad hadits ini BATHIL, dan ‘Amr bin Ziyad dituduh oleh para ulama memalsukan hadits.”

Kata Imam Daruquthni: “Ia sering memalsukan hadits.”
Periksa: Mizaanul I’tidal (III/260-261 no. 6371), Lisanul Mizan (IV/364-365).

Penjelasan Hadits-Hadits di Atas
Hadits-hadits di atas sering dijadikan pegangan pokok tentang dianjurkannya membaca surat Yaasiin ketika ada orang yang sedang naza’ (sakaratul maut) dan ketika ber-ziarah ke pemakaman kaum Muslimin terutama ketika menziarahi kedua orangtua. Bahkan sebagian besar kaum Muslimin menganggap hal itu ‘Sunnah’? Maka sekali lagi saya jelaskan bahwa semua hadits-hadits yang me-nganjurkan itu LEMAH, bahkan ada yang PALSU, se-bagaimana yang sudah saya terangkan di atas dan hadits-hadits lemah tidak bisa dijadikan hujjah, karena itu, orang yang melakukan demikian adalah berarti dia telah ber-buat BID’AH. Dan telah menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sah yang menerang-kan apa yang harus dilakukan ketika ada orang yang sedang dalam keadaan naza’ dan ketika berziarah ke kubur.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany berkata: “Membacakan surat Yaasiin ketika ada orang yang sedang dalam keadaan naza’ dan membaca al-Qur-an (membaca surat Yaasiin atau surat-surat lainnya) ketika berziarah ke kubur adalah BID’AH DAN TIDAK ADA ASALNYA SAMA SEKALI DARI SUNNAH NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM YANG SAH.

Lihat Ahkamul Janaa-iz wa Bida’uha (hal. 20, 241, 307 & 325), cet. Maktabah al-Ma’arif.)

Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam Ketika Ada Orang Yang Sedang Dalam Keadaan Naza’

Pertama: Di-talqin-kan (diajarkan) dengan ‘Laa Ilaaha Illallah’ agar
ia (orang yang akan mati) mengucapkan “لاَإِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ (Laa Ilaaha Illallah).”

Dalilnya:

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدِ الْخُدْرِيِّ يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ.

“Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ajarkanlah ‘Laa Ilaaha Illallah’ kepada orang yang hampir mati di an-tara kalian.”

Hadits SHAHIH, riwayat Muslim (no. 916), Abu Dawud (no. 3117), an-Nasa-i (IV/5), at-Tirmidzi (no. 976), Ibnu Majah (no. 1445), al-Baihaqi (III/383) dan Ahmad (III/3).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar kalimat Tauhid ini yang terakhir diucapkan, supaya dengan demikian dapat masuk Surga.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ.

“Barangsiapa yang akhir perkataannya ‘Laa Ilaaha Illallah,’ maka ia akan masuk Surga.”

Hadits riwayat Ahmad (V/233, 247), Abu Dawud (no. 3116) dan al-Hakim (I/351), dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu.

Kedua: Hendaklah mendo’akan kebaikan untuknya dan kepa-
da mereka yang hadir pada saat itu. Hendaknya mereka berkata yang baik.

Dalilnya:

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا حَضَرْتُمْ الْمَرِيْضَ أَوِ الْمَيِّتَ فَقُوْلُوْا: خَيْرًا فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ يُؤَّمِّنُوْنَ عَلَى مَا تَقُوْلُوْنَ.

“Dari Ummu Salamah, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Apabila kalian menjenguk orang sakit atau berada di sisi orang yang hampir mati, maka katakanlah yang baik! Karena sesungguhnya para malaikat mengaminkan (do’a) yang kalian ucapkan.’”

Hadits SHAHIH riwayat Muslim (no. 919) dan al-Baihaqi (III/384) dan selain keduanya.)

Sunnah-Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Ketika Berziarah Ke Pemakaman Kaum Muslimin

Pertama: Mengucapkan salam kepada mereka.

Dalilnya ialah:
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah apakah yang harus aku ucapkan kepada mereka (kaum Muslimin, bila aku menziarahi mereka)?” Beliau men-jawab: “Katakanlah:

السَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلاَحِقُوْنَ.

‘Semoga dicurahkan kesejahteraan atas kalian wahai ahli kubur dari kaum Mukminin dan Muslimin. Dan mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepada orang yang telah mendahului kami dan kepada orang yang masih hidup dari antara kami dan insya Allah kami akan menyu-sul kalian.’”

Hadits SHAHIH riwayat Ahmad (VI/221), Muslim (no. 974) dan an-Nasa-i (IV/93), dan lafazh ini milik Muslim.

Buraidah berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada mereka (para Shahabat) apabila mereka memasuki pemakaman (kaum Muslimin) hendaknya mengucapkan:

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ.

‘Mudah-mudahan dicurahkan kesejahteraan atas kalian, wahai ahli kubur dari kaum Mukminin dan Muslimin. Dan insya Allah kami akan menyusul kalian. Kami mohon kepada Allah agar mengampuni kami dan kalian.’”

Hadits SHAHIH riwayat Muslim (no.975), an-Nasa-i (IV/94), Ibnu Majah (no. 1547), Ahmad (V/353, 359 & 360). Lafazh hadits ini adalah lafazh Ibnu Majah.

Kedua: Mendo’akan serta memohonkan ampunan bagi mereka.

Dalilnya:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ إِلَى الْبَقِيْعِ فَيَدْعُوْ لَهُمْ فَسَأَلَتْهُ عَائِشَةُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: إِنِّيْ أُمِرْتُ أَنْ أَدْعُوَ لَهُمْ.

“‘Aisyah berkata: “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar ke Baqi’ (tempat pemakaman kaum Muslimin), lalu beliau mendo’akan mereka.” Kemudian ‘Aisyah bertanya tentang hal itu, beliau menjawab: “Se-sungguhnya aku diperintah untuk mendo’akan mereka.”

Hadits SHAHIH riwayat Ahmad (VI/252).

Baca Al-Qur-an Di Pemakaman Menyalahi Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam

Hadits-hadits yang saya sebutkan di atas tentang Adab Ziarah, menunjukkan bahwa baca al-Qur-an di pemakaman tidak disyari’atkan oleh Islam. Karena seandainya disya-ri’atkan, niscaya sudah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau pasti sudah mengajarkannya kepada para Shahabatnya.

‘Aisyah ketika bertanya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam apa yang harus diucapkan (dibaca) ketika ziarah kubur? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengajar-kan salam dan do’a. Beliau tidak mengajarkan baca al-Fatihah, baca Yaasiin, baca surat al-Ikhlash dan lainnya. Seandainya baca al-Qur-an disyari’atkan, pasti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyembunyikannya.

Menurut ilmu ushul fiqih:

تَأْخِيْرُ الْبَيَانِ عَنْ وَقْتِ الْحَاجَةِ لاَ يَجُوْزُ.

“Menunda keterangan pada waktu keterangan itu dibu-tuhkan tidak boleh.”

Kita yakin bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin menyembunyikan ilmu dan tidak pernah pula beliau mengajarkan baca al-Qur-an di pemakaman. Lagi pula tidak ada satu hadits pun yang sah tentang ma-salah itu.

Membaca al-Qur-an di pemakaman menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita membaca al-Qur-an di rumah:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِيْ تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ .
رواه مسلم رقم : (780) وأحمد والتّرميذي وصححه

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan, karena se-sungguhnya setan akan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat al-Baqarah.”

Hadits riwayat Muslim (no. 780), Ahmad (II/284, 337, 387, 388) dan at-Tirmidzi (no. 2877) serta ia menshahih-kannya.

Hadits ini jelas sekali menerangkan bahwa pemakaman menurut syari’at Islam bukanlah tempat untuk membaca al-Qur-an, melainkan tempatnya di rumah, dan melarang keras menjadikan rumah seperti kuburan, kita dianjurkan membaca al-Qur-an dan shalat-shalat sunnat di rumah.

Jumhur ulama Salaf seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam-imam yang lainnya melarang membaca al-Qur-an di pemakaman, dan inilah nukilan pendapat mereka:

Pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Dawud berkata dalam kitab Masaa-il Imam Ahmad hal. 158: “Aku mende-ngar Imam Ahmad ketika beliau ditanya tentang baca al-Qur-an di pemakaman? Beliau menjawab: “Tidak boleh.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dari asy-Syafi’i sendiri tidak terdapat perkataan tentang masalah ini, yang demikian ini menunjukkan bahwa (baca al-Qur-an di pemakaman) menurut beliau adalah BID’AH. Imam Malik berkata: ‘Tidak aku dapati seorang pun dari Sha-habat dan Tabi’in yang melakukan hal itu!’”

Lihat Iqtidhaa’ Shirathal Mustaqim (II/264), Ahkaamul Janaa-iz (hal. 241-242).

Pahala Bacaan Al-Qur-an Tidak Akan Sampai Kepada Si Mayyit

Al-Hafizh Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat:
“Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh (pahala) selain apa yang diusahakannya.” [QS. An-Najm: 53]

Beliau rahimahullah berkata:

أَيْ: كَمَا لاَ يُحْمَلُ عَلَيْهِ وِزْرُ غَيْرِهِ، كَذَلِكَ لاَ يَحْصُلُ مِنَ اْلأَجْرِ إِلاَّ مَاكَسَبَ هُوَ لِنَفْسِهِ. وَمِنْ هَذِهِ اْلآيَةِ الكَرِيْمَةِ اسْتَنْبَطَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَمَنِ اتَّبَعَهُ أَنَّ الْقِرَاءَةَ لاَ يَصِلُ إِهْدَاءُ ثَوَابِهَا إِلَى الْمَوْتَى، ِلأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَمَلِهِمْ وَكَسْبِهِمْ وَلِهَذَا لَمْ يَنْدُبْ إِلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّتَهُ، وَلاَ حَثَّهُمْ عَلَيْهِ وَلاَ أَرْشَدَهُمْ إِلَيْهِ بِنَصٍّ وَلاَ إِيْمَاءٍ، وَلَمْ يُنْقَلْ ذَلِكَ عَنْ أَحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ، وَلَوْ كَانَ خَيْرًا لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ، وَبَابُ الْقُرَبَاتِ يُقْتَصَرُ فِيْهِ عَلَى النُّصُوْصِ، وَلاَ يُتَصَرَّفُ فِيْهِ بِأَنْوَاعِ اْلأَقْيِسَةِ وَاْلأَرَاءِ.

“Sebagaimana dosa seseorang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, maka demikian pula ganjaran seseo-rang (tidak dapat dipindahkan/dikirimkan) kepada orang lain, melainkan didapat dari hasil usahanya sendiri. Dari ayat ini Imam asy-Syafi’i dan orang yang mengikuti beliau ber-istinbat (mengambil dalil) bahwasanya pahala bacaan al-Qur-an tidak sampai kepada si mayyit dan tidak dapat dihadiahkan kepada si mayyit, karena yang demikian bukanlah amal dan usaha mereka.

Tentang (mengirimkan pahala bacaan kepada mayyit) tidak pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam me-nyunnahkan ummatnya, tidak pernah mengajarkan ke-pada mereka dengan satu nash yang sah dan tidak pula ada seorang Shahabat pun yang melakukan demikian. Seandainya masalah membaca al-Qur-an di pemakaman dan menghadiahkan pahala bacaannya baik, semestinya merekalah yang lebih dulu mengerjakan perbuatan yang baik itu. Tentang bab amal-amal Qurbah (amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah) hanya diboleh-kan berdasarkan nash (dalil/contoh) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak boleh memakai qiyas atau pendapat.”

Periksa Tafsir Ibni Katsir (IV/272), cet. Darus Salam dan Ahkaamul Janaa-iz (hal. 220), cet. Maktabah al-Ma’arif.

Apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Imam asy-Syafi’i itu merupakan pendapat sebagian besar ulama dan juga pendapatnya Imam Hanafi, sebagaimana dinukil oleh az-Zubaidi dalam Syarah Ihya’ ‘Ulumuddin (X/369).

Lihat Ahkaamul Janaa-iz (hal. 220-221), cet. Maktabah al-Ma’arif th. 1412 H.

Allah berfirman tentang al-Qur-an:

“Supaya ia (al-Qur-an) memberi peringatan kepada orang yang HIDUP…” [Yaasiin: 70]

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur-an ataukah hati mereka terkunci.” [Muhammad: 24]

Yang wajib juga diperhatikan oleh seorang Muslim adalah, tidak boleh beribadah di sisi kubur dengan me-lakukan shalat, berdo’a, menyembelih binatang, ber-nadzar atau membaca al-Qur-an dan ibadah lainnya. Tidak ada satupun keterangan yang sah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya bahwa mereka melakukan ibadah di sisi kubur. Bahkan, ancaman yang keraslah bagi orang yang beribadah di sisi kubur orang yang shalih, apakah dia wali atau Nabi, terlebih lagi dia bukan seorang yang shalih.[1]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam keras terhadap orang yang menjadikan kubur sebagai tempat ibadah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ.

“Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani (karena)
mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai tempat ibadah.” [2]

Tidak ada satu pun kuburan di muka bumi ini yang mengandung keramat dan barakah, sehingga orang yang sengaja menuju kesana untuk mencari keramat dan ba-rakah, mereka telah jatuh dalam perbuatan bid’ah dan syirik. Dalam Islam, tidak dibenarkan sengaja mengada-kan safar (perjalanan) ziarah (dengan tujuan ibadah) ke kubur-kubur tertentu, seperti, kuburan wali, kyai, habib dan lainnya dengan niat mencari keramat dan barakah dan mengadakan ibadah di sana. Hal ini dilarang dan tidak dibenarkan dalam Islam, karena perbuatan ini adalah bid’ah dan sarana yang menjurus kepada kesyirikan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدِيْ هَذَا، وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى.

“Tidak boleh mengadakan safar (perjalanan dengan tuju-an beribadah) kecuali ketiga masjid, yaitu Masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.”[3]

Adapun adab ziarah kubur, kaum Muslimin dianjur-kan ziarah ke pemakaman kaum Muslimin dengan me-ngucapkan salam dan mendo’akan agar dosa-dosa mereka diampuni dan diberikan rahmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.[4]

Wallaahu a’lam bish shawab.

=================================

TAMBAHAN :

Ada yang mengatakan sbb :

Dari Anas bin Malik ra, diriwayatkan al_Imam al_Khollal, 
"Barang siapa mendatangi QUBURan, lalu memBACA suroh YASIN, maka ALLOH akan meRINGANkan SIKSA mereka, dan ia akan memperoleh PAHALA seBANYAK orang-2 yg ada di QUBURan itu." 

Hadits ini diNUKIL oleh Mohammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya, "Ahkam Tamanni al_Maut". 
Lantas, mengapa wahabiyiin Indonesia menyelisihinya....?????


BANTAHAN :

Imam Suyuthi mencantumkannya dalam kitab Syarhis sudur( 130), lalu berkata : Ia diriwayatkan oleh Abd Aziz pengarang kitab Al Kholal dengan sanadnya yang sampai ke Anas. Syaikh Albani berkata : Saya kaji sanadnya, ternyata sanadnya lemah sekali, sebagaimana saya terangkan di kitab : Hadis – hadis lemah ( 1291). Syaikh Albani juga berkata : Membaca al Quran, Yasin, Al ihlas sebelas kali adalah bid`ah mungkarah, hadisnya palsu

Sebenarnya kitab Ahkam Tamanni Al-Maut bukanlah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Akan tetapi, kejadian yang sesungguhnya adalah Universitas Al-Imam mendapatkan transkrip kitab ini dari Leiden (Belanda). Lalu disimpan di Al-Maktabah As-Su’udiyyah Riyadh. Kitab ini diambil dari Leiden bukan karena kitab ini sebagai karya beliau tetapi karena menggunakan tulisan tangan beliau.

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dahulu sering mengadakan rihlah (perjalanan), jika beliau menemukan sebuah kitab yang jarang diperjualbelikan maka beliau menyalinnya. Termasuk kitab Ahkam Tamanni Al-Maut, beliau menyalin dengan tulisan tangan beliau sendiri dengan maksud akan memeriksa dan menelitinya. Maklum adanya bahwa para ulama ahlu hadits mereka menulis segala hal bahkan riwayat-riwayat palsu pun ditulis sehingga mereka dapat menjelaskan dengan lengkap tentang hukum dan makna sebenarnya.

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah telah membantah keberadaan kitab ini sebagai karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab t dengan menguraikan delapan argumen. Kitab ini berjudul Ibthaal Nisbati Kitaab Ahkaami Tamanni Al-Maut Ilaa Asy Syaikh Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab.

Al-Qur’an diturunkan Allooh Ta’ala kepada Nabi Muhammad shollalloohu’alyihi wa salam sebagai petunjuk, rahmat, cahaya, kabar gembira dan peringatan. Maka kewajiban orang-orang yang beriman untuk membacanya, merenungkannya, memahaminya, mengimaninya, mengamalkan dan berhukum dengannya.

Hikmah ini tidak akan diperoleh seseorang yang sudah mati. Bahkan mendengar saja mereka tidak mampu. “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang mati itu mendengar.” (An-Nahl: 80).

Allooh Ta’ala juga berfirman di dalam surat Yasin tentang hikmah tersebut, “Al Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan supaya dia memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup.” (Yasin: 69-70).

Allooh berfirman, “Sesungguhnya seseorang itu tidak akan menanggung dosa seseorang yang lain dan bahwasanya manusia tidak akan memperolehi ganjaran melainkan apa yang telah ia kerjakan.” (An-Najm: 38-39).

Berkata Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rohimahulloh: “Melalui ayat yang mulia ini, Imam Syafi’i rohimahullooh dan para pengikutnya menetapkan bahwa pahala bacaan (Al-Qur’an) dan hadiah pahala tidak sampai kepada orang yang mati, karena bacaan tersebut bukan dari amal mereka dan bukan usaha mereka. Oleh karena itu Rosulullooh shollalloohu ‘alayhi wa salam tidak pernah memerintahkan umatnya, mendesak mereka untuk melakukan perkara tersebut dan tidak pula menunjuk hal tersebut (menghadiahkan bacaan kepada orang yang mati) walaupun hanya dengan sebuah dalil pun.”

Adapun dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan surat Yasin jika dibaca secara khusus tidak dapat dijadikan hujjah. Membaca surat Yasin pada malam tertentu, saat menjelang atau sesudah kematian seseorang tidak pernah dituntunkan oleh Rosulullooh dan Para Sahabat beliau.



Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa yang memasuki pekuburan, lalu membaca surat Yasin, diringankan siksa kubur mereka (ahli kubur) pada hari itu, dan untuknya (pembaca) mendapat kebaikan sebanding kebaikan jumlah ahli kubur yang ada di dalamnya.
Adalah Hadits lemah, karena di dalam sanadnya terdapat beberapa kelemahan. Pertama, terdapat rawi yang bernama Abu Ubaidah, identitasnya tidak diketahui (majhul). Kedua, Abu Ayyub bin Mudrik adalah rawi yang disepakati kelemahannya olah para ahli hadits. Bahkan Ibnu Hibban menyatakan ia adalah rawi yang pendusta. Ketiga, Ahmad ar-Riyahi, ia adalah rawi yang majhul sebagaimana yang dikatakan oleh Imam al-Baihaqi. [Lihat adh-Dhaifah 1249].

jangan lalai

JAGALAH SHALAT, Jangan sampai engkau melalaikan atau bahkan meninggalkan perkara wajib hanya karena perkara sunnah!

Allah memerintahkan seluruh seluruh hamba yang beriman untuk menjaga shalat-shalat mereka. Firman-Nya: “ Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat Wustho dan berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk. ” (QS.al-Baqarah:238)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Bila shalatnya baik maka baik pula seluruh amalnya, sebaliknya jika shalatnya rusak maka rusak pula seluruh amalnya.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Ausath, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 1358 karena banyak jalannya)

Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata: “ Sesungguhnya perkara terpenting dalam agama kalian adalah shalat. Barangsiapa yang menjaga shalat, sungguh dia telah menjaga agamanya. Barangsiapa yang menyia-nyiakan shalat, sungguh dia akan lebih mudah menyia-nyiakan perkara yang lain. Tidak ada bagian dalam agama Islam bagi yang meninggalkan shalat. ”

Seorang Salafi Bershalawat Ratusan Kali Setiap Hari

Seorang Salafi Bershalawat Ratusan Kali Setiap Hari

Terdapat perkataan miring dari sebagian orang yang membenci dakwah sunnah, bahwa salafiyyin, atau orang yang meneladani generasi salafush shalih dalam beragama, enggan bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam atau bahkan dituduh anti-shalawat. Padahal salafiyyin, yang senantiasa berpegang-teguh pada dalil-dalil shahih, bershalawat ratusan kali setiap harinya. Hal ini merupakan konsekuensi dari mengikuti dalil-dalil shahih, karena banyak dalil-dalil shahih yang menganjurkan amalan tersebut. Berikut ini beberapa kesempatan dalam satu hari yang dianjurkan untuk bershalawat, berdasarkan dalil-dalil shahih:

1. Ketika Masuk Masjid
Sebagaimana hadits dari Fathimah Radhiallahu’anha:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا دخل المسجد صلى على محمد وسلم ، وقال : رب اغفر لي ذنوبي ، وافتح لي أبواب رحمتك
“Biasanya, ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam masuk ke dalam masjid beliau bershalawat kemudian mengucapkan: Rabbighfirli Dzunubi Waftahli Abwaaba Rahmatik (Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, dan bukalah untukku pintu-pintu Rahmat-Mu)” (HR. At Tirmidzi, 314. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi).
Dan seorang salafi, masuk ke masjid minimal 5 kali dalam sehari.

2. Ketika Keluar Masjid
Sebagaimana kelanjutan hadits dari Fathimah Radhiallahu’anha:
وإذا خرج صلى على محمد وسلم ، وقال : رب اغفر لي ذنوبي وافتح لي أبواب فضلك
“Dan ketika beliau keluar dari masjid, beliau bershalawat lalu mengucapkan: Rabbighfirli Dzunubi, Waftahlii Abwaaba Fadhlik (Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, dan bukalah untukku pintu-pintu keutamaan-Mu)” (HR. At Tirmidzi, 314. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi).
Dan seorang salafi, keluar dari masjid minimal 5 kali dalam sehari.

3. Ketika Tasyahud
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلا يدعو في صلاته لم يمجد الله تعالى ولم يصل على النبي صلى الله عليه وسلم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم عجل هذا ثم دعاه فقال له أو لغيره إذا صلى أحدكم فليبدأ بتمجيد ربه جل وعز والثناء عليه ثم يصلي على النبي صلى الله عليه وسلم ثم يدعو بعد بما شاء
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mendengar seorang lelaki yang berdoa dalam shalatnya tanpa mengagungkan Allah dan tanpa bershalawat. Beliau pun berkata: ‘Orang ini terlalu tergesa-gesa’. Rasulullah lalu memanggil lelaki tersebut lalu menasehatinya: ‘Jika salah seorang diantara kalian berdoa mulailah dengan mengagungkanlah Allah, lalu memuji Allah, kemudian bershalawatlah, barulah setelah itu berdoa apa yang ia inginkan‘” (HR. Abu Daud, 1481. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).
Pada ulama mengatakan bahwa tempat shalawat kepada Nabi di dalam shalat adalah setelah tasyahud awal dan akhir. Bahkan sebagian ulama menggolongkan shalawat setelah tasyahud akhir dalam rukun shalat ke dalam rukun shalat.
Dan seorang salafi, minimal ber-tasyahud 10 (5 x 2) kali dalam sehari.

4. Ketika disebut nama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
اَلْبَخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
“Orang pelit itu adalah orang yang ketika disebut namaku ia enggan bershalawat” (HR. At Tirmidzi no.3546, ia berkata: “Hasan Shahih Gharib”).
Seorang salafi, yang senantiasa bersemangat menuntut ilmu syar’i, ia membaca kitab para ulama, menghafal hadits, duduk di majlis-majlis ilmu, puluhan kali nama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam disebut di sana sehingga ia pun puluhan kali bershalawat.

5. Ketika selesai mendengar adzan
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إذا سمعتم المؤذن فقولوا مثل ما يقول . ثم صلوا علي . فإنه من صلى علي صلاة صلى الله عليه بها عشرا
“Jika kalian mendengarkan muadzin mengumandangkan adzan, ucapkanlah apa yang ia ucapkan. Kemudian bershalawatlah kepadaku.Karena setiap seseorang bershalawat kepadaku, Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali” (HR. Muslim, 384)
Dan adzan, minimal 5 kali berkumandang setiap harinya.

6. Dalam rangkaian dzikir pagi
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من صلى علي حين يصبح عشرا وحين يمسي عشرا أدركته شفاعتي يوم القيامة
“Barangsiapa bershalawat kepadaku ketika pagi dan ketika sore masing-masing 10 kali, ia akan mendapatkan syafa’atku kelak di hari kiamat” (Dihasankan oleh Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib, 1/314, juga oleh Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid, 10/123. Walaupun sebagian ulama melemahkan hadits ini, semisal Al Albani dalam Adh Dha’ifah, 5788 )
Dan seorang salafi bersemangat menjaga dzikir pagi setiap harinya. Dalam rangkaian dzikir pagi juga banyak disebut nama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sehingga ketika mengamalkan dzikir pagi, puluhan kali shalawat diucapkan.

7. Dalam rangkaian dzikir sore
Sebagaimana hadits pada poin sebelumnya. Seperti paparan sebelumnya, ketika mengamalkan dzikir sore pun, puluhan kali shalawat diucapkan.

8. Ketika hendak berdoa
Sebagaimana hadits pada poin 3. Dan seorang salafi bersemangat memperbanyak doa, dalam rangka mengamalkan firman Allah:
ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Berdoalah kepada-Ku, akan Aku kabulkan doa kalian. Sungguh orang-orang yang sombong, enggan beribadah kepada-Ku, akan Aku masukkan mereka ke neraka Jahannam yang pedih” (QS. Al-Mu’min: 60)
Terutama pada waktu-waktu yang mustajab untuk berdoa. Dan dalam 1 hari ada puluhan waktu mustajab untuk berdoa. Sehingga seorang salafi, puluhan kali bershalawat sebelum berdoa dalam sehari.

9. Pada waktu-waktu bebas yang tidak ditentukan
Seorang salafi senantiasa menggunakan waktunya agar tidak tersia-sia. Salah satu caranya dengan banyak berdzikir, dan diantara dzikir yang dianjurkan adalah bacaan shalawat kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dianjurkan untuk memperbanyak shalawat kapan saja tanpa terikat kesempatan tertentu. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan para Malaikatnya bershalawat kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kepadanya dan doakanlah keselamatan atasnya” (QS. Al Ahzab: 56)
Juga keumuman sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
فإنه من صلى علي صلاة صلى الله عليه بها عشرا
“Karena setiap seseorang bershalawat kepadaku, Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali” (HR. Muslim, 384)
Di perjalanan, ketika menunggu, ketika istirahat, ketika berjalan, ketika dalam majelis, dan waktu-waktu lain kapan saja di mana saja.

10. Pada hari dan malam Jum’at
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إن من أفضل أيامكم يوم الجمعة فأكثروا علي من الصلاة فيه فإن صلاتكم معروضة علي قال فقالوا يا رسول الله وكيف تعرض صلاتنا عليك وقد أرمت قال يقولون بليت قال إن الله تبارك وتعالى حرم على الأرض أجساد الأنبياء صلى الله عليهم
“Hari jumat adalah hari yang paling utama. Oleh karena itu perbanyaklah shalawat kepadaku pada hari itu. Karena sesungguhnya shalawat kalian itu sampai kepadaku”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin shalawat kami sampai kepadamu, sementara kelak engkau dikebumikan?”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mengharamkan bumi untuk menghancurkan jasad para Nabi shallallahu ‘alaihim” (HR. Abu Daud no. 1047. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami, 2212)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
أكثروا الصلاة علي يوم الجمعة و ليلة الجمعة ، فمن صلى علي صلاة صلى الله عليه عشرا
“Perbanyaklah shalawat kepadaku pada hari dan malam Jumat. Karena orang yang bershalawat kepadaku satu kali, Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali” (HR. Al-Baihaqi, 3/249. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 1407)
Jelaslah sudah bahwa salafiyyin, orang-orang yang berpegang-teguh pada dalil Qur’an dan sunnah yang shahih, akan mengamalkan shalawat ratusan kali dalam sehari, bahkan lebih. Tentu saja dengan suara lirih, sendiri-sendiri, tidak dikeraskan dan tidak pula beramai-ramai. Namun perlu dicatat, bahwa setiap orang tentu memiliki juhud yang berbeda-beda dalam ibadahnya.
Adapun shalawat yang diingkari oleh salafiyyin adalah shalawat yang dikarang-karang serta dibuat-buat oleh orang, dan tidak pernah diajarkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam maupun para shahabat serta generasi salafus shalih. Dikarang-karang lafadznya, juga tata-caranya. Para sahabat Nabi, orang yang paling mencintai beliau jauh lebih cinta dari kita semua, mereka tidak pernah mengarang-ngarang shalawat. Mereka bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
يا رسول الله ، أما السلام عليك فقد عرفناه ، فكيف الصلاة ؟ قال : ( قولوا :اللهم صل على محمد وعلى آل محمد ، كما صليت على إبراهيم ، إنك حميد مجيد ، اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد ، كما باركت على إبراهيم ، إنك حميد مجيد )
“Wahai Rasulullah, tata cara salam terhadapmu, kami sudah tahu. Namun bagaimana cara kami bershalawat kepadamu? Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam bersabda: ‘Ucapkanlah: Allahumma Shalli ‘ala Muhammad Wa ‘ala Aali Muhammad, Kamaa Shallaita ‘ala Ibrahim Innaka Hamiidum Majid. Allahumma Baarik ‘ala Muhammad Wa ‘ala Aali Muhammad, Kamaa Baarakta ‘ala Ibraahim, Innaka Hamiidum Majid‘”. (HR. Bukhari 4797)
Apalagi shalawat-shalawat yang dikarang-karang oleh sebagian orang, dibumbui dengan khasiat-khasiat tanpa dalil. Diperparah lagi jika shalawat-shalawat buatan tersebut di lantunkan beramai-ramai menggunakan pengeras suara. Padahal Allah Ta’ala memerintahkan kita berdzikir dengan rendah diri, penuh takut dan bersuara lirih:
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ
“Berdzikirlah kepada Rabb-mu dengan penuh kerendahan diri, rasa takut serta tanpa suara yang dikeraskan” (QS. Al A’raf: 205)
Renungkanlah, dari apa yang kita paparkan di atas, andai kita mau mengamalkan shalawat berdasarkan dalil yang shahih, hari-hari kita akan sangat sibuk sekali. Maka, untuk apa kita masih mencari-cari atau mengarang-ngarang shalawat sendiri? Sahabat Ibnu Mas’ud Radhiallahu’anhu berkata:
اتَّبِعُوا وَلاَ تَبْتَدِعُوا ، فَقَد كُفِيتُم
“Ikutilah saja (sunnah Nabi) dan jangan berbuat bid’ah. Sesungguhnya sunnah Nabi telah mencukupi kalian“

SEMBILAN TUDUHAN DUSTA TERHADAP SYAIKH AL-ALBANI

SEMBILAN TUDUHAN DUSTA TERHADAP SYAIKH AL-ALBANI

Oleh
Gholib Arif Nushoiroot

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah.
Wa Ba’du.

Al-Albani rahimahullah, ahli hadits abad ini, dijuluki sebagai muhaddits As-Syam (ahli hadits negeri Syam) –andai saja dijuluki sebagai Muhadditsud Dunya (ahli hadits dunia)- tentu ia berhak menyandangnya, wa la uzakki’ ala Allahi ahada. Beliau sebagaimana ulama lainnya, pernah dilontarkan kepadanya tuduhan-tuduhan dan kedustaan-kedustaan.

Kedustaan dan tuduhan tersebut terangkum dalam sembilan point berikut ini:
1). (Al-Albani) ahli hadits yang tidak paham fikih
2). Tidak mengetahui ilmu ushul
3). Tidak memiliki guru.
4). Syad (ganjil), menyendiri dari pendapat umumnya masyarakat.
5). Tidak menghormati ulama, dan tidak mengetahui ketinggian kedudukan mereka.
6). Bermadzhab dzhoiri
7). Mutasahil (gampang/mudah) men-shahih-kan hadits
8). Keputusannya dalam menghukumi hadits-hadits berlawanan, satu sama lain.
9). Tidak perhatian dengan matan hadits.

Tuduhan-tuduhan dusta di atas pernah dilontarkan kepada mayoritas ulama hadits di sepanjang masa. Dan saya melihat hal ini perlu dipaparkan dan dijawab demi membela mereka seutuhnya. Dengan harapan agar amalan yang sedikit ini termasuk dalam bab berbakti kepada mereka.

[1]. Ahli Hadits Yang Tidak Paham Fikih
Ungkapan ini, bila dimaksudkan hanya sekedar untuk mensifati bahwa beliau (Syaikh Al-Albani,-pent) termasuk ulama ahli hadits yang piawai dan pakar dibidangnya, dan tidak ada maksud lain yang mengurangi ketinggian ilmu fikih beliau, maka ungkapan ini tidak perlu dijawab. Karena Imam Al-Albani merupakan salah satu ahli hadits abad ini yang dapat disaksikan keilmuannya, dan peran aktifnya di bidang hadits. Dan ini dapat dibuktikan bersama. Perkara tersebut –walhamdulillah- sepengetahuanku merupakan perkara yang tidak diperselisihkan oleh siapa saja (kecuali mereka yang hasad, dengki, dan iri dengan beliau,-pent).

Adapun jika ungkapan tersebut bermaksud untuk menggugurkan keilmuan Syaikh Al-Albani dalam bidang fikih hadits, penjelasan maknanya, pilihan-pilihannya, dan hasil tarjih beliau dalam masalah-masalahnya, maka ini adalah makna yang munkar dan batil. Dan dapat dijawab dengan pernyataan berikut ini.

Kita katakan kepada mereka : Apa sebenarnya arti fikih menurut kalian? Jika maksud kalian adalah menghafal masalah-masalah, matan-matan, dan masuk ke dalam permasalahan yang bersifat tidak nyata, tanpa mendasari semua itu dengan dalil yang shahih, maka Imam Al-Albani sungguh seorang yang amat jauh dari hal itu.

Dan jika maksud kalian adalah memahami dan mempelajari dalil-dalil dari Al-Qur’anul Karim dan As-Sunnah Ash-Shahihah dengan pemahaman para sahabat dan tabi’in, tanpa fanatik kepada seseorang kecuali kepada dalil, maka kami minta kepada kalian untuk mendatangkan sebuah dalil yang menunjukkan bahwa Imam Al-Albani tidak seperti itu.

Sesungguhnya kalimat “ahli hadits yang tidak paham fikih” dengan makna batil tersebut merupakan ungkapan setan yang bertujuan untuk merendahkan kadar dan kedudukan ahli hadits, dan bahwa seorang ahli fikih tidak memerlukan ilmu hadits.

Ungkapan tersebut awalnya ketergelinciran dan bid’ah, akhirnya penghalalan (lepas diri) dan zindiq (kemunafikan). Dikatakan bid’ah, karena kita tidak pernah menemukannya dari salafush shalih. Dikatakan penghalalan dan zindiq, karena ucapan tersebut bisa mengakibatkan dibuangnya seluruh perkataan ulama. Yang kemudian bisa menggugurkan syari’at dan meghilangkan hukum-hukum Islam. Sehingga dikatakan sesekali : Hukum ini adalah perkataan fulan yang merupakan ahli hadits, dia bukan ahli fikih. Kemudian dikatakan lain kali ; Hukum ini adalah ucapan fulan yang merupakan ahli fikih, dia ahli hadits. Dan hasil akhirnya adalah berlepas diri dari hukum agama!!!

[2]. Tidak Mengetahui Ilmu Ushul
Tuduhan ini mana buktinya ? Dan realita yang ada di kitab-kitab Al-Albani adalah kebalikannya. Bahkan cerita yang popular dari biografi beliau, bahwasanya ia dahulu mengadakan dua kali kajian yang dihadiri oleh mahasiswa Universitas Islam Madinah dan sebagian staff dosen Universitas tersebut. Diantara kitab yang diajarkan oleh beliau di halaqah ilmiyah tersebut adalah kitab Ushulul Fikih karya Abdul Wahhab Khallaf.

Dan tuduhan ini –penafian kadar keilmuan ushul fikih beliau- ditelan mentah-mentah oleh sebagian mereka untuk mencela para ahli hadits, yang kemudian mereka gunakan untuk melemparkan tuduhan kepada para ahli hadits tersebut. Dan kepada mereka saya katakan : Termasuk perkara yang penting, harus diperhatikan poin-poin berikut.

a). Bahwasanya Sunnah Nabawiyyah merupakan petunjuk hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an , sebagaimana yang dikatakan Imam Ahmad bin Hanbal dalam karyanya As-Sunnah riwayat Abdus : Setiap hukum dalam Al-Qur’an ditunjukkan oleh As-Sunnah, dijelaskannya dan ditunjukkan maksudnya. Dan dengan As-Sunnah bisa menghantarkan untuk mengetahui maknanya

b). Sesungguhnya ilmu ushul dibangun atas dasar petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan menggunakan bahasa Arab, dengan memperhatikan adat masa diturunkannya syari’at. Dan perkara ini hanya diberikan kepada sahabat. Tidak ada yang ikut serta dan mengetahuinya kecuali mereka sendiri. Dan tidak pula ada jalan untuk sampai kepada hal tersebut kecuali dengan jalan mereka (para sahabat).

Apabila telah jelas dua poin di atas, maka ketahuilah, bahwa ahli hadits merupakan orang yang paling bahagia dengan kedua poin tersebut. tidak seorang pun yang lebih tahu dari mereka tentang kabar yang dibawa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak seorang pun yang lebih tahu dari mereka tentang berita dari sahabat. Maka merekalah yang sebenarnya ahli ilmu ushul. Dan diantara manhaj mereka adalah menjadikan dalil-dalil Al-qur’an dan As-Sunnah sebagai dasar untuk membangun ilmu ushul. Bukankah para ulama ushul tidaklah beraktivitas kecuali untuk hal ini?

Dari sini engkau mengetahui, bahwa ahli hadits merekalah sebenarnya ulama ushul syariat ini, yang mengetahui kaedah-kaedah pengambilan hukum dari sela-sela usaha mereka untuk mengikuti apa yang datang dari sahabat dan tabi’in.

[3]. Tidak Memiliki Guru
Tuduhan ini terlalu tergesa-gesa untuk diucapkan. Sebab Syaikh Al-Albani pernah belajar beberapa ilmu alat dari ayahnya, seperti ilmu shorof. Beliau juga belakar darinya beberapa kitab madzhab Hanafi, seperti Mukhtashor Al-Qaduri. Darinya juga beliau belajar Al-Qur’an dan pernah menghatamkan riwayat Hafsh beserta tajwidnya.

Beliau pun pernah belajar dari Syaikh Sa’id Al-Burhani kitab Maraqi Al-Falah, sebuah kitab yang bermadzhab Hanafi, dan kitab Syudzurudz Dzahab di cabang ilmu nahwu serta beberapa kitab balaghah

Beliau juga pernah menghadiri seminar-seminar Al-Allamah Muhammad Bahjat Al-Baithar bersama beberapa ustadz dari Al-Majma Al-Islami Damaskus, diantaranya : Izzudin At-Tanukhi. Waktu itu mereka belajar kitab Al-Hamasah syairnya Abu Tammam.

Di akhir hayatnya, beliau sempat bertemu dengan Syaikh Muhammad Raghib Ath-Thabbakh. Beliau pun menyatakan takjub dengan Syaikh Al-Albani, dan menghadiahkan kepada beliau kitab Al-Anwar Al-Jaliyah Fi Mukhtashar Al-Atsbat Al-Hanbaliyah.

Apabila engkau tahu semua ini, maka jelas bagimu bahwa tuduhan dusta mereka “Al-Albani tidak memiliki guru” menyelisihi realita yang ada.

Dan tentunya tidak mengurangi kedudukan Syaikh meskipun hanya sedikit gurunya. Betapa banyak ulama yang hanya memiliki sedikit guru, dan itu tidak mempengaruhi kredibilitas keilmuannya. Bahkan diantara perawi hadits ada yang tidak meriwayatkan hadits kecuali dari dua atau tiga orang saja, bahkan ada juga yang berguru dari seorang Syaikh saja. Namun ternyata para ulama bersaksi akan kekuatan dan kesempurnaan hafalannya. Dan hal itu tidak menjadi alasan yang mencegah untuk mengambil ilmu dan meriwayatkan hadits dari mereka.

Adalah Abu Umar Ahmad bin Abdullah bin Muhammad Al-Lakhami yang terkenal dengan sebutan Ibnul Baji (wafat mendekati tahun 400H) yang merupakan penduduk daerah Isybilia. Dia adalah satu-satunya ulama dan ahli fikih yang ada pada waktu itu. Beliau mengumpulkan cabang ilmu hadits, fikih, dan keutamaan. Dan beliau menghafal dengan baik beberapa kitab-kitab sunnah dan penjelasan maknanya.

[4]. Syad (Ganjil), Menyendiri Dari Pendapat Umumnya Masyarakat
Ini juga merupakan tuduhan kosong belaka. Karena sesungguhnya ulama ahli hadits, begitu pula Al-Albani –wa laa uzaki ‘ala Allahi ahada- termasuk orang yang terasing yang menghidupkan sunnah-sunnah yang dimatikan oleh kebanyakan orang. Adapun istilah ahli hadits : Fulan sendirian dalam meriwayatkan hadits ini, ini tidak berarti bahwa ia tidak paham masalah dan tidak pula kita menayandarkan istilah gannjil kepadanya

Dalam kitab Al-Ihkam Fi Ushulil Ahkam (5/661-662) Abu Muhammad Ibnu Hazm berkomentar : Sesungguhnya batasan istilah ganjil adalah dengan menyelisihi kebenaran. Maka siapa saja yang menyelisihi kebenaran dalam suatu permasalahan maka ia termasuk ganjil dalam masalah tersebut, meskipun jumlahnya sebanyak penduduk muka bumi atau sebagiannya. Sedangkan Al-Jama’ah, secara keseluruhan mereka adalah ahlul haq, meskipun dimuka bumi tidak ada dari mereka kecuali seorang saja, maka ialah Al-Jama’ah, dan ini adalah secara globalnya. Meskipun hanya Abu Bakar dan Khadijah saja yang masuk Islam, maka mereka berdua adalah Al-Jama’ah. Sedangkan siapa saja dari penduduk bumi selain mereka berdua dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka adalah ahlu ganjil (menyimpang) dan perpecahan.

Maka bukanlah maksud dari istilah ganjil adalah seorang ulama yang menyelisihi jama’ah ulama lainnya. Bukanlah arti ganjil menyelisihi perbuatan yang sering diamalkan atau tersebar luas di masyarakat. Betapa banyak permasalahan yang dipegang teguh oleh ulama dengan pendapat yang menyendiri, seperti Abu Hanifah, Malik, dan juga Ahmad. Dan hal itu tidak dianggap sebagai aib bagi mereka, tidak mengurangi kefakihan mereka apalagi menghalang-halanginya, juga tidak menjadikan mereka disifati ganjil atau menyendiri.

Bagaimana mungkin bisa disifati dengan ganjil orang yang memurnikan peneladanan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Bahkan sebelum ulama yang menyelisihi sunnah atau atsar tidak dikatakan oleh ulama yang lain dengan ucapan : Mereka ganjil, mereka menyendiri. Adalah Al-Hafizh Ibnu Abi Syaibah (wafat 235H) di dalam kitabnya Al-Mushshannaf mengarang sebuah judul : Bantahan untuk Abu Hanifah. Beliau mengawalinya dengan perkataan : Ini adalah permasalahan yang Abu Hanifah menyelisihi berita yang telah datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Adalah Al-Laits bin Sa’ad berkata : Aku pernah menghitung permasalahan Malik bin Anas yang berjumlah tujuh puluh, seluruhnya menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam semua permasalahan itu ia berpendapat dengan akalnya. Komentar Al-Laits : Dan aku pernah menuliskan ini untuknya. Cerita atsar ini ada dalam kitab Jami’u Bayanil Ilmu wa Fadhlihi 92/148).

Kemudian kapankah amalan kebanyakan orang menjadi hujjah secara mutlak dalam syari’at ini, yang mana dalil-dalil ditolak karenanya ? Dosa apa yang dilakukan para ahli hadits dan Al-Albani tatkala mereka berpegang dengan hadits yang telah jelas bagi mereka derajat keshahihannya, dan tidak pernah nampak perkataan kuat yang menyelisihinya, kemudian mereka mengamalkannya, dan mengajak orang lain untuk menghidupkan sunnah yang dikandung oleh hadits itu. Maha Suci Allah!, mereka bukannya diberikan ucapan terima kasih malah dicela, kemudian dijuluki dengan gelar ganjil atau menyendiri!

[5].Tidak Menghormati Ulama Dan Tidak Mengatahui Ketinggian Kedudukan Mereka.
Adapun perkataan tersebut, maka hanya tuduhan yang tidak berdalil. Bahkan realita yang ada adalah kebalikannya. Penyebab tuduhan itu adalah prasangka salah sebagian orang yang mengira bahwa Syaikh Al-Albani tatkala mengamalkan hadits shahih yang belum pernah diketahui seorang yang menyelisihinya, mereka mengira bahwa perbuatan beliau tersebut menjatuhkan kredibilitas para ulama yang tidak mengamalkannya, dan berarti beliau tidak menghormati mereka. Parasangka salah tersebut tidak perlu terlalu diperhitungkan, dengan alasan sebagai berikut:

Tentu beda antara memurnikan amalan untuk mengikuti Rasulullah dan menjatuhkan perkataan ulama lain. Maksud dari mengikuti Rasulullah yaitu tidak mendahulukan perkataan seseorang dari ucapan beliau, siapapun orangnya. Akan tetapi, pertama engkau melihat keabsahan hadits. Apabila hadits tersebut shahih, maka yang kedua engkau harus memahami maknanya. Jika sudah jelas (maknanya) bagimu maka engkau tidak boleh menyimpang darinya, meskipun semua orang di timur bumi dan baratnya menyelisihimu.

Dan diantara perkataan berharga Syaikh Al-Albani sebagaimana dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, ketika mengomentari hadits nomor 221, beliau berkata :

Ambil dan peganglah hadits Rasulullah. Gigitlah ia dengan gigi geraham. Jauhilah olehmu pendapat-pendapat orang, sebab dengan adanya hadits maka pendapat menjadi batal, dan jika datang sungai Allah (dalil naqli) maka hilanglah sungai akal (dalil aqli).

Sekedar pengetahuan, -setahu saya- tidak ada sebuah permasalahan yang dipilih oleh Al-Albani kecuali pernah dikatakan oleh para ulama sebelumnya. Beliau senantiasa antusias menyebutkan ulama salaf yang sependapat dengannya. Beliau juga antusias mengamalkan pendapat yang sejalan dengan dalil

Syaikh Al-Albani selalu merujuk ke perkataan ulama, mengambil pelajaran darinya, juga mengambil faedah dari perkataan tersebut tanpa fanatik ataupun taklid. Beliau berkata di muqaddimah kitab sifat shalat Nabi.

Adapun merujuk ke perkataan mereka –yakni ulama- , mengambil faedah darinya, memanfaatkannya untuk mencari kebenaran dari permasalahan yang mereka perselisihkan yang tiada dalilnya dari Al-Qut’an dan As-Sunnah, atau untuk membantu memahami permasalahan yang butuh kejelasan, maka ini adalah sesuatu yang tidak kami ingkari. Bahkan kami memerintahkan dan menyarankan hal tersebut, sebab manfaat darinya bisa diharapkan bagi orang yang meniti jalan hidayah dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.

Tersisa isyarat tentang permasalahan kerasnya Syaikh dalam membantah orang yang menyelisihinya. Realita yang ada menyatakan bahwa permasalahan ini bersifat relatif, setiap orang berbeda satu sama lain. Sebagian dari mereka menyebutnya dengan istilah sifat obyektif dalam membahas, sekedar mencari kebenaran tanpa basa-basi. Sedangkan yang lainnya menyebutnya dengan istilah keras dan tidak berlemah lembut. Bagaimanapun juga, sudah sepantasnya tidak dihindari poin-poin berikut ini.

a). Bahwasanya sebagian dari mereka meminta kepada Syaikh untuk lemah- lembut dalam membantahnya hingga batas kewajaran. Anehnya, mereka meminta kepada Syaikh untuk membantahnya dengan aturan tertentu yang mereka sendiri tidak dipergunakan ketika membantah orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka.

b). Sikap keras demi memperjuangkan kebenaran bukan berarti kebatilan, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menerima kebenaran tersebut

c). Bahwasanya berlemah-lembut untuk memperjuangkan kabatilan bukan berarti kebenaran.

d). Dan terkadang bersikap keras merupakan sikap hikmah dalam berdakwah.

Tentang sikap keras yang dituduhkan kepada Syaikh, beliau memiliki komentar tentang itu di As-Silsilah Adh-Dha’ifah, jilid pertama halaman 27.

[6]. Bermadzhab Dzohiri
Tuduhan ini juga perlu bukti. Adapun sifat yang disandarkan kepada ahli hadits bahwa mereka termasuk ahli dzahir, ini merupakan kata-kata yang terdengar setiap masa. Oleh karena itu disandarkannya sifat tersebut kepada Syaikh Al-Albani bukanlah suatu yang aneh, sebab beliau termasuk ahli hadits.

Untuk menghilangkan kesamaran yang telah merasuki otak sebagian orang, perlu dipaparkan beberapa pertanyaan berikut.

Apakah Syaikh pernah berkata terus terang di kitab-kitabnya bahwa ia bermadzhab dzahiri?

Apakah Syaikh yang hanya sekedar menukil perkataan dari kitab Ibnu Hazm bisa dikatakan bermadzhab dzahiri?

Perlu diketahui bahwa Syaikh Al-Albani di beberapa tempat dari kitabnya mencela keras Ibnu Hazm Adz-Dzahiri. Di kitab Tamamul Minnah, halaman 160 beliau berkomentar : Untuk menyelisihi pendapat yang dipegang oleh Ibnu Hazm.

Pada kitab yang sama, halaman 162 beliau berkata : Saya merasa heran dengan Ibnu Hazm seperti kebiasaannya berpegang teguh dengan madzhab Dzahiri.

Diantara karangan Syaikh, ada sebuah kitab yang membantah Ibnu Hazm dalam masalah alat musik. Oleh karenanya, maka ahli hadits –termasuk Al-Albani- termasuk orang yang paling jauh dari kesalahan-kesalahan yang ulama catat dari madzhab Dzahiriyah.

Bahkan Syaikh berbicara dengan terus-terang tidak hanya pada satu tempat, dan yang paling popular adalah di muqaddimah kitab Sifat Shalat Nabi bahwasanya dalam manhajnya, beliau bersandar kepada hadits-hadits dan atsar, tidak keluar dari keduanya, menghargai para imam dan mengambil manfaat dari fikih mereka.

[7]. Mutasahil (Gampang/Mudah) Menshahihkan Hadits
Hal ini bersifat relatif, berbeda sesuai dengan masing-masing orang. Barangsiapa yang mutasyaddid (terlalu keras/mempersulit) ia melihat orang lain mutasahil, dan siapa yang mutasahil ia melihat orang lain mutasyaddid. Dan yang menjadi pegangan dalam mengetahui yang benar dalam masalah ini adalah dengan banyak membaca, berusaha mengetahui keadaan, dan saling membandingkan satu sama lain.

Sejumlah permasalahan yang disandarkan kepada Al-Albani bahwa ia mutasahil diantaranya.

a). Menghasankan hadits dha’if dengan banyaknya jalan.
b). Menerima hadits seorang perawi yang tidak diketahui keadaannya, dan bersandar pada tautsiq Ibnu Hibban (rekomendasi beliau untuk perawi hadits)
c). Beliau menerima dan memberikan rekomendasi kepada beberapa perawi yang lemah.

Semua jenis hadits lemah dapat menerima penguat dan pendukung, hadits tersebut akan naik derajatnya dengan banyaknya jalan, kecuali hadits yang pada sanadnya terdapat perawi yang pendusta dan pemalsu hadits, perawi hadits yang tertuduh berdusta, dan perawi hadits yang berada pada derajat ditinggalkan (seperti perawi yang sangat buruk hafalannya), hadits syadz (ganjil, menyelisihi hadit lainnya), dan hadits munkar.

Adapun menerima hadits dari seorang perawi yang tidak diketahui keadaannya dan bersandar kepada tautsiq Ibnu Hibban, ini merupakan permasalahan yang disandarkan kepada Syaikh Al-Albani tanpa dalil yang shahih yang mendukungnya. Dan yang benar, bahwa tidak hanya pada satu tempat Syaikh Al-Albani membantah orang yang bersandar kepada tautsiq Ibnu Hibban dan beliau mensifatinya dengan kata-kata mutasahil

Beliau juga telah menulis pada muqaddimah kitab Tamamul Minnah, halaman 20-26, kaedah yang kelima dengan judul “Tidak dibolehkannya bersandar dengan Tautsiq Ibnu Hibban”.

Permasalahan rekomendasi beliau kepada beberapa perawi yang lemah merupakan tuduhan semata, dimana mereka (yang melontarkan tuduhan tersebut) tidak mampu mendatangkan seorang perawi yang disepakati bersama kelemahannya, lalu datanglah Al-Albani dan memberinya rekomendasi tersebut.

[8]. Keputusannya Dalam Menghukumi Hadits-Hadits Sering Berlawanan Satu Sama Lain.
Dakwaan tersebut merupakan kebodohan atau pura-pura bodoh dengan realita yang ada. Ketahuilah wahai saudaraku –semoga Allah senantiasa menjagamu-, termasuk perkara yang diketahui bersama, menurut ahlu sunnah wal jama’ah bahwa sifat ishmah (terbebas dari kesalahan) tidak mungkin bisa disandang kepada seorangpun dari umat ini kecuali kepada Nabi. Dan kita –segala puji dan karunia hanya milik Allah- meyakini akan dasar ini. Tidak mungkin Al-Albani menyandang sifat ma’shum sebagaimana para ulama yang lainnya.

Akan tetapi, apakah hanya dengan melakukan kesalahan dan memiliki pendapat yang kontradiksi seorang alim dinyatakan gugur dan terlepas darinya gelar keilmuannya? Saya kira, tidak ada seorang ulama yang adil yang berpendapat demikian.

Baiklah, barang siapa yang banyak kesalahannya, yang mana kesalahannya lebih dominan dari pada pendapat benarnya, niscaya gugurlah hujjah darinya, dan hilanglah sifat kuat hafalannya. Apabila terwujudkan hal ini, maka ketahuilah bahwa semua hadits yang disandarkan kepada Al-Albani dengan hukum yang saling berlawanan tidak mempengaruhi ketsiqohan beliau dan ketsiqohan ilmunya di sisi ulama yang adil –segala puji hanya untuk Allah-. Karena prosentasi hadits-hadits yang disebutkan dan telah dihukumi oleh Al-Albani dengan hukum yang kontradiksi dibanding hadits-hadits yang lainnya, hanya sedikit dan tidak diperhitungkan, serta tidak mampu mengotori bahtera ilmunya. Karena air apabila sudah mencapai dua kullah tidak akan membawa sifat kotor. Dan penyandaran kontradiksi ini merupakan tuduhan iri dengki yang mayoritasnya merupakan penipuan kotor belaka.

Apabila diteliti penyandaran tersebut, tidak akan selamat kecuali sangat sedikit sekali, dan semua itu tidak keluar dari keadaan-keadaan beikut ini.

a). Hadits-hadits yang dihukumi berbeda oleh Syaikh setelah nampak jelas baginya ilmu yang benar.

b). Hadits-hadits yang dihukumi oleh beliau dengan melihat kepada jalannya, kemudian beliau menemukan jalan yang lainnya.

c). Hadits-hadits yang dihukumi oleh beliau dengan dasar pendapat yang rajih (kuat) sesuai keadaan perawi tersebut, kemudian beliau mengoreksi kembali ijtihadnya dan menemukan hukum yang berbeda.

d). Hadits-hadits yang tidak mempunyai cacat, kemudian nampak cacatnya menurut beliau.

e). Hadits-haditys yang tidak diketahui adanya syahid (penguat) dan mutaba’ah (penguat), kemudian beliau mengetahuinya

Saya sarankan para pembaca untuk merujuk ke kitab ‘Al-Anwar Al-Kasyifah Li Tanaqudhat Al-Khassaf Az-Zifah”, yang menguak kesesatan, penyimpangan dan sikap sembrono yang ada di dalamnya

[9]. Tidak Perhatian Dengan Matan Hadits
Inipun dusta semata dan kebatilan yang tidak berdasar. Kenyataan yang ada di kitab Syaikh, membatalkan tuduhan tersebut. Oleh sebab itu saya akan mendatangkan sebuah hadits yang dikritik habis matannya oleh Al-Albani setelah dikritisi habis sanadnya

Diantaranya hadits kedua dari kitab Silisilah Al-Ahadits Ad-Dha’ifah. Hadits tersebut berbunyi.

“Barangsiapa yang shalatnya belum mampu menahan dirinya dari perbuatan keji dan munkar, niscaya tidak akan bertambah dari Allah kecuali jarak yang semakin jauh”.

Setelah Syaikh mengomentari sanad hadits, beliau menuju ke matan hadits seraya berkata.

Matan hadits ini tidak sah, sebab zhahirnya mencakup orang yang melakukan shalat lengkap dengan syarat dan rukun-rukunnya. Yang mana syari’at ini menghukuminya sah. Meskipun orang yang melakukan shalat tersebut terus menerus melakukan beberapa maksiat, maka bagaimana mungkin hanya karena itu, shalatnya tidak akan menambah kecuali jarak yang semakin jauh. Hal ini tidak masuk akal dan tida disetujui oleh syari’at ini, dst…

Dengan ini usailah tujuan kami, dan segala puji hanya untuk Allah yang dengan-Nya sempurnalah segala kebaikan.

[Sumber, Al-Intishar Li Ahlil Hadits, karangan Syaikh Muhammad bin Umar Baazmul]

[Disalin dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Vol 6 No 7 Edisi 32 - 1428H. Dialihbahasakan oleh Abu Musa Al-Atsari Lc, dari situs sahab.net. Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya, Alamat Jl Sidotopo Kidul No. 51 Surabaya]