Oleh : Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
HADITS PERTAMA
مَنْ قَرَأَ يَس فِيْ لَيْلَةٍ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ فَاقْرَؤُوْهَا عِنْدَ مَوْتَاكُمْ.
“Barangsiapa membaca surat Yaasiin karena mencari
ke-ridhaan Allah Ta’ala, maka Allah akan mengampunkan dosa-dosanya yang
telah lalu. Oleh karena itu, bacakan-lah surat itu untuk orang yang
akan mati di antara kalian.”
[HR. Al-Baihaqi dalam kitabnya, Syu’abul Iman]
Keterangan: HADITS INI (ضَعِيْفٌ) LEMAH
Lihat Dha’if Jami’ush Shaghir (no. 5785) dan Misykatul Mashaabih (no. 2178).
HADITS KEDUA
مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ كُلَّ جُمُعَةٍ فَقَرَأَ عِنْدَهُمَا
أَوْ عِنْدَهُ يَس غُفِرَ لَهُ بِعَدَدِ كُلِّ آيَةٍ أَوْ حَرْفٍ.
“Barangsiapa menziarahi kubur kedua orang tuanya setiap
Jum’at dan membacakan surat Yaasiin (di atasnya), maka ia akan diampuni
(dosa)nya sebanyak ayat atau huruf yang dibacanya.”
Keterangan: HADITS INI (مَوْضُوْعٌ) PALSU
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy (I/286), Abu Nu’aim dalam kitab Akhbaru
Ashbahan (II/344-345) dan ‘Abdul Ghani al-Maqdisi dalam Sunannya
(II/91) dari jalan Abu Mas’ud Yazid bin Khalid. Telah menceritakan
kepada kami Yahya bin Sulaim ath-Thaifi, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari
ayahnya, dari ‘Aisyah, dari Abu Bakar secara marfu’.
Lihat Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (no. 50).
Dalam hadits ini ada ‘Amr bin Ziyad Abul Hasan ats-Tsaubani.
Kata Ibnu ‘Adiy: “Ia sering mencuri hadits dan menyampaikan
hadits-hadits yang BATHIL.”
Setelah membawakan hadits ini, Ibnu ‘Adiy berkata: “Sanad
hadits ini BATHIL, dan ‘Amr bin Ziyad dituduh oleh para ulama memalsukan
hadits.”
Kata Imam Daruquthni: “Ia sering memalsukan hadits.”
Periksa: Mizaanul I’tidal (III/260-261 no. 6371), Lisanul Mizan (IV/364-365).
Penjelasan Hadits-Hadits di Atas
Hadits-hadits di atas sering dijadikan pegangan pokok tentang
dianjurkannya membaca surat Yaasiin ketika ada orang yang sedang naza’
(sakaratul maut) dan ketika ber-ziarah ke pemakaman kaum Muslimin
terutama ketika menziarahi kedua orangtua. Bahkan sebagian besar kaum
Muslimin menganggap hal itu ‘Sunnah’? Maka sekali lagi saya jelaskan
bahwa semua hadits-hadits yang me-nganjurkan itu LEMAH, bahkan ada yang
PALSU, se-bagaimana yang sudah saya terangkan di atas dan hadits-hadits
lemah tidak bisa dijadikan hujjah, karena itu, orang yang melakukan
demikian adalah berarti dia telah ber-buat BID’AH. Dan telah menyalahi
Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sah yang
menerang-kan apa yang harus dilakukan ketika ada orang yang sedang dalam
keadaan naza’ dan ketika berziarah ke kubur.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany berkata: “Membacakan surat
Yaasiin ketika ada orang yang sedang dalam keadaan naza’ dan membaca
al-Qur-an (membaca surat Yaasiin atau surat-surat lainnya) ketika
berziarah ke kubur adalah BID’AH DAN TIDAK ADA ASALNYA SAMA SEKALI DARI
SUNNAH NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM YANG SAH.
Lihat Ahkamul Janaa-iz wa Bida’uha (hal. 20, 241, 307 & 325), cet. Maktabah al-Ma’arif.)
Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam Ketika Ada Orang Yang Sedang Dalam Keadaan Naza’
Pertama: Di-talqin-kan (diajarkan) dengan ‘Laa Ilaaha Illallah’ agar
ia (orang yang akan mati) mengucapkan “لاَإِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ (Laa Ilaaha Illallah).”
Dalilnya:
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدِ الْخُدْرِيِّ يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللَّهُ.
“Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ajarkanlah ‘Laa Ilaaha Illallah’ kepada
orang yang hampir mati di an-tara kalian.”
Hadits SHAHIH, riwayat Muslim (no. 916), Abu Dawud (no. 3117),
an-Nasa-i (IV/5), at-Tirmidzi (no. 976), Ibnu Majah (no. 1445),
al-Baihaqi (III/383) dan Ahmad (III/3).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar kalimat Tauhid
ini yang terakhir diucapkan, supaya dengan demikian dapat masuk Surga.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ.
“Barangsiapa yang akhir perkataannya ‘Laa Ilaaha Illallah,’ maka ia akan masuk Surga.”
Hadits riwayat Ahmad (V/233, 247), Abu Dawud (no. 3116) dan al-Hakim (I/351), dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu.
Kedua: Hendaklah mendo’akan kebaikan untuknya dan kepa-
da mereka yang hadir pada saat itu. Hendaknya mereka berkata yang baik.
Dalilnya:
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا حَضَرْتُمْ الْمَرِيْضَ أَوِ الْمَيِّتَ
فَقُوْلُوْا: خَيْرًا فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ يُؤَّمِّنُوْنَ عَلَى مَا
تَقُوْلُوْنَ.
“Dari Ummu Salamah, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah bersabda, ‘Apabila kalian menjenguk orang sakit atau berada
di sisi orang yang hampir mati, maka katakanlah yang baik! Karena
sesungguhnya para malaikat mengaminkan (do’a) yang kalian ucapkan.’”
Hadits SHAHIH riwayat Muslim (no. 919) dan al-Baihaqi (III/384) dan selain keduanya.)
Sunnah-Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Ketika Berziarah Ke Pemakaman Kaum Muslimin
Pertama: Mengucapkan salam kepada mereka.
Dalilnya ialah:
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah apakah yang harus aku
ucapkan kepada mereka (kaum Muslimin, bila aku menziarahi mereka)?”
Beliau men-jawab: “Katakanlah:
السَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا
وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلاَحِقُوْنَ.
‘Semoga dicurahkan kesejahteraan atas kalian wahai ahli kubur dari
kaum Mukminin dan Muslimin. Dan mudah-mudahan Allah memberikan rahmat
kepada orang yang telah mendahului kami dan kepada orang yang masih
hidup dari antara kami dan insya Allah kami akan menyu-sul kalian.’”
Hadits SHAHIH riwayat Ahmad (VI/221), Muslim (no. 974) dan an-Nasa-i (IV/93), dan lafazh ini milik Muslim.
Buraidah berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengajarkan kepada mereka (para Shahabat) apabila mereka memasuki
pemakaman (kaum Muslimin) hendaknya mengucapkan:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ
نَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ.
‘Mudah-mudahan dicurahkan kesejahteraan atas kalian, wahai ahli kubur
dari kaum Mukminin dan Muslimin. Dan insya Allah kami akan menyusul
kalian. Kami mohon kepada Allah agar mengampuni kami dan kalian.’”
Hadits SHAHIH riwayat Muslim (no.975), an-Nasa-i (IV/94), Ibnu Majah
(no. 1547), Ahmad (V/353, 359 & 360). Lafazh hadits ini adalah
lafazh Ibnu Majah.
Kedua: Mendo’akan serta memohonkan ampunan bagi mereka.
Dalilnya:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَانَ يَخْرُجُ إِلَى الْبَقِيْعِ فَيَدْعُوْ لَهُمْ فَسَأَلَتْهُ
عَائِشَةُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: إِنِّيْ أُمِرْتُ أَنْ أَدْعُوَ لَهُمْ.
“‘Aisyah berkata: “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah keluar ke Baqi’ (tempat pemakaman kaum Muslimin), lalu beliau
mendo’akan mereka.” Kemudian ‘Aisyah bertanya tentang hal itu, beliau
menjawab: “Se-sungguhnya aku diperintah untuk mendo’akan mereka.”
Hadits SHAHIH riwayat Ahmad (VI/252).
Baca Al-Qur-an Di Pemakaman Menyalahi Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
Hadits-hadits yang saya sebutkan di atas tentang Adab Ziarah,
menunjukkan bahwa baca al-Qur-an di pemakaman tidak disyari’atkan oleh
Islam. Karena seandainya disya-ri’atkan, niscaya sudah dilakukan oleh
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau pasti sudah
mengajarkannya kepada para Shahabatnya.
‘Aisyah ketika bertanya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
apa yang harus diucapkan (dibaca) ketika ziarah kubur? Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengajar-kan salam dan do’a. Beliau
tidak mengajarkan baca al-Fatihah, baca Yaasiin, baca surat al-Ikhlash
dan lainnya. Seandainya baca al-Qur-an disyari’atkan, pasti Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyembunyikannya.
Menurut ilmu ushul fiqih:
تَأْخِيْرُ الْبَيَانِ عَنْ وَقْتِ الْحَاجَةِ لاَ يَجُوْزُ.
“Menunda keterangan pada waktu keterangan itu dibu-tuhkan tidak boleh.”
Kita yakin bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
mungkin menyembunyikan ilmu dan tidak pernah pula beliau mengajarkan
baca al-Qur-an di pemakaman. Lagi pula tidak ada satu hadits pun yang
sah tentang ma-salah itu.
Membaca al-Qur-an di pemakaman menyalahi Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyuruh kita membaca al-Qur-an di rumah:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ، إِنَّ
الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِيْ تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ
الْبَقَرَةِ .
رواه مسلم رقم : (780) وأحمد والتّرميذي وصححه
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian
jadikan rumah kalian seperti kuburan, karena se-sungguhnya setan akan
lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat al-Baqarah.”
Hadits riwayat Muslim (no. 780), Ahmad (II/284, 337, 387, 388) dan at-Tirmidzi (no. 2877) serta ia menshahih-kannya.
Hadits ini jelas sekali menerangkan bahwa pemakaman menurut syari’at
Islam bukanlah tempat untuk membaca al-Qur-an, melainkan tempatnya di
rumah, dan melarang keras menjadikan rumah seperti kuburan, kita
dianjurkan membaca al-Qur-an dan shalat-shalat sunnat di rumah.
Jumhur ulama Salaf seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam-imam
yang lainnya melarang membaca al-Qur-an di pemakaman, dan inilah
nukilan pendapat mereka:
Pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Dawud berkata dalam kitab Masaa-il Imam
Ahmad hal. 158: “Aku mende-ngar Imam Ahmad ketika beliau ditanya
tentang baca al-Qur-an di pemakaman? Beliau menjawab: “Tidak boleh.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dari asy-Syafi’i sendiri
tidak terdapat perkataan tentang masalah ini, yang demikian ini
menunjukkan bahwa (baca al-Qur-an di pemakaman) menurut beliau adalah
BID’AH. Imam Malik berkata: ‘Tidak aku dapati seorang pun dari Sha-habat
dan Tabi’in yang melakukan hal itu!’”
Lihat Iqtidhaa’ Shirathal Mustaqim (II/264), Ahkaamul Janaa-iz (hal. 241-242).
Pahala Bacaan Al-Qur-an Tidak Akan Sampai Kepada Si Mayyit
Al-Hafizh Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat:
“Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh (pahala) selain apa yang diusahakannya.” [QS. An-Najm: 53]
Beliau rahimahullah berkata:
أَيْ: كَمَا لاَ يُحْمَلُ عَلَيْهِ وِزْرُ غَيْرِهِ، كَذَلِكَ لاَ
يَحْصُلُ مِنَ اْلأَجْرِ إِلاَّ مَاكَسَبَ هُوَ لِنَفْسِهِ. وَمِنْ هَذِهِ
اْلآيَةِ الكَرِيْمَةِ اسْتَنْبَطَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَمَنِ
اتَّبَعَهُ أَنَّ الْقِرَاءَةَ لاَ يَصِلُ إِهْدَاءُ ثَوَابِهَا إِلَى
الْمَوْتَى، ِلأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَمَلِهِمْ وَكَسْبِهِمْ وَلِهَذَا لَمْ
يَنْدُبْ إِلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أُمَّتَهُ، وَلاَ حَثَّهُمْ عَلَيْهِ وَلاَ أَرْشَدَهُمْ إِلَيْهِ بِنَصٍّ
وَلاَ إِيْمَاءٍ، وَلَمْ يُنْقَلْ ذَلِكَ عَنْ أَحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ، وَلَوْ كَانَ خَيْرًا لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ،
وَبَابُ الْقُرَبَاتِ يُقْتَصَرُ فِيْهِ عَلَى النُّصُوْصِ، وَلاَ
يُتَصَرَّفُ فِيْهِ بِأَنْوَاعِ اْلأَقْيِسَةِ وَاْلأَرَاءِ.
“Sebagaimana dosa seseorang tidak dapat dipindahkan kepada orang
lain, maka demikian pula ganjaran seseo-rang (tidak dapat
dipindahkan/dikirimkan) kepada orang lain, melainkan didapat dari hasil
usahanya sendiri. Dari ayat ini Imam asy-Syafi’i dan orang yang
mengikuti beliau ber-istinbat (mengambil dalil) bahwasanya pahala bacaan
al-Qur-an tidak sampai kepada si mayyit dan tidak dapat dihadiahkan
kepada si mayyit, karena yang demikian bukanlah amal dan usaha mereka.
Tentang (mengirimkan pahala bacaan kepada mayyit) tidak pernah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam me-nyunnahkan ummatnya, tidak
pernah mengajarkan ke-pada mereka dengan satu nash yang sah dan tidak
pula ada seorang Shahabat pun yang melakukan demikian. Seandainya
masalah membaca al-Qur-an di pemakaman dan menghadiahkan pahala
bacaannya baik, semestinya merekalah yang lebih dulu mengerjakan
perbuatan yang baik itu. Tentang bab amal-amal Qurbah (amal ibadah untuk
mendekatkan diri kepada Allah) hanya diboleh-kan berdasarkan nash
(dalil/contoh) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak
boleh memakai qiyas atau pendapat.”
Periksa Tafsir Ibni Katsir (IV/272), cet. Darus Salam dan Ahkaamul Janaa-iz (hal. 220), cet. Maktabah al-Ma’arif.
Apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Imam asy-Syafi’i itu
merupakan pendapat sebagian besar ulama dan juga pendapatnya Imam
Hanafi, sebagaimana dinukil oleh az-Zubaidi dalam Syarah Ihya’
‘Ulumuddin (X/369).
Lihat Ahkaamul Janaa-iz (hal. 220-221), cet. Maktabah al-Ma’arif th. 1412 H.
Allah berfirman tentang al-Qur-an:
“Supaya ia (al-Qur-an) memberi peringatan kepada orang yang HIDUP…” [Yaasiin: 70]
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur-an ataukah hati mereka terkunci.” [Muhammad: 24]
Yang wajib juga diperhatikan oleh seorang Muslim adalah, tidak boleh
beribadah di sisi kubur dengan me-lakukan shalat, berdo’a, menyembelih
binatang, ber-nadzar atau membaca al-Qur-an dan ibadah lainnya. Tidak
ada satupun keterangan yang sah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para Shahabatnya bahwa mereka melakukan ibadah di sisi kubur.
Bahkan, ancaman yang keraslah bagi orang yang beribadah di sisi kubur
orang yang shalih, apakah dia wali atau Nabi, terlebih lagi dia bukan
seorang yang shalih.[1]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam keras terhadap orang
yang menjadikan kubur sebagai tempat ibadah. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ.
“Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani (karena)
mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai tempat ibadah.” [2]
Tidak ada satu pun kuburan di muka bumi ini yang mengandung keramat
dan barakah, sehingga orang yang sengaja menuju kesana untuk mencari
keramat dan ba-rakah, mereka telah jatuh dalam perbuatan bid’ah dan
syirik. Dalam Islam, tidak dibenarkan sengaja mengada-kan safar
(perjalanan) ziarah (dengan tujuan ibadah) ke kubur-kubur tertentu,
seperti, kuburan wali, kyai, habib dan lainnya dengan niat mencari
keramat dan barakah dan mengadakan ibadah di sana. Hal ini dilarang dan
tidak dibenarkan dalam Islam, karena perbuatan ini adalah bid’ah dan
sarana yang menjurus kepada kesyirikan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدِيْ هَذَا، وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى.
“Tidak boleh mengadakan safar (perjalanan dengan tuju-an beribadah)
kecuali ketiga masjid, yaitu Masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil
Haram dan Masjidil Aqsha.”[3]
Adapun adab ziarah kubur, kaum Muslimin dianjur-kan ziarah ke
pemakaman kaum Muslimin dengan me-ngucapkan salam dan mendo’akan agar
dosa-dosa mereka diampuni dan diberikan rahmat oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala.[4]
Wallaahu a’lam bish shawab.
=================================
TAMBAHAN :
Ada yang mengatakan sbb :
Dari Anas bin Malik ra, diriwayatkan al_Imam al_Khollal,
"Barang siapa mendatangi QUBURan, lalu memBACA suroh YASIN,
maka ALLOH akan meRINGANkan SIKSA mereka, dan ia akan memperoleh PAHALA
seBANYAK orang-2 yg ada di QUBURan itu."
Hadits ini diNUKIL oleh Mohammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya, "Ahkam Tamanni al_Maut".
Lantas, mengapa wahabiyiin Indonesia menyelisihinya....?????
BANTAHAN :
Imam Suyuthi mencantumkannya dalam kitab Syarhis sudur( 130), lalu
berkata : Ia diriwayatkan oleh Abd Aziz pengarang kitab Al Kholal dengan
sanadnya yang sampai ke Anas. Syaikh Albani berkata : Saya kaji
sanadnya, ternyata sanadnya lemah sekali, sebagaimana saya terangkan di
kitab : Hadis – hadis lemah ( 1291). Syaikh Albani juga berkata :
Membaca al Quran, Yasin, Al ihlas sebelas kali adalah bid`ah mungkarah,
hadisnya palsu
Sebenarnya kitab Ahkam Tamanni Al-Maut bukanlah karya Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab. Akan tetapi, kejadian yang sesungguhnya
adalah Universitas Al-Imam mendapatkan transkrip kitab ini dari Leiden
(Belanda). Lalu disimpan di Al-Maktabah As-Su’udiyyah Riyadh. Kitab ini
diambil dari Leiden bukan karena kitab ini sebagai karya beliau tetapi
karena menggunakan tulisan tangan beliau.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dahulu sering mengadakan rihlah
(perjalanan), jika beliau menemukan sebuah kitab yang jarang
diperjualbelikan maka beliau menyalinnya. Termasuk kitab Ahkam Tamanni
Al-Maut, beliau menyalin dengan tulisan tangan beliau sendiri dengan
maksud akan memeriksa dan menelitinya. Maklum adanya bahwa para ulama
ahlu hadits mereka menulis segala hal bahkan riwayat-riwayat palsu pun
ditulis sehingga mereka dapat menjelaskan dengan lengkap tentang hukum
dan makna sebenarnya.
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah telah membantah keberadaan
kitab ini sebagai karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab t dengan
menguraikan delapan argumen. Kitab ini berjudul Ibthaal Nisbati Kitaab
Ahkaami Tamanni Al-Maut Ilaa Asy Syaikh Al-Imam Muhammad bin Abdul
Wahhab.
Al-Qur’an diturunkan Allooh Ta’ala kepada Nabi Muhammad
shollalloohu’alyihi wa salam sebagai petunjuk, rahmat, cahaya, kabar
gembira dan peringatan. Maka kewajiban orang-orang yang beriman untuk
membacanya, merenungkannya, memahaminya, mengimaninya, mengamalkan dan
berhukum dengannya.
Hikmah ini tidak akan diperoleh seseorang yang sudah mati. Bahkan
mendengar saja mereka tidak mampu. “Sesungguhnya kamu tidak dapat
menjadikan orang-orang mati itu mendengar.” (An-Nahl: 80).
Allooh Ta’ala juga berfirman di dalam surat Yasin tentang hikmah
tersebut, “Al Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang
memberi penerangan supaya dia memberi peringatan kepada orang-orang yang
hidup.” (Yasin: 69-70).
Allooh berfirman, “Sesungguhnya seseorang itu tidak akan menanggung
dosa seseorang yang lain dan bahwasanya manusia tidak akan memperolehi
ganjaran melainkan apa yang telah ia kerjakan.” (An-Najm: 38-39).
Berkata Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rohimahulloh: “Melalui ayat yang
mulia ini, Imam Syafi’i rohimahullooh dan para pengikutnya menetapkan
bahwa pahala bacaan (Al-Qur’an) dan hadiah pahala tidak sampai kepada
orang yang mati, karena bacaan tersebut bukan dari amal mereka dan bukan
usaha mereka. Oleh karena itu Rosulullooh shollalloohu ‘alayhi wa salam
tidak pernah memerintahkan umatnya, mendesak mereka untuk melakukan
perkara tersebut dan tidak pula menunjuk hal tersebut (menghadiahkan
bacaan kepada orang yang mati) walaupun hanya dengan sebuah dalil pun.”
Adapun dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan surat Yasin jika dibaca
secara khusus tidak dapat dijadikan hujjah. Membaca surat Yasin pada
malam tertentu, saat menjelang atau sesudah kematian seseorang tidak
pernah dituntunkan oleh Rosulullooh dan Para Sahabat beliau.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa
yang memasuki pekuburan, lalu membaca surat Yasin, diringankan siksa
kubur mereka (ahli kubur) pada hari itu, dan untuknya (pembaca) mendapat
kebaikan sebanding kebaikan jumlah ahli kubur yang ada di dalamnya.’
Adalah Hadits lemah, karena di dalam sanadnya
terdapat beberapa kelemahan. Pertama, terdapat rawi yang bernama Abu
Ubaidah, identitasnya tidak diketahui (majhul). Kedua, Abu
Ayyub bin Mudrik adalah rawi yang disepakati kelemahannya olah para ahli
hadits. Bahkan Ibnu Hibban menyatakan ia adalah rawi yang pendusta.
Ketiga, Ahmad ar-Riyahi, ia adalah rawi yang majhul sebagaimana yang
dikatakan oleh Imam al-Baihaqi. [Lihat adh-Dhaifah 1249].