Bahaya Mengkafirkan Sesama Muslim
Bahaya Mengkafirkan Sesama Muslim
Sejarah Munculnya Fitnah Takfir
Bila menengok sejarahnya, ternyata fitnah bermudah-mudahan (dalam)
mengkafirkan seorang muslim ini telah lama ada, seiring dengan munculnya
Khawarij, kelompok sesat pertama dalam Islam.
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata:
“Ia merupakan fitnah yang telah lama ada, yang diprakarsai oleh
kelompok (sesat) dari kelompok-kelompok Islam pertama, yang dikenal
dengan Khawarij.” (Fitnatut Takfir, hal. 12)
Mereka telah
berani mengkafirkan Khalifah 'Utsman bin 'Affan dan orang-orang yang
bersamanya, mengkafirkan orang-orang yang memerangi 'Ali bin Abi Thalib
dalam perang Jamal dan Shiffin, kemudian mengkafirkan semua yang
terlibat dalam peristiwa Tahkim (termasuk di dalamnya 'Ali bin Abi
Thalib), dan akhirnya mengkafirkan siapa saja yang tidak sepaham dengan
mereka. (Diringkas dari Fathul Bari, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar
Al-'Asqalani, 12/296-297)
Sebab Munculnya Fitnah Takfir
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata:
“Sejauh apa yang aku pahami, sebabnya kembali kepada dua perkara:
- Dangkalnya ilmu dan kurangnya pemahaman tentang agama.
- (Ini yang terpenting), memahami agama tidak dengan kaidah syar’iyyah
(tidak mengikuti Sabilul Mukminin, jalannya Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam dan para shahabatnya, pen).
Siapa saja
menyimpang dari (jalan) Jamaah yang dipuji oleh Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam dalam banyak sabdanya dan telah disebut oleh Allah ‘Azza
wa Jalla (dalam Al-Qur'an), maka ia telah menentang Allah dan
Rasul-Nya.
Yang saya maksud adalah firman-Nya:
وَمَنْ
يُشَاقِِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّه مَا تَوَلَّـى
وَنُصْلِهِ جـَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا
“Dan barangsiapa
menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran dan mengikuti selain
jalannya orang-orang mukmin , kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam
kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)
Kemudian beliau berkata:
“Dari sinilah banyak sekali kelompok-kelompok yang tersesat sejak
dahulu hingga kini, karena mereka tidak mengikuti jalan orang-orang
mukmin dan semata-mata mengandalkan akal, bahkan mengikuti hawa nafsu di
dalam menafsirkan Al-Qur'an dan As-Sunnah, yang kemudian membuahkan
kesimpulan-kesimpulan yang sangat berbahaya, dan akhirnya menyimpang
dari jalan As-Salafush Shalih.” (Fitnatut Takfir, hal. 13)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menambahkan sebab ketiga,
yaitu jeleknya pemahaman yang dibangun di atas jeleknya niat. (Fitnatut
Takfir, hal. 19)
Demikian pula Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan
Al-Fauzan menambahkan sebab yang lain, yaitu adanya kecemburuan
(ghairah) terhadap agama yang berlebihan atau semangat yang tidak pada
tempatnya. (Zhahiratut-Tabdi’ Wat-Tafsiq Wat-Takfir Wa-Dhawabithuha,
hal. 14)
Kehati-hatian Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam Masalah Takfir
Adapun Ahlus Sunnah Wal Jamaah, As-Salafiyyun adalah orang-orang yang
sangat berhati-hati dalam masalah takfir. Merekalah yang sejak dahulu
hingga kini memerangi fitnah dan pemikiran tersebut. Kitab-kitab dan
fatwa-fatwa para ulama cukup sebagai bukti dan saksi, sehingga sangat
ironis apa yang diopinikan oleh musuh-musuh Islam bahwa motor dari
fitnah takfir ini adalah As-Salafiyyun.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata:
“Ringkas kata, wajib bagi yang ingin mengintrospeksi dirinya agar tidak
berbicara dalam masalah ini kecuali dengan ilmu dan keterangan dari
Allah. Dan hendaknya berhati-hati dari perbuatan mengeluarkan seseorang
dari Islam semata-mata dengan pemahamannya dan anggapan baik akalnya.
Karena mengeluarkan seseorang dari Islam atau memasukkan seseorang ke
dalamnya termasuk perkara besar dari perkara-perkara agama ini.”
(Ad-Durar As-Saniyyah, 8/217, dinukil dari At-Tahdzir Minattasarru’
Fittakfir karya Muhammad bin Nashir Al-'Uraini, hal. 30)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Pemberian vonis kafir dan fasiq bukan urusan kita, namun ia
dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena ia termasuk hukum
syariah yang referensinya adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah. Maka wajib
untuk ekstra hati-hati dan teliti dalam permasalahan ini, sehingga
tidaklah seseorang dikafirkan dan dihukumi fasiq kecuali bila Al-Qur'an
dan As-Sunnah telah menunjukkan kekafiran dan kefasikannya. Dan hukum
asal bagi seorang muslim yang secara dzahir nampak ciri-ciri
keislamannya adalah tetap berada di atas keislaman sampai benar-benar
terbukti dengan dalil syar’i adanya sesuatu yang menghapusnya. Tidak
boleh bermudah-mudahan dalam mengkafirkan seorang muslim atau
menghukuminya sebagai fasiq.” (Al-Qawa’idul Mutsla Fi Shifatillahi wa
Asma-ihil Husna, hal. 87-88)
Oleh karena itu, Ahlus Sunnah Wal
Jamaah sangat berbeda dengan orang-orang Khawarij (Jamaah Takfir). Namun
hal ini tidak menjadikan mereka seperti Murji’ah yang menyatakan bahwa
kemaksiatan tidak berpengaruh sama sekali terhadap keimanan seseorang.
Ahlus Sunnah wal Jamaah akan menjatuhkan vonis kafir tersebut (dengan
tegas) kepada seseorang, setelah benar-benar terpenuhi syarat-syaratnya
dan tidak ada lagi sesuatu yang dapat menghalangi dari vonis tersebut.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Ada dua syarat (yang harus diperhatikan) untuk memvonis kafir seorang muslim.
Pertama: Adanya dalil (syar’i) yang menjelaskan bahwa perbuatan tersebut merupakan bentuk kekafiran.
Kedua: Vonis ini harus diberikan (secara tepat) kepada yang berhak
mendapatkannya, yaitu seseorang yang benar-benar mengerti (menyadari)
bahwa apa yang ia kerjakan merupakan suatu kekafiran dan ia sengaja
dalam mengerjakannya.
Jika seseorang tidak mengerti bahwa itu
adalah suatu kekafiran, maka ia tidak berhak divonis kafir. Dasarnya
adalah firman Allah taala:
وَمَنْ يُشَاقِِقِ الرَّسُولَ مِنْ
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَ يَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ
الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّه مَا تَوَلَّى وَنُصْلِه جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ
مَصِيرًا
“Barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya
kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami
biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke
dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
(An-Nisa: 115)
وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُمْ مَا يَتَّقُوْنَ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah
memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa
yang harus mereka jauhi.” (At-Taubah: 115)
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُوْلاً
“Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Al-Isra: 15)
Namun jika seseorang sangat berlebihan di dalam meninggalkan thalabul
ilmi dan mencari kejelasan (tentang permasalahannya), maka ia tidak
diberi udzur. Contohnya, ketika disampaikan kepada seseorang bahwa ia
telah mengerjakan sebuah perbuatan kekafiran, namun ia tidak mau peduli
dan tidak mau mencari kejelasan tentang permasalahannya, maka sungguh
ketika itu ia tidak mendapat udzur.
Namun jika seseorang tidak bermaksud untuk mengerjakan perbuatan kekafiran, maka ia tidak divonis kafir.
Contohnya:
- Seseorang yang dipaksa untuk mengerjakan kekafiran, namun hatinya tetap kokoh di atas keimanan.
- Juga seseorang yang tidak sadar atas apa yang diucapkan baik
disebabkan sesuatu yang sangat menggembirakannya ataupun yang lainnya,
sebagaimana ucapan seseorang yang kehilangan untanya, kemudian ia
berbaring di bawah pohon sambil menunggu kematian, ternyata untanya
telah berada di dekat pohon tersebut. Lalu ia pun memeluknya seraya
berkata: “Ya Allah, Engkau hambaku dan aku Rabb-Mu.” Orang ini salah
mengucap karena sangat gembira.
Namun bila seseorang
mengerjakan kekafiran untuk gurauan (main-main) maka ia dikafirkan,
karena adanya unsur kesengajaan di dalam mengerjakannya, sebagaimana
yang dinyatakan oleh ahlul ilmi (para ulama). (Majmu’ Fatawa Wa Rasail
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/125-126, dinukil dari Fitnatut Takfir, hal.
70-71)
Kafirkah Berhukum dengan Selain Hukum Allah?
Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata:
“Yang benar adalah bahwa berhukum dengan selain hukum Allah taala
mencakup dua jenis kekafiran, kecil dan besar, sesuai dengan keadaan
pelakunya. Jika ia yakin akan wajibnya berhukum dengan hukum Allah
(dalam permasalahan tersebut) namun ia condong kepada selain hukum Allah
dengan suatu keyakinan bahwa ??? karenanya ia berhak mendapatkan
hukuman dari Allah, maka kafirnya adalah kafir kecil (yang tidak
mengeluarkannya dari Islam-pen). Jika ia berkeyakinan bahwa berhukum
dengan hukum Allah itu tidak wajib -dalam keadaan ia mengetahui bahwa
itu adalah hukum Allah- dan ia merasa bebas untuk memilih (hukum apa
saja), maka kafirnya adalah kafir besar (yang dapat mengeluarkannya dari
Islam -pen). Dan jika ia sebagai seorang yang buta tentang hukum Allah
lalu ia salah dalam memutuskannya, maka ia dihukumi sebagai seorang yang
bersalah (tidak terjatuh ke dalam salah satu dari jenis kekafiran
-pen).” (Madarijus Salikin, 1/336-337)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata tentang tafsir Surat Al-Maidah ayat 44:
“Berhukum dengan selain hukum Allah termasuk perbuatan Ahlul Kufur,
terkadang ia sebagai bentuk kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya
dari Islam bila ia berkeyakinan akan halal dan bolehnya berhukum dengan
selain hukum Allah tersebut dan terkadang termasuk dosa besar dan bentuk
kekafiran (yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam -pen), namun ia
berhak mendapatkan adzab yang pedih.” (Taisirul Karimir Rahman, hal.
195)
Beliau juga berkata tentang tafsir Surat Al-Maidah ayat 45:
“Ibnu 'Abbas berkata: Kufrun duna kufrin (kufur kecil -pen), zhulmun
duna zhulmin (kedzaliman kecil -pen) dan fisqun duna fisqin (kefasikan
kecil -pen). Disebut dengan zhulmun akbar (yang dapat mengeluarkan dari
keislaman -pen) di saat ada unsur pembolehan berhukum dengan selain
hukum Allah, dan termasuk dari dosa besar (yang tidak mengeluarkan dari
keislaman -pen) ketika tidak ada keyakinan halal dan bolehnya perbuatan
tersebut.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 196)
Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahulah berkata:
“Ketahuilah, kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa kekafiran,
kedzaliman dan kefasikan dalam syariat ini terkadang maksudnya
kemaksiatan dan terkadang pula maksudnya kekafiran yang dapat
mengeluarkan dari keislaman. Barangsiapa tidak berhukum dengan hukum
Allah sebagai wujud penentangan terhadap Rasul dan peniadaan terhadap
hukum-hukum Allah, maka kedzaliman, kefasikan dan kekafirannya merupakan
kekafiran yang dapat mengeluarkan dari keislaman. Dan barangsiapa tidak
berhukum dengan hukum Allah dengan berkeyakinan bahwa ia telah
melakukan sesuatu yang haram lagi jelek, maka kekafiran, kedzaliman dan
kefasikannya tidak mengeluarkannya dari keislaman.” (Adhwa-ul Bayan,
2/104)
Asy-Syaikh Abdul 'Aziz bin Baz rahimahullah berkata:
“Barangsiapa berhukum dengan selain hukum Allah maka tidak keluar dari empat keadaan:
1. Seseorang yang mengatakan:
“Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia lebih utama dari syariat Islam,” maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.
2. Seseorang yang mengatakan:
“Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia sama (sederajat) dengan
syariat Islam, sehingga boleh berhukum dengannya dan boleh juga berhukum
dengan syariat Islam," maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.
3. Seseorang yang mengatakan:
“Aku berhukum dengan hukum ini namun berhukum dengan syariat Islam
lebih utama, akan tetapi boleh-boleh saja untuk berhukum dengan selain
hukum Allah,” maka ia kafir dengan kekafiran yang besar.
4. Seseorang yang mengatakan:
“Aku berhukum dengan hukum ini," namun dia dalam keadaan yakin bahwa
berhukum dengan selain hukum Allah tidak diperbolehkan. Dia juga
mengatakan bahwa berhukum dengan syariat Islam lebih utama dan tidak
boleh berhukum dengan selainnya. Tetapi dia seorang yang
bermudah-mudahan (dalam masalah ini) atau dia kerjakan karena perintah
dari atasannya, maka dia kafir dengan kekafiran yang kecil, yang tidak
mengeluarkannya dari keislaman dan teranggap sebagai dosa besar.
(Al-Hukmu Bighairima’anzalallahu wa Ushulut Takfir, hal. 71-72, dinukil
dari At-Tahdzir Minattasarru’ Fittakfir, karya Muhammad bin Nashir
Al-Uraini hal. 21-22)
Refleksi Terhadap Fenomena Takfir
Fenomena takfir pun ternyata masih berlanjut hingga kini. Ia tak hanya
menimpa para “aktivis,” bahkan orang-orang awam sekalipun tak luput
darinya. Sampai-sampai tertanam suatu paradigma yang salah, bahwa siapa
saja yang tidak berani mengkafirkan pemerintah-pemerintah kaum muslimin
yang ada atau tokoh fulan dan fulan, maka masih diragukan kualitas
militansinya. Bahkan fitnah ini pun dijadikan (oleh Jamaah Takfir dari
berbagai macam jenisnya) sebagai media untuk memberontak terhadap
pemerintah kaum muslimin dan sebagai landasan bolehnya mengadakan
peledakan-peledakan di negeri-negeri kaum muslimin. Wallahul jauh-jauh
hari telahMusta’an. Betapa ngerinya fitnah ini, padahal Rasulullah
memperingatkan dengan sabdanya:
إِذَا قَالَ الرَّجُلُ
لِصَاحِبِهِ: يَا كَافِرُ, فَإِنَّهَا تَجِبُ عَلَى أَحَدِ هِمَا فَإِنْ
كَانَ الَّذِي قِيْلَ لَهُ كَافِرًا فَهُوَ كَافِرٌ وَإِلاَّ رَجَعَ
إِلَيْهِ مَا قَالَ
“Jika seorang lelaki berkata kepada
kawannya: Wahai Kafir, maka sungguh perkataan itu mengenai salah satu
dari keduanya. Bila yang disebut kafir itu memang kafir maka jatuhlah
hukuman kafir itu kepadanya, namun bila tidak, hukuman kafir itu kembali
kepada yang mengatakannya.” (HR. Ahmad dari shahabat Abdullah bin
'Umar, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiqnya terhadap
Musnad Al-Imam Ahmad no. 2035, 5077, 5259, 5824)
Buku-buku
para tokoh Ikhwanul Muslimin dan Sururiyyah pun ternyata sangat berperan
di dalam memicu berkembangnya fitnah ini. Asy-Syaikh Muhammad bin
Nashir Al-'Uraini berkata:
“Sesungguhnya di antara media
terkuat yang mereka gunakan untuk menyebarkan pemikiran menyimpang lagi
menyesatkan hamba-hamba Allah ini adalah buku-buku yang dihiasi dengan
judul-judul yang menarik untuk mengesankan kepada para pembaca bahwa
buku itu baik padahal isinya racun yang mematikan.” (At-Tahdzir Minat
Tasarru Fittakfir, hal. 51)
Di antaranya Sayyid Quthub dalam
Ma’alim Fith-Thariq, Fii Zhilalil Qur’an, Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyyah
ataupun Al-Islam Wamusykilatul Hadharah dsb. Sebagaimana yang disaksikan
oleh tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin sendiri, seperti:
- Yusuf Al-Qardhawi, ia berkata:
“Pada fase ini telah muncul buku-buku tulisan Sayyid Quthub yang
merupakan pemikiran terakhirnya, yaitu pengkafiran masyarakat dan…, yang
demikian itu nampak jelas dalam Tafsir Fii Zhilalil Qur’an cetakan
ke-2, Ma’alim Fith Thariq yang kebanyakannya diambil dari Azh-Zhilal,
dan Al-Islam Wamusykilatul Hadharah, dsb.” (Aulawiyyatul Harakah
Al-Islamiyyah, hal 110. Dinukil dari Adhwa Islamiyyah, hal. 102)
- Farid Abdul Khaliq, ia berkata:
“Telah kami singgung dalam pernyataan yang lalu bahwa pemikiran takfir
(dewasa ini) bermula dari sebagian pemuda-pemuda Ikhwanul Muslimin yang
meringkuk di LP Al-Qanathir di akhir-akhir tahun limapuluhan dan
awal-awal tahun enampuluhan, yang mana mereka terpengaruh dengan
pemikiran Sayyid Quthub dan karya-karya tulisnya. Mereka menimba dari
karya-karya tulis tersebut bahwa masyarakat ini berada dalam
kejahiliyyahan dan pemerintah-pemerintah yang ada ini kafir karena tidak
berhukum dengan hukum Allah. Demikian pula rakyatnya karena kerelaan
mereka terhadap selain hukum Allah itu.” (Al-Ikhwanul Muslimun fii
Mizanil Haq, hal. 115. Dinukil dari Adhwa Islamiyyah, hal.103)
Demikian pula tulisan-tulisan Abul A’la Al-Maududi dalam Al-Usus
Al-Akhlaqiyyah Lil Harakah Al-Islamiyyah, Muhammad Surur Zainal Abidin
dalam Majalah As-Sunnah dan Manhajul Anbiya Fid Da’wati Ilallah, Safar
Al-Hawali dalam Wa’d Kasenjer, Salman Al-'Audah dalam kaset Limadza
Yakhafuna minal Islam? Humum Fataat Multazimah, Minhuna…Wahunaka, dan
lain sebagainya.
Oleh karena itu sudah seharusnya bagi kaum
muslimin untuk menjauhkan diri dari buku-buku dan kaset-kaset tersebut,
dan berusaha untuk menimba ilmu dari buku-buku dan kaset-kaset para
ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang bersih dari berbagai macam syubhat
dan pemikiran menyimpang. Demikian pula toko-toko buku hendaknya tidak
lagi menjual buku-buku tersebut, sebagaimana yang telah diserukan oleh
Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhali di dalam kitabnya
Al-Irhab Wa Atsaruhu 'Alal Afrad Wal Umam, hal. 128-142.
Di
antara hal lain yang perlu dijadikan refleksi adalah tidak dipahaminya
perbedaan antara takfir secara mutlak (umum) dengan takfir mu’ayyan
(untuk orang tertentu), yang berakibat setiap ada yang mengatakan atau
melakukan perbuatan kekafiran langsung divonis sebagai orang kafir dan
dinyatakan telah keluar dari Islam.
Para ulama rahimahumullah
membedakan antara takfir secara mutlak dan takfir mu’ayyan. Mereka
seringkali menyatakan takfir secara mutlak (umum), seperti: “Barangsiapa
mengatakan atau melakukan perbuatan demikian dan demikian maka ia kafir
(tanpa menyebut nama pelakunya).” Namun ketika masuk kepada takfir
mu’ayyan (untuk orang-orang tertentu) maka mereka sangat berhati-hati.
Karena tidak semua yang mengatakan atau melakukan perbuatan kekafiran
berhak divonis kafir.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Suatu perkataan kadangkala termasuk dari bentuk kekafiran, maka
pelakunya boleh dikafirkan secara umum, dengan dikatakan: 'Barangsiapa
mengatakan demikian maka ia kafir (tanpa menyebut nama pelakunya -pen).'
Namun untuk pribadi orang yang mengatakannya tidaklah langsung divonis
kafir sampai benar-benar tegak (disampaikan) kepadanya hujjah.”
(Fitnatut Takfir, hal. 49)
Beliau juga berkata:
“Dan
tidaklah setiap yang mengatakan kekafiran harus divonis kafir, sampai
benar-benar terpenuhi syarat-syarat pengkafiran dan tidak ada lagi
sesuatu yang menghalangi vonis tersebut. Misalnya seorang yang
menyatakan: 'Sesungguhnya khamr atau riba itu halal,' dikarenakan ia
baru masuk Islam (belum tahu ilmunya -pen), atau dikarenakan hidup di
daerah yang sangat terpencil (tidak tersentuh dakwah -pen). Atau
mengingkari suatu perkataan dalam keadaan ia tidak tahu bahwa itu dari
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam..., maka
(orang demikian) tidak dikafirkan sampai benar-benar tegak (disampaikan)
kepada mereka hujjah tentang risalah yang dibawa oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam, sebagaimana firman Allah taala:
لِـئَلاَّ يـَكُـوْنَ لِلنَّا سِ عَلَى اللهِ حُجَّـةٌ بـَعْدَ الرُسُلِ
“Agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.” (An Nisaa’: 165)
Dan Allah telah mengampuni segala kekeliruan dan kealpaan umat ini. (Majmu’ Fatawa, 35/165-166) Wallahul a’lam bish shawab.
Penutup
Demikianlah apa yang bisa kami sampaikan tentang fitnah takfir dan
bahayanya, berikut pula manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah dalam masalah ini,
serta beberapa refleksi dari fenomena takfir. Semoga Allah taala
senantiasa menganugerahkan hidayah dan taufiq-Nya kepada kita, serta
melindungi kita semua dari berbagai macam fitnah baik yang tampak maupun
tidak tampak. Amiin, Ya Mujiibas Sailiin.
No comments:
Post a Comment