SEMBILAN TUDUHAN DUSTA TERHADAP SYAIKH AL-ALBANI
SEMBILAN TUDUHAN DUSTA TERHADAP SYAIKH AL-ALBANI
Oleh
Gholib Arif Nushoiroot
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah.
Wa Ba’du.
Al-Albani rahimahullah, ahli hadits abad ini, dijuluki sebagai
muhaddits As-Syam (ahli hadits negeri Syam) –andai saja dijuluki sebagai
Muhadditsud Dunya (ahli hadits dunia)- tentu ia berhak menyandangnya,
wa la uzakki’ ala Allahi ahada. Beliau sebagaimana ulama lainnya, pernah
dilontarkan kepadanya tuduhan-tuduhan dan kedustaan-kedustaan.
Kedustaan dan tuduhan tersebut terangkum dalam sembilan point berikut ini:
1). (Al-Albani) ahli hadits yang tidak paham fikih
2). Tidak mengetahui ilmu ushul
3). Tidak memiliki guru.
4). Syad (ganjil), menyendiri dari pendapat umumnya masyarakat.
5). Tidak menghormati ulama, dan tidak mengetahui ketinggian kedudukan mereka.
6). Bermadzhab dzhoiri
7). Mutasahil (gampang/mudah) men-shahih-kan hadits
8). Keputusannya dalam menghukumi hadits-hadits berlawanan, satu sama lain.
9). Tidak perhatian dengan matan hadits.
Tuduhan-tuduhan dusta di atas pernah dilontarkan kepada mayoritas ulama
hadits di sepanjang masa. Dan saya melihat hal ini perlu dipaparkan dan
dijawab demi membela mereka seutuhnya. Dengan harapan agar amalan yang
sedikit ini termasuk dalam bab berbakti kepada mereka.
[1]. Ahli Hadits Yang Tidak Paham Fikih
Ungkapan ini, bila dimaksudkan hanya sekedar untuk mensifati bahwa
beliau (Syaikh Al-Albani,-pent) termasuk ulama ahli hadits yang piawai
dan pakar dibidangnya, dan tidak ada maksud lain yang mengurangi
ketinggian ilmu fikih beliau, maka ungkapan ini tidak perlu dijawab.
Karena Imam Al-Albani merupakan salah satu ahli hadits abad ini yang
dapat disaksikan keilmuannya, dan peran aktifnya di bidang hadits. Dan
ini dapat dibuktikan bersama. Perkara tersebut –walhamdulillah-
sepengetahuanku merupakan perkara yang tidak diperselisihkan oleh siapa
saja (kecuali mereka yang hasad, dengki, dan iri dengan beliau,-pent).
Adapun jika ungkapan tersebut bermaksud untuk menggugurkan keilmuan
Syaikh Al-Albani dalam bidang fikih hadits, penjelasan maknanya,
pilihan-pilihannya, dan hasil tarjih beliau dalam masalah-masalahnya,
maka ini adalah makna yang munkar dan batil. Dan dapat dijawab dengan
pernyataan berikut ini.
Kita katakan kepada mereka : Apa
sebenarnya arti fikih menurut kalian? Jika maksud kalian adalah
menghafal masalah-masalah, matan-matan, dan masuk ke dalam permasalahan
yang bersifat tidak nyata, tanpa mendasari semua itu dengan dalil yang
shahih, maka Imam Al-Albani sungguh seorang yang amat jauh dari hal itu.
Dan jika maksud kalian adalah memahami dan mempelajari dalil-dalil dari
Al-Qur’anul Karim dan As-Sunnah Ash-Shahihah dengan pemahaman para
sahabat dan tabi’in, tanpa fanatik kepada seseorang kecuali kepada
dalil, maka kami minta kepada kalian untuk mendatangkan sebuah dalil
yang menunjukkan bahwa Imam Al-Albani tidak seperti itu.
Sesungguhnya kalimat “ahli hadits yang tidak paham fikih” dengan makna
batil tersebut merupakan ungkapan setan yang bertujuan untuk merendahkan
kadar dan kedudukan ahli hadits, dan bahwa seorang ahli fikih tidak
memerlukan ilmu hadits.
Ungkapan tersebut awalnya
ketergelinciran dan bid’ah, akhirnya penghalalan (lepas diri) dan zindiq
(kemunafikan). Dikatakan bid’ah, karena kita tidak pernah menemukannya
dari salafush shalih. Dikatakan penghalalan dan zindiq, karena ucapan
tersebut bisa mengakibatkan dibuangnya seluruh perkataan ulama. Yang
kemudian bisa menggugurkan syari’at dan meghilangkan hukum-hukum Islam.
Sehingga dikatakan sesekali : Hukum ini adalah perkataan fulan yang
merupakan ahli hadits, dia bukan ahli fikih. Kemudian dikatakan lain
kali ; Hukum ini adalah ucapan fulan yang merupakan ahli fikih, dia ahli
hadits. Dan hasil akhirnya adalah berlepas diri dari hukum agama!!!
[2]. Tidak Mengetahui Ilmu Ushul
Tuduhan ini mana buktinya ? Dan realita yang ada di kitab-kitab
Al-Albani adalah kebalikannya. Bahkan cerita yang popular dari biografi
beliau, bahwasanya ia dahulu mengadakan dua kali kajian yang dihadiri
oleh mahasiswa Universitas Islam Madinah dan sebagian staff dosen
Universitas tersebut. Diantara kitab yang diajarkan oleh beliau di
halaqah ilmiyah tersebut adalah kitab Ushulul Fikih karya Abdul Wahhab
Khallaf.
Dan tuduhan ini –penafian kadar keilmuan ushul fikih
beliau- ditelan mentah-mentah oleh sebagian mereka untuk mencela para
ahli hadits, yang kemudian mereka gunakan untuk melemparkan tuduhan
kepada para ahli hadits tersebut. Dan kepada mereka saya katakan :
Termasuk perkara yang penting, harus diperhatikan poin-poin berikut.
a). Bahwasanya Sunnah Nabawiyyah merupakan petunjuk hukum-hukum yang
ada dalam Al-Qur’an , sebagaimana yang dikatakan Imam Ahmad bin Hanbal
dalam karyanya As-Sunnah riwayat Abdus : Setiap hukum dalam Al-Qur’an
ditunjukkan oleh As-Sunnah, dijelaskannya dan ditunjukkan maksudnya. Dan
dengan As-Sunnah bisa menghantarkan untuk mengetahui maknanya
b). Sesungguhnya ilmu ushul dibangun atas dasar petunjuk-petunjuk
Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan menggunakan bahasa Arab, dengan
memperhatikan adat masa diturunkannya syari’at. Dan perkara ini hanya
diberikan kepada sahabat. Tidak ada yang ikut serta dan mengetahuinya
kecuali mereka sendiri. Dan tidak pula ada jalan untuk sampai kepada hal
tersebut kecuali dengan jalan mereka (para sahabat).
Apabila
telah jelas dua poin di atas, maka ketahuilah, bahwa ahli hadits
merupakan orang yang paling bahagia dengan kedua poin tersebut. tidak
seorang pun yang lebih tahu dari mereka tentang kabar yang dibawa
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak seorang pun yang lebih
tahu dari mereka tentang berita dari sahabat. Maka merekalah yang
sebenarnya ahli ilmu ushul. Dan diantara manhaj mereka adalah menjadikan
dalil-dalil Al-qur’an dan As-Sunnah sebagai dasar untuk membangun ilmu
ushul. Bukankah para ulama ushul tidaklah beraktivitas kecuali untuk hal
ini?
Dari sini engkau mengetahui, bahwa ahli hadits merekalah
sebenarnya ulama ushul syariat ini, yang mengetahui kaedah-kaedah
pengambilan hukum dari sela-sela usaha mereka untuk mengikuti apa yang
datang dari sahabat dan tabi’in.
[3]. Tidak Memiliki Guru
Tuduhan ini terlalu tergesa-gesa untuk diucapkan. Sebab Syaikh Al-Albani
pernah belajar beberapa ilmu alat dari ayahnya, seperti ilmu shorof.
Beliau juga belakar darinya beberapa kitab madzhab Hanafi, seperti
Mukhtashor Al-Qaduri. Darinya juga beliau belajar Al-Qur’an dan pernah
menghatamkan riwayat Hafsh beserta tajwidnya.
Beliau pun pernah
belajar dari Syaikh Sa’id Al-Burhani kitab Maraqi Al-Falah, sebuah
kitab yang bermadzhab Hanafi, dan kitab Syudzurudz Dzahab di cabang ilmu
nahwu serta beberapa kitab balaghah
Beliau juga pernah
menghadiri seminar-seminar Al-Allamah Muhammad Bahjat Al-Baithar bersama
beberapa ustadz dari Al-Majma Al-Islami Damaskus, diantaranya : Izzudin
At-Tanukhi. Waktu itu mereka belajar kitab Al-Hamasah syairnya Abu
Tammam.
Di akhir hayatnya, beliau sempat bertemu dengan Syaikh
Muhammad Raghib Ath-Thabbakh. Beliau pun menyatakan takjub dengan Syaikh
Al-Albani, dan menghadiahkan kepada beliau kitab Al-Anwar Al-Jaliyah Fi
Mukhtashar Al-Atsbat Al-Hanbaliyah.
Apabila engkau tahu semua
ini, maka jelas bagimu bahwa tuduhan dusta mereka “Al-Albani tidak
memiliki guru” menyelisihi realita yang ada.
Dan tentunya tidak
mengurangi kedudukan Syaikh meskipun hanya sedikit gurunya. Betapa
banyak ulama yang hanya memiliki sedikit guru, dan itu tidak
mempengaruhi kredibilitas keilmuannya. Bahkan diantara perawi hadits ada
yang tidak meriwayatkan hadits kecuali dari dua atau tiga orang saja,
bahkan ada juga yang berguru dari seorang Syaikh saja. Namun ternyata
para ulama bersaksi akan kekuatan dan kesempurnaan hafalannya. Dan hal
itu tidak menjadi alasan yang mencegah untuk mengambil ilmu dan
meriwayatkan hadits dari mereka.
Adalah Abu Umar Ahmad bin
Abdullah bin Muhammad Al-Lakhami yang terkenal dengan sebutan Ibnul Baji
(wafat mendekati tahun 400H) yang merupakan penduduk daerah Isybilia.
Dia adalah satu-satunya ulama dan ahli fikih yang ada pada waktu itu.
Beliau mengumpulkan cabang ilmu hadits, fikih, dan keutamaan. Dan beliau
menghafal dengan baik beberapa kitab-kitab sunnah dan penjelasan
maknanya.
[4]. Syad (Ganjil), Menyendiri Dari Pendapat Umumnya Masyarakat
Ini juga merupakan tuduhan kosong belaka. Karena sesungguhnya ulama
ahli hadits, begitu pula Al-Albani –wa laa uzaki ‘ala Allahi ahada-
termasuk orang yang terasing yang menghidupkan sunnah-sunnah yang
dimatikan oleh kebanyakan orang. Adapun istilah ahli hadits : Fulan
sendirian dalam meriwayatkan hadits ini, ini tidak berarti bahwa ia
tidak paham masalah dan tidak pula kita menayandarkan istilah gannjil
kepadanya
Dalam kitab Al-Ihkam Fi Ushulil Ahkam (5/661-662) Abu
Muhammad Ibnu Hazm berkomentar : Sesungguhnya batasan istilah ganjil
adalah dengan menyelisihi kebenaran. Maka siapa saja yang menyelisihi
kebenaran dalam suatu permasalahan maka ia termasuk ganjil dalam masalah
tersebut, meskipun jumlahnya sebanyak penduduk muka bumi atau
sebagiannya. Sedangkan Al-Jama’ah, secara keseluruhan mereka adalah
ahlul haq, meskipun dimuka bumi tidak ada dari mereka kecuali seorang
saja, maka ialah Al-Jama’ah, dan ini adalah secara globalnya. Meskipun
hanya Abu Bakar dan Khadijah saja yang masuk Islam, maka mereka berdua
adalah Al-Jama’ah. Sedangkan siapa saja dari penduduk bumi selain mereka
berdua dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka adalah
ahlu ganjil (menyimpang) dan perpecahan.
Maka bukanlah maksud
dari istilah ganjil adalah seorang ulama yang menyelisihi jama’ah ulama
lainnya. Bukanlah arti ganjil menyelisihi perbuatan yang sering
diamalkan atau tersebar luas di masyarakat. Betapa banyak permasalahan
yang dipegang teguh oleh ulama dengan pendapat yang menyendiri, seperti
Abu Hanifah, Malik, dan juga Ahmad. Dan hal itu tidak dianggap sebagai
aib bagi mereka, tidak mengurangi kefakihan mereka apalagi
menghalang-halanginya, juga tidak menjadikan mereka disifati ganjil atau
menyendiri.
Bagaimana mungkin bisa disifati dengan ganjil orang yang memurnikan peneladanan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Bahkan sebelum ulama yang menyelisihi sunnah atau atsar tidak dikatakan
oleh ulama yang lain dengan ucapan : Mereka ganjil, mereka menyendiri.
Adalah Al-Hafizh Ibnu Abi Syaibah (wafat 235H) di dalam kitabnya
Al-Mushshannaf mengarang sebuah judul : Bantahan untuk Abu Hanifah.
Beliau mengawalinya dengan perkataan : Ini adalah permasalahan yang Abu
Hanifah menyelisihi berita yang telah datang dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam
Adalah Al-Laits bin Sa’ad berkata : Aku
pernah menghitung permasalahan Malik bin Anas yang berjumlah tujuh
puluh, seluruhnya menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dalam semua permasalahan itu ia berpendapat dengan akalnya. Komentar
Al-Laits : Dan aku pernah menuliskan ini untuknya. Cerita atsar ini ada
dalam kitab Jami’u Bayanil Ilmu wa Fadhlihi 92/148).
Kemudian
kapankah amalan kebanyakan orang menjadi hujjah secara mutlak dalam
syari’at ini, yang mana dalil-dalil ditolak karenanya ? Dosa apa yang
dilakukan para ahli hadits dan Al-Albani tatkala mereka berpegang dengan
hadits yang telah jelas bagi mereka derajat keshahihannya, dan tidak
pernah nampak perkataan kuat yang menyelisihinya, kemudian mereka
mengamalkannya, dan mengajak orang lain untuk menghidupkan sunnah yang
dikandung oleh hadits itu. Maha Suci Allah!, mereka bukannya diberikan
ucapan terima kasih malah dicela, kemudian dijuluki dengan gelar ganjil
atau menyendiri!
[5].Tidak Menghormati Ulama Dan Tidak Mengatahui Ketinggian Kedudukan Mereka.
Adapun perkataan tersebut, maka hanya tuduhan yang tidak berdalil.
Bahkan realita yang ada adalah kebalikannya. Penyebab tuduhan itu adalah
prasangka salah sebagian orang yang mengira bahwa Syaikh Al-Albani
tatkala mengamalkan hadits shahih yang belum pernah diketahui seorang
yang menyelisihinya, mereka mengira bahwa perbuatan beliau tersebut
menjatuhkan kredibilitas para ulama yang tidak mengamalkannya, dan
berarti beliau tidak menghormati mereka. Parasangka salah tersebut tidak
perlu terlalu diperhitungkan, dengan alasan sebagai berikut:
Tentu beda antara memurnikan amalan untuk mengikuti Rasulullah dan
menjatuhkan perkataan ulama lain. Maksud dari mengikuti Rasulullah yaitu
tidak mendahulukan perkataan seseorang dari ucapan beliau, siapapun
orangnya. Akan tetapi, pertama engkau melihat keabsahan hadits. Apabila
hadits tersebut shahih, maka yang kedua engkau harus memahami maknanya.
Jika sudah jelas (maknanya) bagimu maka engkau tidak boleh menyimpang
darinya, meskipun semua orang di timur bumi dan baratnya menyelisihimu.
Dan diantara perkataan berharga Syaikh Al-Albani sebagaimana dalam
As-Silsilah Ash-Shahihah, ketika mengomentari hadits nomor 221, beliau
berkata :
Ambil dan peganglah hadits Rasulullah. Gigitlah ia
dengan gigi geraham. Jauhilah olehmu pendapat-pendapat orang, sebab
dengan adanya hadits maka pendapat menjadi batal, dan jika datang sungai
Allah (dalil naqli) maka hilanglah sungai akal (dalil aqli).
Sekedar pengetahuan, -setahu saya- tidak ada sebuah permasalahan yang
dipilih oleh Al-Albani kecuali pernah dikatakan oleh para ulama
sebelumnya. Beliau senantiasa antusias menyebutkan ulama salaf yang
sependapat dengannya. Beliau juga antusias mengamalkan pendapat yang
sejalan dengan dalil
Syaikh Al-Albani selalu merujuk ke
perkataan ulama, mengambil pelajaran darinya, juga mengambil faedah dari
perkataan tersebut tanpa fanatik ataupun taklid. Beliau berkata di
muqaddimah kitab sifat shalat Nabi.
Adapun merujuk ke perkataan
mereka –yakni ulama- , mengambil faedah darinya, memanfaatkannya untuk
mencari kebenaran dari permasalahan yang mereka perselisihkan yang tiada
dalilnya dari Al-Qut’an dan As-Sunnah, atau untuk membantu memahami
permasalahan yang butuh kejelasan, maka ini adalah sesuatu yang tidak
kami ingkari. Bahkan kami memerintahkan dan menyarankan hal tersebut,
sebab manfaat darinya bisa diharapkan bagi orang yang meniti jalan
hidayah dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Tersisa isyarat tentang
permasalahan kerasnya Syaikh dalam membantah orang yang menyelisihinya.
Realita yang ada menyatakan bahwa permasalahan ini bersifat relatif,
setiap orang berbeda satu sama lain. Sebagian dari mereka menyebutnya
dengan istilah sifat obyektif dalam membahas, sekedar mencari kebenaran
tanpa basa-basi. Sedangkan yang lainnya menyebutnya dengan istilah keras
dan tidak berlemah lembut. Bagaimanapun juga, sudah sepantasnya tidak
dihindari poin-poin berikut ini.
a). Bahwasanya sebagian dari
mereka meminta kepada Syaikh untuk lemah- lembut dalam membantahnya
hingga batas kewajaran. Anehnya, mereka meminta kepada Syaikh untuk
membantahnya dengan aturan tertentu yang mereka sendiri tidak
dipergunakan ketika membantah orang-orang yang berbeda pendapat dengan
mereka.
b). Sikap keras demi memperjuangkan kebenaran bukan
berarti kebatilan, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menerima
kebenaran tersebut
c). Bahwasanya berlemah-lembut untuk memperjuangkan kabatilan bukan berarti kebenaran.
d). Dan terkadang bersikap keras merupakan sikap hikmah dalam berdakwah.
Tentang sikap keras yang dituduhkan kepada Syaikh, beliau memiliki
komentar tentang itu di As-Silsilah Adh-Dha’ifah, jilid pertama halaman
27.
[6]. Bermadzhab Dzohiri
Tuduhan ini juga perlu bukti.
Adapun sifat yang disandarkan kepada ahli hadits bahwa mereka termasuk
ahli dzahir, ini merupakan kata-kata yang terdengar setiap masa. Oleh
karena itu disandarkannya sifat tersebut kepada Syaikh Al-Albani
bukanlah suatu yang aneh, sebab beliau termasuk ahli hadits.
Untuk menghilangkan kesamaran yang telah merasuki otak sebagian orang, perlu dipaparkan beberapa pertanyaan berikut.
Apakah Syaikh pernah berkata terus terang di kitab-kitabnya bahwa ia bermadzhab dzahiri?
Apakah Syaikh yang hanya sekedar menukil perkataan dari kitab Ibnu Hazm bisa dikatakan bermadzhab dzahiri?
Perlu diketahui bahwa Syaikh Al-Albani di beberapa tempat dari kitabnya
mencela keras Ibnu Hazm Adz-Dzahiri. Di kitab Tamamul Minnah, halaman
160 beliau berkomentar : Untuk menyelisihi pendapat yang dipegang oleh
Ibnu Hazm.
Pada kitab yang sama, halaman 162 beliau berkata :
Saya merasa heran dengan Ibnu Hazm seperti kebiasaannya berpegang teguh
dengan madzhab Dzahiri.
Diantara karangan Syaikh, ada sebuah
kitab yang membantah Ibnu Hazm dalam masalah alat musik. Oleh karenanya,
maka ahli hadits –termasuk Al-Albani- termasuk orang yang paling jauh
dari kesalahan-kesalahan yang ulama catat dari madzhab Dzahiriyah.
Bahkan Syaikh berbicara dengan terus-terang tidak hanya pada satu
tempat, dan yang paling popular adalah di muqaddimah kitab Sifat Shalat
Nabi bahwasanya dalam manhajnya, beliau bersandar kepada hadits-hadits
dan atsar, tidak keluar dari keduanya, menghargai para imam dan
mengambil manfaat dari fikih mereka.
[7]. Mutasahil (Gampang/Mudah) Menshahihkan Hadits
Hal ini bersifat relatif, berbeda sesuai dengan masing-masing orang.
Barangsiapa yang mutasyaddid (terlalu keras/mempersulit) ia melihat
orang lain mutasahil, dan siapa yang mutasahil ia melihat orang lain
mutasyaddid. Dan yang menjadi pegangan dalam mengetahui yang benar dalam
masalah ini adalah dengan banyak membaca, berusaha mengetahui keadaan,
dan saling membandingkan satu sama lain.
Sejumlah permasalahan yang disandarkan kepada Al-Albani bahwa ia mutasahil diantaranya.
a). Menghasankan hadits dha’if dengan banyaknya jalan.
b). Menerima hadits seorang perawi yang tidak diketahui keadaannya, dan
bersandar pada tautsiq Ibnu Hibban (rekomendasi beliau untuk perawi
hadits)
c). Beliau menerima dan memberikan rekomendasi kepada beberapa perawi yang lemah.
Semua jenis hadits lemah dapat menerima penguat dan pendukung, hadits
tersebut akan naik derajatnya dengan banyaknya jalan, kecuali hadits
yang pada sanadnya terdapat perawi yang pendusta dan pemalsu hadits,
perawi hadits yang tertuduh berdusta, dan perawi hadits yang berada pada
derajat ditinggalkan (seperti perawi yang sangat buruk hafalannya),
hadits syadz (ganjil, menyelisihi hadit lainnya), dan hadits munkar.
Adapun menerima hadits dari seorang perawi yang tidak diketahui
keadaannya dan bersandar kepada tautsiq Ibnu Hibban, ini merupakan
permasalahan yang disandarkan kepada Syaikh Al-Albani tanpa dalil yang
shahih yang mendukungnya. Dan yang benar, bahwa tidak hanya pada satu
tempat Syaikh Al-Albani membantah orang yang bersandar kepada tautsiq
Ibnu Hibban dan beliau mensifatinya dengan kata-kata mutasahil
Beliau juga telah menulis pada muqaddimah kitab Tamamul Minnah, halaman
20-26, kaedah yang kelima dengan judul “Tidak dibolehkannya bersandar
dengan Tautsiq Ibnu Hibban”.
Permasalahan rekomendasi beliau
kepada beberapa perawi yang lemah merupakan tuduhan semata, dimana
mereka (yang melontarkan tuduhan tersebut) tidak mampu mendatangkan
seorang perawi yang disepakati bersama kelemahannya, lalu datanglah
Al-Albani dan memberinya rekomendasi tersebut.
[8]. Keputusannya Dalam Menghukumi Hadits-Hadits Sering Berlawanan Satu Sama Lain.
Dakwaan tersebut merupakan kebodohan atau pura-pura bodoh dengan
realita yang ada. Ketahuilah wahai saudaraku –semoga Allah senantiasa
menjagamu-, termasuk perkara yang diketahui bersama, menurut ahlu sunnah
wal jama’ah bahwa sifat ishmah (terbebas dari kesalahan) tidak mungkin
bisa disandang kepada seorangpun dari umat ini kecuali kepada Nabi. Dan
kita –segala puji dan karunia hanya milik Allah- meyakini akan dasar
ini. Tidak mungkin Al-Albani menyandang sifat ma’shum sebagaimana para
ulama yang lainnya.
Akan tetapi, apakah hanya dengan melakukan
kesalahan dan memiliki pendapat yang kontradiksi seorang alim dinyatakan
gugur dan terlepas darinya gelar keilmuannya? Saya kira, tidak ada
seorang ulama yang adil yang berpendapat demikian.
Baiklah,
barang siapa yang banyak kesalahannya, yang mana kesalahannya lebih
dominan dari pada pendapat benarnya, niscaya gugurlah hujjah darinya,
dan hilanglah sifat kuat hafalannya. Apabila terwujudkan hal ini, maka
ketahuilah bahwa semua hadits yang disandarkan kepada Al-Albani dengan
hukum yang saling berlawanan tidak mempengaruhi ketsiqohan beliau dan
ketsiqohan ilmunya di sisi ulama yang adil –segala puji hanya untuk
Allah-. Karena prosentasi hadits-hadits yang disebutkan dan telah
dihukumi oleh Al-Albani dengan hukum yang kontradiksi dibanding
hadits-hadits yang lainnya, hanya sedikit dan tidak diperhitungkan,
serta tidak mampu mengotori bahtera ilmunya. Karena air apabila sudah
mencapai dua kullah tidak akan membawa sifat kotor. Dan penyandaran
kontradiksi ini merupakan tuduhan iri dengki yang mayoritasnya merupakan
penipuan kotor belaka.
Apabila diteliti penyandaran tersebut,
tidak akan selamat kecuali sangat sedikit sekali, dan semua itu tidak
keluar dari keadaan-keadaan beikut ini.
a). Hadits-hadits yang dihukumi berbeda oleh Syaikh setelah nampak jelas baginya ilmu yang benar.
b). Hadits-hadits yang dihukumi oleh beliau dengan melihat kepada jalannya, kemudian beliau menemukan jalan yang lainnya.
c). Hadits-hadits yang dihukumi oleh beliau dengan dasar pendapat yang
rajih (kuat) sesuai keadaan perawi tersebut, kemudian beliau mengoreksi
kembali ijtihadnya dan menemukan hukum yang berbeda.
d). Hadits-hadits yang tidak mempunyai cacat, kemudian nampak cacatnya menurut beliau.
e). Hadits-haditys yang tidak diketahui adanya syahid (penguat) dan mutaba’ah (penguat), kemudian beliau mengetahuinya
Saya sarankan para pembaca untuk merujuk ke kitab ‘Al-Anwar Al-Kasyifah
Li Tanaqudhat Al-Khassaf Az-Zifah”, yang menguak kesesatan,
penyimpangan dan sikap sembrono yang ada di dalamnya
[9]. Tidak Perhatian Dengan Matan Hadits
Inipun dusta semata dan kebatilan yang tidak berdasar. Kenyataan yang
ada di kitab Syaikh, membatalkan tuduhan tersebut. Oleh sebab itu saya
akan mendatangkan sebuah hadits yang dikritik habis matannya oleh
Al-Albani setelah dikritisi habis sanadnya
Diantaranya hadits kedua dari kitab Silisilah Al-Ahadits Ad-Dha’ifah. Hadits tersebut berbunyi.
“Barangsiapa yang shalatnya belum mampu menahan dirinya dari perbuatan
keji dan munkar, niscaya tidak akan bertambah dari Allah kecuali jarak
yang semakin jauh”.
Setelah Syaikh mengomentari sanad hadits, beliau menuju ke matan hadits seraya berkata.
Matan hadits ini tidak sah, sebab zhahirnya mencakup orang yang
melakukan shalat lengkap dengan syarat dan rukun-rukunnya. Yang mana
syari’at ini menghukuminya sah. Meskipun orang yang melakukan shalat
tersebut terus menerus melakukan beberapa maksiat, maka bagaimana
mungkin hanya karena itu, shalatnya tidak akan menambah kecuali jarak
yang semakin jauh. Hal ini tidak masuk akal dan tida disetujui oleh
syari’at ini, dst…
Dengan ini usailah tujuan kami, dan segala puji hanya untuk Allah yang dengan-Nya sempurnalah segala kebaikan.
[Sumber, Al-Intishar Li Ahlil Hadits, karangan Syaikh Muhammad bin Umar Baazmul]
[Disalin dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Vol 6 No 7 Edisi 32 -
1428H. Dialihbahasakan oleh Abu Musa Al-Atsari Lc, dari situs
sahab.net. Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya, Alamat Jl Sidotopo
Kidul No. 51 Surabaya]
No comments:
Post a Comment