Wednesday 11 December 2013

Ayat-Ayat Al-Quran & Hadith-Hadith Yang Melarang Berzikir Dengan Suara Yang Kuat

October 28, 2013 at 10:20pm
Ayat al-Quran Yang Melarang Mengeraskan Zikir :

1- Surah Al A'raf, ayat 205

Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah.

2- Surah Al A'raf, ayat 55

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

3- Surah Al Isra', ayat 110

Katakanlah (Muhammad), "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahmaan. Dengan nama Allah yang mana saja kamu dapat menyeru, kerana Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (Asmaa'ul Husnaa) dan janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam solat dan janganlah pula merendahkannya dan usahakan jalan tengah di antara kedua itu.

Hadith-Hadith Yang Melarang Berzikir Dengan Suara Yang Kuat :

Imam al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahawa Abu Musa al-Anshari berkata:

Kami pernah bersama-sama Nabi di dalam satu ekspedisi apabila ada beberapa orang yang menyebut "Allahu Akbar" dengan suara yang kuat. Mendengar itu, Nabi menegur mereka dengan berkata:

أيها النس اربعوا على أنفسكم انكم ليس تدعون أصم ولا ئبا. انكم تدعون سميعا قريبا وهو معكم.

Wahai manusia! Kasihanilah diri kamu kerana bukanlah kamu menyeru (berdoa) kepada Dzat yang pekak lagi jauh. Sesungguhnya kamu menyeru kepada Dzat yang Maha Mendengar lagi dekat bersama kamu. - Shahih al-Bukhari (no. 2830).

Dalam hadis yang lain, Imam Malik telah meriwayatkan bahawa al-Bayadhiyyi telah berkata:

أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ خَرَجَ عَلَى النَّاسِ وَهُمْ يُصَلُّو نَ وَقَدْ عَلَتْ أَصْوَا تُهُمْ بِالْقِرَاءَةِ فَقَالَ: أَنَّ الْمُصَلِّي يُنَا جِيْ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يُنَاجِيْهِ وَلاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَىَ بَعْضٍ بِالْقِرْ آنِ.

Bahawa Rasulullah pada suatu ketika keluar kepada orang ramai. Didapatinya ramai orang bersolat dan ramai pula yang mengeraskan (meninggikan) suara mereka dalam membaca al-Qur’an. (Melihat yang demikian) Maka Rasulullah bersabda: Sesungguhnya orang yang sedang bersolat itu sedang munajat atau berkomunikasi dengan Tuhannya ‘Azza wa Jalla, maka seharusnya dia mengetahui apa yang diperkatakannya itu! Dan janganlah pula sebahagian kamu mengeraskan suara melebihi yang lainnya dalam membaca al-Qur'an. - Musnad Ahmad (no. 19022).

Dalam riwayat Abu Daud (no. 1332) ada disebutkan:

أعْتَكَفَ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهِ عَلَيْهْ وَسَلَّمْ فِيْ الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُوْنَ بِا الْقِرَاءِة فَكَشَفَ السِّتْرَ وَقَالَ أَلاَّ اِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَىَ بَعْضٍ فِيْ الْقِرَاءِةِ أَوْ قَالَ فِيْ الصًّلاَةِ.

Rasulullah memerhatikan orang-orang yang beriktikaf di masjid dan baginda mendengar mereka menguatkan suara mereka sewaktu membaca al-Qur'an. Baginda menyelak kain langsir dan berkata: Setiap daripada kamu sedang berkomunikasi dengan Tuhannya. Janganlah sebahagian daripada kamu mengganggu yang lainnya. Janganlah kamu menguatkan suara kamu melebihi yang lainnya sewaktu membaca al-Qur'an atau ketika kamu sedang solat. ~ Cikgu Mohd Hairi Nonchi

LARANGAN MENGAMBIL ILMU DARI AHLI BID'AH




Diriwayatkan dari Abu Umayyah al-Jumahi radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya salah satu tanda dekatnya hari Kiamat adalah ilmu diambil dari kaum ashaaghir (ahli bid'ah)*.”

* Ibnul Mubarak berkata dalam kitab az-Zuhd (hal. 21 dan 281): "Yang dimaksud kaum ashaaghir adalah ahli bid'ah."

[Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam kitab az-Zuhd (61), dari jalur tersebut al-Lalika-i meriwayatkannya dalam kitab Syarah Usbuul I'tiqaad Ahlis Sunnah (102), ath-Thabrani dalam al-Kabiir (XXII/908 dan 299), al-Harawi dalam kitab Dzammul Kalaam (11/137), al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih (11/79), Ibnu 'Abdil Barr dalam kitab Jaami’ Bayaanil 'llm (1052) dan lainnya dari jalur Ibnu Luhai'ah, dari Bakr bin Sawadah, dari Abu Umayyah. Saya (Syaikh Salim) katakan: "Sanadnya shahih shahih, karena riwayat al-'Abadillah dari Ibnu Luhai'ah adalah riwayat shahih. Adapun perkataan al-Haitsami dalam Majma'uz Zawaa-id (I/1365) yang mendha'ifkan Ibnu Luhai'ah tidaklah tepat."]

Ditambah lagi Ibnu Luhai'ah tidak tersendiri dalam meriwayatkan hadits ini, ia telah diikuti oleh Sa'id bin Abi Ayyub yang dikeluarkan oleh al-Khathib al-Bagdadi dalam al-Jaami' li Akhlaaqir Raawi wa Adaabis Saami' (I/137). Sa'id adalah perawi tsiqah.

Ada dua penyerta lain lagi bagi hadits ini:

Pertama:

Diriwayatkan dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, bahwa ia berkata:

"Manusia senantiasa shalih dan berpegang kepada yang baik selama ilmu datang kepada mereka dari Sahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan dari orang-orang yang berilmu dari mereka. Jika ilmu datang kepada mereka dari kaum ashaaghir maka mereka akan binasa."

[Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak (815), 'Abdurrazaq (XI/246), Abu Nu'aim dalam al-Hilyah (VIII/49) dan al-Lalikai dalam Syarh Ushuul I'tiqaad Ahlis Sunnah (101)]. Saya katakan: "Sanad hadits tersebut shahih."

Kedua:

Diriwayatkan dari Salman al-Farisi radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

"Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama generasi pertama masih tersisa dan generasi berikut menimba ilmu dari mereka. Jika generasi pertama telah berlalu sebelum generasi berikut menimba ilmu dari mereka, maka manusia akan binasa."

[Diriwayatkan oleh ad-Darimi (I/78-79) dan Ahmad dalam kitab az-Zuhd (hal. 189) melalui dua jalur dari Salman.

Kedua hadits ini memiliki hukum marfu', sebab perkara di atas termasuk salah satu tanda hari Kiamat yang tidak dapat dikatakan atas dasar logika dan ijtihad. Wallahu a'lam.

KANDUNGAN BAB:

1. Kaum ashaaghir adalah ahli bid'ah dan pengikut hawa nafsu yang berani mengeluarkan fatwa meski mereka tidak memiliki ilmu. Hal ini telah diisyaratkan dalam hadits yang berbicara tentang terangkatnya ilmu.

2. Ulama adalah kaum Akaabir meskipun usia mereka muda usia. Ibnu 'Abdil Barr berkata dalam kitab Jaami'Bayaanil’llm, "Orang jahil itu kecil, meskipun usianya tua. Orang alim itu besar meskipun usianya muda." Lalu ia membawakan sebuah sya'ir, "Tuntutlah ilmu, karena tidak ada seorangpun yang lahir langsung jadi ulama. Sesungguhnya orang alim tidaklah sama dengan orang jahil. Sesepuh satu kaum yang tidak punya ilmu Akan menjadi kecil bila orang-orang melihat kepadanya."

3. Ilmu adalah yang bersumber dari Sahabat radhiyallahu 'anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka. Itulah ilmu yang berguna. Jika tidak demikian, maka pemiliknya akan binasa karenanya. Dan pemiliknya tidak akan menjadi imam, tidak menjadi orang dipercaya dan diridhai.

4. Para penuntut ilmu harus mengambil ilmu dari orang-orang yang bertakwa, shalih dan mengikuti Salafush Shalih. Sebab, keberkatan selalu bersama mereka. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Keberkahan selalu bersama kaum akaabir (ahli ilmu) kalian."

[HR Ibnu Hibban (955), al-Qadha’i dalam Musnad asy-Syihab (36-37), al-Hakim (I/62), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (VIII/171-172), al-Khathib al-Baghdadi dalam Taarikh Baghdaad (XI/165), al-Bazzar dalam Musnadnya (1957) dan lainnya melalui beberapa jalur dari 'Abdullah bin al-Mubarak, dari Khalid al-Hadzdza', dari 'Ikrimah, dari 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhu. Saya katakan: "Sanadnya shahih].

5. Ulama Salaf terdahulu telah mengisyaratkan keterangan ini yang dapat menyelamatkan kita dari kejahilan dan menjaga kita dari kesesatan.

Seorang tabi'in yang mulia, Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, "Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka lihatlah dari siapa engkau mengambil agamamu!" [HR Muslim dalam Muqaddimah Shahiihnya (1/14) dengan sanad shahih].

Sebab, ilmu ini hanya dibawa oleh orang-orang yang terpercaya, maka selayaknya diambil dari mereka. Sebagaimana dikatakan oleh Abu Musa 'lsa bin Shabih, Telah diriwayatkan sebuah hadits shahih dari Rasululah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ilmu ini akan dibawa oleh orang-orang terpercaya dari setiap generasi. Mereka akan meluruskan penyimpangan kaum yang melampaui batas, takwil orang-orang jahil dan pemalsuan ahli bathil. Ilmu ini hanya layak disandang oleh orang-orang yang memiliki karakter dan sifat seperti itu." (Al-Jaami' li Akhlaaqir Raawi wa Adaabis Saami' [1/129]).

Oleh karena itu pula harus dibedakan antara ulama Ahlus Sunnah dengan ahli bid'ah, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Muhammad bin Siirin rahimahullah:

"Dahulu, orang-orang tidak bertanya tentang sanad. Namun setelah terjadi fitnah (munculnya bid'ah), mereka berkata, 'Sebutkanlah perawi-perawi kalian!' Jika perawi tersebut Ahlus Sunnah, maka mereka ambil haditsnya. Dan jika ahli bid'ah, maka tidak akan mereka ambil haditsnya." [HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahiihnya (1/15) dengan sanad shahih].

Demikian pula harus dilihat spesialisasi tiap-tiap orang dan mengambil pendapatnya dalam bidang yang sudah menjadi spesialisasinya. Sebab setiap ilmu memiliki tokoh-tokoh tersendiri, mereka dikenal dengan ilmu tersebut dan ilmu tersebut dapat diketahui melalui mereka.

Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata:

"Sesungguhnya, ilmu ini adalah agama, maka periksalah dari siapa engkau mengambil ajaran agamamu. Aku sudah bertemu tujuh puluh orang yang mengatakan, fulan berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaiahi wa sallam bersabda di tiang masjid ini -beliau menunjuk Masjid Nabawi namun aku tidak mengambil satu pun hadits dari mereka.- Sesungguhnya, ada beberapa orang dari mereka yang apabila diberi amanat harta, maka ia akan memelihara amanat tersebut. Akan tetapi mereka bukanlah orang-orang yang ahli dalam bidang ini. Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin Syihab pernah datang ke sini, lalu mereka berkerumun di depan pintunya." [Lihat kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih (11/98)].

Para ahli ilmu telah mengingatkan hal ini dalam tulisan-tulisan mereka. Tujuannya untuk melindungi generasi mendatang agar tidak terpengaruh oleh klaim-klaim dari orang-orang yang bertambah subur tanaman mereka di tanah yang tandus. Yakni orang-orang yang ingin mencuat sebelum matang, ingin muncul sebelum tiba waktunya!

Mereka berkoar-koar di majelis-majelis ilmu, sibuk mengeluarkan fatwa dan sibuk mengarang buku. Mereka mendesak naik ke puncak yang telah ditempati oleh para ulama terlebih dulu. Mereka menempatinya untuk merubuhkan batas-batas pemisahnya dan mengurai jalinannya.

Aksi mereka bertambah gila lagi dengan berdatangannya orang-orang awam dan orang-orang yang setipe dengannya ke majelis-majelis mereka dengan perasaan takjub, amat girang menyimak cerita-cerita kosong mereka.

Al-Khathib al-Baghdaadi berkata dalam kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih (11/960), "Seorang penuntut ilmu seharusnya menimba ilmu dari ahli fiqih yang terkenal kuat memegang agama, dikenal shalih dan menjaga kesucian diri."

Kemudian ia mengatakan: "Dan hendaknya ia juga harus menghiasi diri dengan etika-etika ilmu, seperti sabar, santun, tawadhu' terhadap sesama penuntut ilmu, bersikap lembut kepada sesama, rendah hati, penuh toleransi kepada teman, mengatakan yang benar, memberi nasihat kepada orang lain dan sifat-sifat terpuji lainnya."

Dalam kitabnya yang langka, yakni al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi wa Aadaabis Saami' (1/126-127), beliau telah menulis beberapa pasal. Kami akan menyebutkan inti dari pasal-pasal tersebut:

1. Tingkatan keilmuan para perawi tidaklah sama, harus didahulukan mendengar riwayat dari perawi yang memiliki sanad 'Ali (lebih dekat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika sanad para perawi tersebut sama dalam hal ini, sedang ia ingin mengambil sebagian saja dari sanad-sanad tersebut, maka hendaklah ia memilih perawi yang lebih populer dalam bidang hadits, yang dikenal ahli dan menguasai ilmu ini.

2. Jika para perawi tersebut juga sama dalam kedua hal tersebut, maka hendaklah memilih perawi yang memiliki nasab dan silsilah yang lebih mulia. Riwayatnyalah yang lebih layak disimak.

3. Hal itu semua berlaku bila para perawi itu telah memenuhi kriteria lain, seperti istiqamah di atas manhaj Salafush Shalih, terpercaya dan terhindar dari bid'ah. Adapun perawi yang tidak memenuhi kriteria di atas, maka harus dijauhi dan jangan menyimak riwayat darinya.

4. Para ulama telah sepakat bahwa tidak boleh mendengar riwayat dari perawi yang telah terbukti kefasikannya. Seorang perawi dapat disebut fasik karena banyak perkara, tidak hanya karena perkara yang berkaitan dengan hadits. Adapun yang berkaitan dengan hadits misalnya memalsukan matan hadits atas nama Rasulullah saw. atau membuat-buat sanad-sanad atau matan-matan palsu. Bahkan katanya, alasan diadakannya pemeriksaan terhadap para perawi awalnya adalah disebabkan perkara di atas.

5. Di antara para perawi itu ada yang mengaku telah mendengar dari syaikh yang belum pernah ditemuinya. Karena itulah para ulama mencatat tarikh kelahiran dan kematian para perawi. Ditemukanlah riwayat-riwayat sejumlah perawi dari syaikh-syaikh yang tidak mungkin bertemu dengan mereka karena keterpautan usia yang sangat jauh.

6. Ulama ahli hadits juga menyebutkan sifat-sifat ulama dan kriteria mereka. Dengan demikian banyak sekali terbongkar kedok sejumlah perawi.

7. Jika perawi tersebut terlepas dari tuduhan memalsukan hadits, terlepas dari tuduhan meriwayatkan hadits dari syaikh yang belum pernah ditemuinya dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang dapat menjatuhkan kehormatannya, hanya saja ia tidak memiliki kitab riwayat yang didengarnya itu dan hanya beipatokan kepada hafalannya dalam menyampaikan hadits, maka tidak boleh mengambil haditsnya hingga para ulama ahli hadits merekomendasikannya dan menyatakan ia termasuk dalam deretan penuntut ilmu yang memiliki perhatian kepada ilmu, memelihara dan menghafalnya dan telah diuji kualitas hafalannya dengan mengajukan hadits-hadits yang terbolak-balik kepadanya.

Jika perawi itu termasuk pengikut hawa nafsu dan pengikut madzhab yang menyelisihi kebenaran, maka tidak boleh mendengar riwayatnya, meskipun ia dikenal memiliki banyak ilmu dan kuat hafalannya.

Seorang penuntut ilmu syar'i harus mengetahui hakikat sebenarnya. la harus tahu dari siapa ia mengambil ajaran agamanya. Janganlah ia mengambil ilmu dari ahli bid'ah, karena mereka akan membuatnya sesat sedang ia tidak menyadarinya.

Semoga bermanfaat....

-Sahabatmu-
Abu Muhammad Herman

(Disalin dari kitab Ensiklopedi Larangan Jilid I, cet.Kedua, Muharram 1426 H/Februari 2005 M, hal. 219-224, Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali hafizhahullah)
[respon terhadap pelakuan beberapa ikhwan yg mengharuskan ucapan christman kdp non muslim]

Tanda seseorang mengikuti hawa nafsunya ialah meninggalkan perkataan dan amalan sahabat.. Tidak akan menjadi baik sesuatu amalan melainkan apa2 amalan yg telah dianggap baik pula oleh pada sahabat nabi.. Kerana merekalah satu kaum yg paling mengenal wahyu dan syariat ISLAM yg dibawa oleh nabi, paling adil dan amanah dlm melaksanakan ketetapan agama, paling sedikit dosa dan kesalahan mereka.. Di sisi yg lain kebaikkan kita dlm berinfaq EMAS sebesar Gunung Uhud sekalipun tdk akan menyamai kebaikan para sahabat nabi sebesar satu cupak atau setengah drnya.

Apa lagi jika kita menunjuk pandai utk berkata ini "amalan yg baik" ibarat lebih kuah dr sudu... Celakalah org2 yg selalu meninggalkan petunjuk sahabat..!!

elakkan berdebat

ASIHAT KEPADA RAKAN2 YG SUKA BERJIDAL

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits:

مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ: مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ

“Tidak ada satu kaum yang tersesat setelah mendapat petunjuk, melainkan karena mereka suka berjidal (debat untuk membantah).” Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membaca ayat: “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar. [Az-Zuhruf: 58]”

- [HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad].

attaqwa dan wara'

AT-TAQWA DAN WARA’

📌 Berkata Al-Imam Daqiiqul ‘Iid ~rahimahullaahu Ta’ala~:

“Tidaklah saya berbicara satu kata, dan mengerjakan satu perbuatan, kecuali saya telah mmpersiapkan bginya jawaban dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla”.

📋 Thobaqaat asy Syaafi’iyyah al Kubraa, (9/212).

🔸🔸🔸

📌 Ditanya Asy-Syaikh Rabi’ Al-Madkhaliy ~hafizhahullaah~:

Apakah disyaratkan di dalam JARH ahlul bida’ kesepakatan ‘ulama di zaman tersebut atau cukup seorang ‘Alim saja?!!!.

Jawaban:

🔗 “Ini adalah merupakan kaedah2 basa basi yang jelek ~baarakallahu fikum~ di masa kapan mereka mnsyaratkan ijma’ seperti ini? Dan mana dalil yang menunjukkan syarat ini?
🔗 Apabila Al-Imam Ahmad bin Hanbal atau Yahya ibnu Ma’iin JARH (mengeritik) seorang mubtadi’,” saya katakan, “Wajib bagi dia mengumpulkan imam2 As-Sunnah di dunia seluruhnya untuk mengatakan si fulan ini mubtadi’!!!
🔗 Apabila datang 2 orang saksi atas si fulan bahwa dia membunuh, kenapa kita tidak mensyaratkan harus ijma’ dulu ummat atas bahwa dia telah membunuh?

✔ Apabila datang seorang ‘Alim dengan JARH yang terperinci, dan menyelisihinya dua puluh orang, atau lima puluh orang ‘alim, yang tidak ada pada mereka dalil2, tidak ada pada mereka kecuali hanya baik sangka saja dan menghukum zhohirnya, sementara seorang ‘Alim tadi memiliki dalil2 ketika menJARH lelaki tadi, maka sesungguhnya didahulukan JARH dia; karena yang menJARH (pengeritik) ada hujjah, sedangkan hujjah (dalil) itulah yang didahulukn, dan kadang2 hujjah didahulukan walaupun menyelisihinya seluruh penduduk bumi.”

📋 Dari kaset Al-Manhaj At-Tamyii’ dan Qawaaidnya.

berhati-hati dalam menyampai ilmu?

Bismillaah.

Yg bakal menimbulkan FITNAH yg lebih besar tentunya apabila sebuah KESALAHAN ITU TELAH MENYEBAR dan IA SUDAH DIANGGAP SEBUAH KEBENARAN.

~Nas'alullah assalaamah wal 'aafiyah~

Maka pertimbangan maslahat dan mafsadah adalah kita tdk MENGABAIKAN/MEMBIARKAN WALAU SATU KESALAHAN, melainkan ia wajib diluruskan oleh org2 yg memiliki KEILMUAN ttgnya.

Jika seorang yg ‘alim telah menjelaskan Al-Haq tentangnya, maka itu sudah merupakan ILMU dan maslahatnya adalah utk keumuman kaum muslimin.

Wallahu a'lam.

Siapa ahlussunnah?

Pengiktirafan ahlu sunnah wal jama'ah bukan sekadar mengaku di mulut. Amalan dan cara hidup itu yang menjadi ukuran.. Mana mungkin kita mengatakan seseorang terkeluar dari akidah ahlu sunnah sedangkan cara hidup kita sendiri tidak kena dengan pegangan ahlu sunnah itu sendiri. Andai masih bercampur antara agama dan sekular dalam kehidupan,usah menuding jari pada orang.Tegakkan agama secara ikhlas dan amanah ilmu bukan kerana kepentingan tertentu.

syiar Islam

Syiar Islam

Penegakkan Syiar Islam bermula dari bawah setahap demi setahap.

Dengan ilmu dan sabar dalam mengamalkanya serta berdakwah.

Tidak akan tertegak negara ahlus sunnah melainkan dengan meng-ahlus-sunnah kan diri dan masyarakat berpandukan aqidah dan ilmu yang benar.

Tentang bacaan yasin

Ahlus Sunnah Manhaj Salaf tidak pernah sama sekali menghalang atau mengharamkan mana-mana individu yang membaca surah yasin pada khamis malam jumaat.

Bagaimana mungkin membaca surah yasin hukumnya haram sedangkan ia adalah sebahagian surah dari ayat al quran.

Tetapi pendirian ahlus sunnah bahawa mereka yang membaca surah yasin pada khamis malam jumaat adalah bidaah kerana tiada contoh serta perbuatan dari nabi.

 menetapkan sesuatu ikhtiqad pada bacaan tertentu, pada waktu yang tertentu, dengan khaifiat yang tertentu, dan juga dengan kiraan yang tertentu tanpa didasari daripada petunjuk Nabi Shalallahu 'alaihi wa Sallam dan juga para sahabat Radhiyallahu 'anhum ajma'in. itulah yang menyebabkan amalan kita termasuk dalam Bid'ah.

cukuplah Ittiba' (petunjuk Nabi) wa ikhlas (karna Allah semata tanpa mempersekutukan-Nya) menjadi prinsip asas amal ibadah kita.

wallahu'alam.