Monday 31 December 2012

Yang Ada Hanyalah Berkurangnya Umur

Yang Ada Hanyalah Berkurangnya Umur

Tidak ada awal dan akhir tahun, yang ada hanyalah umur yang semakin berkurang. Kenapa sebagian orang lebih girang menyambut awal tahun? Padahal ulama dahulu begitu sedih jika makin hari terus dilewati, di mana ajal semakin dekat. Bahkan mereka -para salaf- sampai bersedih jika waktunya berlalu tanpa amal sholih. Yang mereka terus pikirkan adalah ajal yang semakin dekat, namun amal sholih yang masih kurang.

Tanda Kebaikan Islam: Meninggalkan Hal yang Tidak Bermanfaat

Menunggu satu waktu saja tanpa amalan, itu sudah membuang-buang waktu. Karena ingatlah saudaraku bahwa waktu itu amat berharga bagi seorang muslim. Jika ia benar-benar menjaganya dalam ketaatan pada Allah atau dalam hal yang bermanfaat, itu menunjukkan kebaikan dirinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

“Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat” (HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Jika Islam seseorang itu baik, maka sudah barang tentu ia meninggalkan pula perkara yang haram, yang syubhat dan perkata yang makruh, begitu pula berlebihan dalam hal mubah yang sebenarnya ia tidak butuh. Meninggalkan hal yang tidak bermanfaat semisal itu menunjukkan baiknya seorang muslim. Demikian perkataan Ibnu Rajab Al Hambali yang kami olah secara bebas (Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 289).

Jika kita menyia-nyiakan waktu, itu tanda Allah melupakan kita. ‘Arif Al Yamani berkata,

إن من إعراض الله عن العبد أن يشغله بما لا ينفعه

“Di antara tanda Allah berpaling dari seorang hamba, Allah menjadikannya sibuk dalam hal yang sia-sia.” (Hilyatul Awliya’, 10: 134).

Waktu itu Begitu Berharga, Wahai Saudaraku

Waktu amat berharga, wahai saudaraku. Ia tidak mungkin kan kembali setelah berlalu pergi.

الوقت أنفاس لا تعود

“Waktu adalah nafas yang tidak mungkin akan kembali.”

Syaikh ‘Abdul Malik Al Qosim berkata, “Waktu yang sedikit adalah harta berharga bagi seorang muslim di dunia ini. Waktu adalah nafas yang terbatas dan hari-hari yang dapat terhitung. Jika waktu yang sedikit itu yang hanya sesaat atau beberapa jam bisa berbuah kebaikan, maka ia sangat beruntung. Sebaliknya jika waktu disia-siakan dan dilalaikan, maka sungguh ia benar-benar merugi. Dan namanya waktu yang berlalu tidak mungkin kembali selamanya.” (Lihat risalah “Al Waqtu Anfas Laa Ta’ud”, hal. 3)

Tanda waktu itu begitu berharga bagi seorang muslim karena kelak ia akan ditanya, di mana waktu tersebut dihabiskan,

لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ

“Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana ia infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi no. 2417, dari Abi Barzah Al Aslami. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Menyia-nyiakan waktu hanya untuk menunggu-nunggu pergantian waktu, itu sebenarnya lebih parah dari kematian. Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Al Fawa-id berkata,

اِضَاعَةُ الوَقْتِ اَشَدُّ مِنَ الموْتِ لِاَنَّ اِضَاعَةَ الوَقْتِ تَقْطَعُكَ عَنِ اللهِ وَالدَّارِ الآخِرَةِ وَالموْتِ يَقْطَعُكَ عَنِ الدُّنْيَا وَاَهْلِهَا

“Menyia-nyiakan waktu itu lebih parah dari kematian. Karena menyia-nyiakan waktu memutuskanmu dari (mengingat) Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanya memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”

Imam Syafi’i pernah mendapat nasehat dari seorang sufi,

الوقت كالسيف فإن قطعته وإلا قطعك، ونفسك إن لم تشغلها بالحق وإلا شغلتك بالباطل

“Waktu laksana pedang. Jika engkau tidak menggunakannya, maka ia yang malah akan menebasmu. Dan dirimu jika tidak tersibukkan dalam kebaikan, pasti akan tersibukkan dalam hal yang sia-sia.” Lihat Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim, 3: 129.

Mereka Selalu Menyesal Jika Waktu Berlalu Sia-Sia, Sedangkan Kita?

Basyr bin Al Harits berkata,

مررت برجل من العُبَّاد بالبصرة وهو يبكي فقلت ما يُبكيك فقال أبكي على ما فرطت من عمري وعلى يومٍ مضى من أجلي لم يتبين فيه عملي

“Aku pernah melewati seorang ahli ibadah di Bashroh dan ia sedang menangis. Aku bertanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?” Ia menjawab, “Aku menangis karena umur yang luput dariku dan atas hari yang telah berlalu, semakin dekat pula ajalku, namun belum jelas juga amalku.” (Mujalasah wa Jawahir Al ‘Ilm, 1: 46, Asy Syamilah).

Jangan Jadi Orang yang Menyesal Kelak

Sebagian orang kegirangan jikalau ia diberi waktu yang panjang di dunia. Bahkan inilah harapan ketika nyawanya telah dicabut, ia ingin kembali di dunia untuk dipanjangkan umurnya supaya bisa beramal sholih. Orang-orang seperti inilah yang menyesal di akhirat kelak, semoga kita tidak termasuk orang-orang semacam itu. Allah Ta’ala berfirman,

حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

“Hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia). Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan” (QS. Al Mu’minun: 99-100).

Ketika orang kafir masuk ke neraka, mereka berharap keluar dan kembali ke dunia dan dipanjangkan umur supaya mereka bisa beramal. Allah Ta’ala berfirman,

وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَا أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ فَذُوقُوا فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ

“Dan mereka berteriak di dalam neraka itu : "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan". Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun.” (QS. Fathir: 37).

Dalam ayat lainnya disebutkan pula,

وَلَوْ تَرَى إِذِ الْمُجْرِمُونَ نَاكِسُو رُءُوسِهِمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ رَبَّنَا أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا إِنَّا مُوقِنُونَ

“Dan, jika sekiranya kamu melihat mereka ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): "Ya Rabb kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin."” (QS. As Sajdah: 12).

وَتَرَى الظَّالِمِينَ لَمَّا رَأَوُا الْعَذَابَ يَقُولُونَ هَلْ إِلَى مَرَدٍّ مِنْ سَبِيلٍ

“Dan kamu akan melihat orang-orang yang zalim ketika mereka melihat azab berkata: "Adakah kiranya jalan untuk kembali (ke dunia)?"” (QS. Asy Syura: 44).

قَالُوا رَبَّنَا أَمَتَّنَا اثْنَتَيْنِ وَأَحْيَيْتَنَا اثْنَتَيْنِ فَاعْتَرَفْنَا بِذُنُوبِنَا فَهَلْ إِلَى خُرُوجٍ مِنْ سَبِيلٍ ذَلِكُمْ بِأَنَّهُ إِذَا دُعِيَ اللَّهُ وَحْدَهُ كَفَرْتُمْ وَإِنْ يُشْرَكْ بِهِ تُؤْمِنُوا فَالْحُكْمُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِيرِ

“Mereka menjawab: "Ya Tuhan kami Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka adakah sesuatu jalan (bagi kami) untuk keluar (dari neraka)?" Yang demikian itu adalah karena kamu kafir apabila Allah saja disembah. Dan kamu percaya apabila Allah dipersekutukan. Maka putusan (sekarang ini) adalah pada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Ghafir: 11-12).

Qotadah mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang dalam hal yang sia-sia.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 553, pada tafsir surat Fathir ayat 37)

Renungkan: Umurmu yang Berkurang

Tidak ada awal dan akhir tahun, yang ada hanyalah umur yang semakin berkurang. Mengapa kita selalu berpikir bahwa umur kita bertambah, namun tidak memikirkan ajar semakin dekat? Benar kata Al Hasan Al Bashri, seorang tabi’in terkemuka yang menasehati kita agar bisa merenungkan bahwa semakin bertambah tahun, semakin bertambah hari, itu berarti berkurangnya umur kita setiap saat.

Hasan Al Bashri mengatakan,

ابن آدم إنما أنت أيام كلما ذهب يوم ذهب بعضك

“Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanyalah kumpulan hari. Tatkala satu hari itu hilang, maka akan hilang pula sebagian dirimu.” (Hilyatul Awliya’, 2: 148)

Al Hasan Al Bashri juga pernah berkata,

لم يزل الليلُ والنهار سريعين في نقص الأعمار ، وتقريبِ الآجال

“Malam dan siang akan terus berlalu dengan cepat dan umur pun berkurang, ajal (kematian) pun semakin dekat.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 383).

Semisal perkataan Al Hasan Al Bashri juga dikatakan oleh Al Fudhail bin ‘Iyadh. Beliau rahimahullah berkata pada seseorang, “Berapa umurmu sampai saat ini?” “Enam puluh tahun”, jawabnya. Fudhail berkata, “Itu berarti setelah 60 tahun, engkau akan menghadap Rabbmu.” Pria itu berkata, “Inna lillah wa inna ilaihi rooji’un.” “Apa engkau tidak memahami maksud kalimat itu?”, tanya Fudhail. Lantas Fudhail berkata, “Maksud perkataanmu tadi adalah sesungguhnya kita adalah hamba yang akan kembali pada Allah. Siapa yang yakin dia adalah hamba Allah, maka ia pasti akan kembali pada-Nya. Jadi pada Allah-lah tempat terakhir kita kembali. Jika tahu kita akan kembali pada Allah, maka pasti kita akan ditanya. Kalau tahu kita akan ditanya, maka siapkanlah jawaban untuk pertanyaan tersebut.” Lihat percakapan Fudhail ini dalam Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 383.

Jadi sungguh keliru, jika sebagian kita malah merayakan ulang tahun karena kita merasa telah bertambahnya umur. Seharusnya yang kita rasakan adalah umur kita semakin berkurang, lalu kita renungkan bagaimanakah amal kita selama hidup ini?

Bukankah yang Islam ajarkan, kita jangan hanya menunggu waktu, namun beramallah demi persiapan bekal untuk akhirat. Ibnu ‘Umar pernah berkata,

إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ

“Jika engkau berada di sore hari, maka janganlah menunggu waktu pagi. Jika engkau berada di waktu pagi, janganlah menunggu sore. Isilah waktu sehatmu sebelum datang sakitmu, dan isilah masa hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Bukhari no. 6416). Hadits ini mengajarkan untuk tidak panjang angan-angan, bahwa hidup kita tidak lama.

‘Aun bin ‘Abdullah berkata, “Sikapilah bahwa besok adalah ajalmu. Karena begitu banyak orang yang menemui hari besok, ia malah tidak bisa menyempurnakannya. Begitu banyak orang yang berangan-angan panjang umur, ia malah tidak bisa menemui hari esok. Seharusnya ketika engkau mengingat kematian, engkau akan benci terhadap sikap panjang angan-angan.” ‘Aun juga berkata,

إنَّ من أنفع أيام المؤمن له في الدنيا ما ظن أنَّه لا يدرك آخره

“Sesungguhnya hari yang bermanfaat bagi seorang mukmin di dunia adalah ia merasa bahwa hari besok sulit ia temui.” Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 385.

Di Balik Menunggu Pergantian Tahun

Setelah kita merenungkan berbagai nasehat di atas, moga yang berhati lembut bisa sadar bahwa waktu itu begitu berharga walau 1 detik saja. Namun coba lihatlah perayaan tahun baru yang dirayakan kaum muslimin saat ini, sungguh menyia-nyiakan waktu dan umurnya sendiri. Kadang yang wajib seperti shalat ditinggalkan hanya karena bela-belain menunggu pergantian tahun. Kadang pula di awal tahun malah diisi dengan maksiat dan penghamburan harta. Seharusnya yang dipikirkan adalah bukannya datangnya pergantian tahun atau bertambahnya umur. Yang mesti dipikirkan adalah umur kita senyatanya semakin berkurang, sehingga seharusnya amal sholih yang harus kita tingkatkan. Inilah yang lebih urgent.

Kalau kita yakin umur kita berkurang, waktu ajal kita semakin dekat, lantas apa gunanya merayakan [?]

Intinya, perayaan tahun baru punya berbagai sisi kerusakan di antaranya:

1- Merayakan perayaan non-muslim karena perayaan ini tidak pernah ada dalam Islam.

2- Mengikuti budaya orang kafir.

3- Berbagai maksiat dan bid’ah yang muncul saat perayaan tahun baru.

4- Meremehkan shalat lima waktu karena sibuk begadang.

5- Begadang untuk menunggu pergantian tahun pun sia-sia.

6- Seringnya mengganggu kaum muslim dengan petasan dan semacamnya.

7- Meniru perbuatan setan dengan bersikap boros.

Mengenai kerusakan dalam perayaan tahun baru di atas telah diuraikan di artikel Rumaysho.com: 10 Kerusakan dalam Perayaan Tahun Baru.

Semoga menjadi nasehat berharga bagi kita semua. Wallahu waliyyut taufiq. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.



@ Maktabah Al Amir Salman, KSU, Riyadh-KSA, 17 Shafar 1434 H

Mampu Menggauli 100 Bidadari

Mampu Menggauli 100 Bidadari

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ , هَلْ نَصِلُ إِلَى نِسَائِنَا فِي الْجَنَّةِ؟ فَقَالَ: «إِنَّ الرَّجُلَ لَيَصِلُ فِي الْيَوْمِ إِلَى مِائَةِ عَذْرَاءَ»
Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, ia berkata: diantara para sahabat ada yang bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apakah kami akan bertemu dengan istri kami kelak di surga?’. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: “Seorang lelaki dalam sehari akan bertemu (baca:berjima’) dengan 100 bidadari” (HR. Al Bazzar dalam Musnad-nya 3525, Abu Nu’aim dalam Shifatul Jannah 169, Ath Thabrani dalam As Shaghir, 2/12)
Dalam riwayat lain:
قيل : يا رسول الله هل نفضي إلى نسائنا في الجنة ؟ قال : إن الرجل ليفضي في اليوم إلى مائة عذراء
Wahai Rasulullah, apakah kami akan berjima’ dengan istri-istri kami di surga kelak? Sungguh seorang lelaki dalam sehari akan berjima’ dengan 100 bidadari


Derajat Hadits
Al Hafidz Ibnu Katsir men-shahih-kan hadits ini (Tafsir Ibni Katsir, 3/292). Al Maqdisi berkata: “Menurutku, semua perawinya tsiqah sesuai dengan syarat hadits shahih”. Al Albani berkata: “Aku sependapat dengan Al Hafidz Ibnu Katsir, dan itulah yang benar. Sanad hadits ini shahih dan kami tidak mengetahui adanya catat di dalamnya. Namun memang Abu Hatim dan Abu Zur’ah memiliki pandangan berbeda” (Silsilah Ahadits Shahihah, 1/708)
Faidah Hadits
  1. Adanya surga dan kenikmatan di dalamnya
  2. Adanya bidadari di surga
  3. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengetahui sebagian perkara gaib, sebatas yang dikabarkan oleh Allah kepada beliau.
  4. Salah satu kenikmatan surga adalah seorang lelaki memiliki kekuatan menggauli 100 wanita dalam sehari. Sebagaimana dalam hadits lain:
    إن الرجل من أهل الجنة يعطى قوة مائة رجل في الأكل والشرب والشهوة والجماع
    Sungguh seorang lelaki penduduk surga diberi kekuatan sebagaimana 100 orang lelaki, dalam hal makan, minum, syahwat dan jima’“(HR. Ahmad no.18509. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Mawarid 2230)
  5. Andai 100 wanita digauli dalam sehari maka tentu lelaki penghuni surga  tersebut sangat sibuk. Demikianlah salah satu kesibukan penduduk surga. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:
    إِنَّ أَصْحَابَ الْجَنَّةِ الْيَوْمَ فِي شُغُلٍ فَاكِهُونَ
    Sungguh para penduduk surga itu dalam kesibukan yang menyenangkan” (QS. Yasin: 55)
    Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Sa’id bin Musayyib, Ikrimah, Al Hasan Al Bashri, Qatadah, Al A’masy, Sulaiman At Taimi, Al Auza’i semuanya menafsirkan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah mereka sibuk menggauli para perawan. (Tafsir Ibni Katsir, 6/582)
  6. Istri shalihah di dunia akan menjadi istri di surga kelak bagi lelaki shalih. Jika seorang lelaki pernah menikah beberapa kali atau ia berpoligami, maka semua istrinya di dunia akan menjadi istrinya di surga kelak. Sedangkan bila seorang wanita pernah menikah beberapa kali di dunia, maka lelaki yang menjadi suaminya adalah yang terakhir. Sebagaimana hadits:
    أن حذيفة قال لزوجته: إن شئت تكوني زوجتي في الجنة فلا تزوجي بعدي، فإن المرأة في الجنة لآخر أزواجها في الدنيا
    Hudzaifah berkata kepada istrinya: ‘Kalau engkau ingin menjadi istriku di surga kelak, maka jangan menikah lagi sepeninggalku. Karena seorang wanita di surga akan menjadi istri dari suaminya yang terakhir di dunia‘” (HR. Al Baihaqi, no.13421)
  7. Selain beristrikan wanita yang menjadi istrinya di dunia, lelaki penghuni surga juga akan beristrikan bidadari-bidadari surga. Sebagaimana firman Allah:
    كَذَلِكَ وَزَوَّجْنَاهُمْ بِحُورٍ عِينٍ
    Demikian juga kami nikahkan mereka dengan para bidadari surga” (QS. Ad Dukhan: 54)
  8. Para ulama mengatakan, hadits ini bukan menunjukkan bahwa jumlah istri penduduk surga adalah 100. Melainkan hanya menunjukkan kemampuan jima’ para lelaki penduduk surga, yaitu sebagaimana kekuatan 100 orang lelaki. Mengenai jumlah istri, kebanyakan penduduk surga memiliki dua istri:
    أول زمرة تلج الجنة صورتهم على صورة القمر ليلة البدر ، لا يبصقون فيها ولا يمتخطون ولا يتغوطون ، آنيتهم فيها الذهب ، أمشاطهم من الذهب والفضة ، ومجامرهم الألوة ، ورشحهم المسك ، ولكل واحد منهم زوجتان
    Rombongan yang pertama kali masuk surga berbentuk rembulan di malam purnama. Mereka tidak akan meludah, tidak akan berdahak, dan tidak akan buang air di dalamnya. Bejana-bejana dan sisir-sisir mereka terbuat dari emas dan perak. Tempat bara api mereka terbuat dari kayu wangi. Keringat mereka adalah minyak kesturi. Setiap mereka memiliki dua istri..” (HR. Al-Bukhari no. 3245 dan Muslim no. 5065)
    Adapun para syuhada, beristrikan 72 bidadari kelak di surga:
    للشهيد عند الله ست خصال : يغفر له في أول دفعة ويرى مقعده من الجنة ، ويجار من عذاب القبر ، ويأمن من الفزع الأكبر ، ويوضع على رأسه تاج الوقار ، الياقوتة منها خير من الدنيا وما فيها ، ويزوج اثنتين وسبعين زوجة من الحور العين ، ويشفع في سبعين من أقاربه
    Orang yang mati syahid di sisi Allah akan diberi enam keutamaan: Allah mengampuni dosanya ketika pertama kali darahnya keluar, ia dapat melihat tempat duduknya kelak di surga, ia dijauhkan dari adzab kubur, ia mendapat keamanan tatkala hari kebangkitan, di kepalanya ia memakai mahkota kehormatan berhias batu rubi yang lebih baik dari dunia dan seisinya, ia dinikahkan dengan 72 bidadari, ia dapat memberi syafa’at kepada 70 orang kerabatnya” (HR. At Tirmidzi no 1663, ia berkata: “Hasan Shahih Gharib”)
  9. Jika kita renungkan, sungguh betapa malangnya para pezina dan para pengumbar syahwat ke tempat yang tidak halal. Mereka menukar kenikmatan yang luar biasa dengan kenikmatan sesaat yang hina di dunia.
  10. Salah satu benteng pertahanan seorang lelaki muslim dari dosa zina adalah dengan mengingat-ingat kenikmatan syahwat di surga dan berusaha istiqamah untuk mendapatkannya.

=MUSLIM Tidak Merayakan Tahun Baru==

==MUSLIM Tidak Merayakan Tahun Baru==

Komisi Fatwa Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ ditanya,

“Apakah boleh mengucapkan selamat tahun baru Masehi pada non muslim, atau selamat tahun baru Hijriyah atau selamat Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? ”

Al Lajnah Ad Daimah menjawab,
لا تجوز التهنئة بهذه المناسبات ؛ لأن الاحتفاء بها غير مشروع

“Tidak boleh mengucapkan selamat pada perayaan semacam itu karena perayaan tersebut adalah perayaan yang tidak masyru’ (tidak disyari’atkan).”

Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘alihi wa shohbihi wa sallam.

Yang menandatangani fatwa ini:

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Alu Syaikh selaku ketua;
Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan,
Syaikh Sholih Al Fauzan,
Syaikh Bakr Abu Zaid selaku anggota.

[Soal pertama dari Fatwa no. 20795]

Sunnahnya Mengakhirkan Shalat Isya

Sunnahnya Mengakhirkan Shalat Isya

Dari Aisyah -radhiallahu anha- dia berkata:
أَعْتَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ حَتَّى ذَهَبَ عَامَّةُ اللَّيْلِ وَحَتَّى نَامَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى فَقَالَ إِنَّه
ُ لَوَقْتُهَا لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي
“Suatu malam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendirikan shalat ‘atamah (isya`) sampai berlalu sebagian besar malam dan penghuni masjid pun ketiduran, setelah itu beliau datang dan shalat. Beliau bersabda: “Sungguh ini adalah waktu shalat isya’ yang tepat, sekiranya aku tidak memberatkan umatku.” (HR. Muslim no. 638)
Dari Jabir bin Samurah -radhiallahu anhu- dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُؤَخِّرُ صَلَاةَ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa mengakhirkan shalat isya.” (HR. Muslim no. 643)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
أَعْتَمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعِشَاءِ حَتَّى نَادَاهُ عُمَرُ: الصَّلاَةُ، نَامَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ. فَخَرَجَ فَقَالَ: مَا يَنْتَظِرُهَا أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ غَيْرُكُمْ. قَالَ: وَلاَ يُصَلَّى يَوْمَئِذٍ إِلاَّ بِالْمَدِيْنَةِ، وَكاَنُوْا يُصَلُّوْنَ فِيْمَا بَيْنَ أَنْ يَغِيْبَ الشَّفَقُ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ الْأَوَّلِ
“Rasulullah mengakhirkan shalat isya hingga malam sangat gelap sampai akhirnya Umar menyeru beliau, “Shalat. Para wanita dan anak-anak telah tertidur.” Beliau akhirnya keluar seraya bersabda, “Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menanti shalat ini kecuali kalian.” Rawi berkata, “Tidak dikerjakan shalat isya dengan cara berjamaah pada waktu itu kecuali di Madinah. Nabi beserta para sahabatnya menunaikan shalat isya tersebut pada waktu antara tenggelamnya syafaq sampai sepertiga malam yang awal.” (HR. Al-Bukhari no. 569 dan Muslim no. 1441)
Dari Mu’adz bin Jabal radhiallahu anhu dia berkata:
أَبْقَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلاَةِ الْعَتَمَةِ، فَأَخَّرَ حَتَّى ظَنَّ الظَّانُّ أَنَّهُ لَيْسَ بِخَارِجٍ، وَالْقَائِلُ مِنَّا يَقُوْلُ: صَلَّى. فَإِنَّا لَكَذَلِكَ حَتَّى خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوْا لَهُ كَماَ قَالُوْا. فَقَالَ لَهُمْ: أَعْتِمُوْا بِهَذِهِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّكُمْ قَدْ فَضَّلْتُمْ بِهَا عَلَى سَائِرِ الْأُمَمِ وَلَمْ تُصَلِّهَا أُمَّةٌ قَبْلَكُمْ
“Kami menanti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat isya (‘atamah), ternyata beliau mengakhirkannya hingga seseorang menyangka beliau tidak akan keluar (dari rumahnya). Seseorang di antara kami berkata, “Beliau telah shalat.” Maka kami terus dalam keadaan demikian hingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar, lalu para sahabat pun menyampaikan kepada beliau apa yang mereka ucapkan. Beliau bersabda kepada mereka, “Kerjakanlah shalat isya ini di waktu malam yang sangat gelap (akhir malam) karena sungguh kalian telah diberi keutamaan dengan shalat ini di atas seluruh umat. Dan tidak ada satu umat sebelum kalian yang mengerjakannya.” (HR. Abu Dawud no. 421 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Penjelasan ringkas:
Hukum asal dari shalat-shalat lima waktu adalah dikerjakan di awal waktunya masing-masing. Kecuali shalat isya, karena adany dalil-dalil yang tegas menunjukkan disunnahkannya untuk mengerjakan shalat isya di akhir malam. Walaupun demikian, Rasulullah tidaklah mengharuskan umatnya untuk terus mengerjakannya di akhir waktu disebabkan adanya kesulitan. Dalam pelaksanaan shalat isya berjamaah di masjid, beliau melihat jumlah orang-orang yang berkumpul di masjid untuk shalat, sedikit atau banyak. Sehingga terkadang beliau menyegerakan shalat isya dan terkadang mengakhirkannya. Bila beliau melihat para makmum telah berkumpul di awal waktu maka beliau mengerjakannya dengan segera. Namun bila belum berkumpul beliau pun mengakhirkannya.
Hal ini ditunjukkan dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhuma, ia mengabarkan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الظُّهْرَ بِالْهَاجِرَةِ وَالْعَصْرَ وَالشَّمْسُ نَقِيَّةٌ وَالْمَغْرِبَ إِذَا وَجَبَتْ وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا يُؤَخِّرُهَا وَأَحْيَانًا يُعَجِّلُ، كَانَ إِذَا رَآهُمْ قَدِ اجْتَمَعُوْا عَجَّلَ وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَأُوْا أَخَّرَ …
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat zhuhur di waktu yang sangat panas di tengah hari, shalat ashar dalam keadaan matahari masih putih bersih, shalat maghrib saat matahari telah tenggelam dan shalat isya terkadang beliau mengakhirkannya, terkadang pula menyegerakannya. Apabila beliau melihat mereka (para sahabatnya/jamaah isya) telah berkumpul (di masjid) beliau pun menyegerakan pelaksanaan shalat isya, namun bila beliau melihat mereka terlambat berkumpulnya, beliau pun mengakhirkannya.” (HR. Al-Bukhari no. 565 dan Muslim no. 1458)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata, “Yang afdhal/utama bagi para wanita yang shalat di rumah-rumah mereka adalah mengakhirkan pelaksanaan shalat isya, jika memang hal itu mudah dilakukan.” (Asy-Syarhul Mumti’ 2/116)

Bila ada yang bertanya, “Manakah yang lebih utama, mengakhirkan shalat isya sendirian atau melaksanakannya secara berjamaah walaupun di awal waktu?” Jawabannya, kata Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu, adalah shalat bersama jamaah lebih utama. Karena hukum berjamaah ini wajib (bagi lelaki), sementara mengakhirkan shalat isya hukumnya mustahab. Jadi tidak mungkin mengutamakan yang mustahab daripada yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti’ 2/116, 117)

ADA APA DENGAN TEROMPET ?

ADA APA DENGAN TEROMPET ?
~~~~~~~~~~~~~~~~~
Dari Abu ‘Umair bin Anas radhiyallahu anhu
dari bibinya yang termasuk shahabiyah
anshor, “Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
memikirkan bagaimana cara mengumpulkan orang untuk shalat berjamaah. Ada
beberapa orang yang memberikan usulan.
Yang pertama mengatakan, ‘Kibarkanlah
bendera ketika waktu shalat tiba. Jika
orang-orang melihat ada bendera yang
berkibar maka mereka akan saling memberi tahukan tibanya waktu shalat. Namun Nabi
tidak menyetujuinya. Orang kedua
mengusulkan agar memakai teropet.
Nabipun tidak setuju, beliau bersabda,
‘Membunyikan terompet adalah perilaku
orang-orang Yahudi.’ Orang ketiga mengusulkan agar memakai lonceng. Nabi
berkomentar, ‘Itu adalah perilaku Nasrani.’
Setelah kejadian tersebut, Abdullah bin
Zaid bin Abdi Rabbihi pulang dalam kondisi
memikirkan agar yang dipikirkan Nabi.
Dalam tidurnya, beliau diajari cara beradzan.”
«««(HR. Abu Dawud, Lihat; Shahih Sunan
Abi Daud)»»»
-------
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah,
berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai terompet Yahudi yang
ditiup dengan mulut dan lonceng Nashrani
yang dipukul dengan tangan. Beliau
beralasan karena meniup terompet
merupakan perbuatan orang Yahudi dan
membunyikan lonceng itu merupakan perbuatan orang Nashrani. Karena
penyebutan sifat setelah hukum
menunjukkan alasan (pelarangan)
tersebut. Hal ini menunjukkan larangan
beliau dari seluruh perkara yang
merupakan kebiasaan Yahudi dan Nashrani.”
«««(Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim 1/356,
Dar A’Alamil Kutub, Beirut, cet. VII, 1419
H, tahqiq: Nashir Abdul Karim Al-‘Aql,
Asy-Syamilah)»»»

Friday 28 December 2012

Jauhilah Perbuatan Maksiat

Jauhilah Perbuatan Maksiat

Apa yang menyebabkan Adam dan Hawwa dikeluarkan dari Al Jannah (surga)? Tidak lain adalah kemaksiatan mereka berdua bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala. Mereka melanggar larangan Allah subhanahu wata’ala karena mendekati sebuah pohon di Al Jannah, mereka terbujuk oleh rayuan iblis yang mengajak mereka untuk bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala.

Wahai para pemuda, senantiasa iblis, syaitan, dan bala tentaranya berupaya untuk mengajak umat manusia seluruhnya agar mereka bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, mereka mengajak umat manusia seluruhnya untuk menjadi temannya di neraka. Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala jelaskan dalam firman-Nya (yang artinya):

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)

Setiap amalan keburukan dan maksiat yang engkau lakukan, walaupun kecil pasti akan dicatat dan diperhitungkan di sisi Allah subhanahu wata’ala. Pasti engkau akan melihat akibat buruk dari apa yang telah engkau lakukan itu. Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):

وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apapun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Az Zalzalah: 8)

Syaitan juga menghendaki dengan kemaksiatan ini, umat manusia menjadi terpecah belah dan saling bermusuhan. Jangan dikira bahwa ketika engkau bersama teman-temanmu melakukan kemaksiatan kepada Allah subhanahu wata’ala, itu merupakan kesepakatan di antara kalian. Sekali-kali tidak, justru cepat atau lambat, teman yang engkau cintai menjadi musuh yang paling engkau benci. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ

“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu karena (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan solat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (Al Maidah: 91)

Demikianlah syaitan menjadikan perbuatan maksiat yang dilakukan manusia sebagai jalan untuk memecah belah dan menimbulkan permusuhan di antara mereka.

.......hazim faiz said....

Batasan Gambar Makluk bernyawa

Batasan Gambar Makluk bernyawa
- - -

Yang dimaksudkan dengan gambar mahluk bernyawa itu adalah yang cukup sifatnya pada wajah di kepalanya seperti mata, hidung, kening, mulut dll. Hal ini telah dijelaskan oleh ulama.

Imam Al Hadifz Ibnu Hajar Al Atsqalani :

“Kata al Khaththabi : dan gambar yang menghalangi masuknya malaikat ke dalam rumah adalah gambar yang padanya terpenuhi hal-hal yang haram, yakni gambar-gambar makhluk yang bernyawa, yang tidak terpotong kepalanya (menjelaskan sifat pada wajah/kepala seperti mata, telinga, kening, hidung, dll) atau tidak dihinakan..."

Menyebarkan aib seseorang yang masih layak dinasehati secara tertutup (adalah satu bentuk fanatisme terselubung)

Menyebarkan aib seseorang yang masih layak dinasehati secara tertutup (adalah satu bentuk fanatisme terselubung)

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Imam hafizhahuLlahu ta’ala

Seorang yang berilmu bisa jadi mengetahui kesalahan saudaranya yang juga berilmu, maka tatkala dia bersegera mengingkari dan menjatuhkan saudaranya, padahal dia mampu menasihatinya dengan baik, dan juga dia mengetahui bahwa saudaranya yang bersalah akan menerima nasihat, maka ini termasuk menyebarkan aib yang tidak bisa diterima.

Cara yang ditempuhnya berupa celaan (jarh) dan penyebaran aib saudaranya adalah bentuk fanatisme terselubung (ta’ashshub khafi) terhadap diri sendiri dan hawa nafsu.

Al-‘Allamah Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata dalam kitabnya “Ath-Thuruq Al-Hukmiyah” (hal. 58):

“Dan diantara bentuk kecerdasan yang mendalam adalah engkau tidak menyebarkan kesalahan seorang yang ditaati di tengah-tengah manusia, sehingga engkau malah membawanya semakin terjerumus dalam kesalahan, maka itu adalah kesalahan kedua. Akan tetapi hendaklah engkau sampaikan kepadanya dengan penuh kelembutan, sehingga orang lain tidak mengetahui kesalahannya.”

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata dalam kitabnya “Adab Ath-Tholab” (hal. 81):

“Dan banyak engkau temui dua orang yang adil dari kalangan ahli ilmu namun berseteru dalam satu permasalahan, keduanya berbeda pendapat dalam satu pembahasan, maka setiap mereka mulai mencari-cari dalil untuk menguatkan pendapatnya, sehingga pada akhirnya masing-masing membawa al-mutaroddiyah (bangkai hewan yang mati karena terjatuh) dan an-nathihah (bangkai hewan yang mati karena dilukai hewan lainnya) (yakni mengada-ngada dalam berdalil, pen) padahal setiap mereka tahu bahwa kebenaran berada pada pihak yang lain dan apa yang dia bawa sama sekali tidak dapat mengenyangkan dan tidak pula menghilangkan dahaga.

Dan ini adalah bentuk fanatisme (ta’ashshub) yang sangat terselubung, dimana banyak orang yang adil (lagi berilmu) masih terjatuh padanya (apalagi yang jahil lagi zalim, pen), terlebih lagi ketika di hadapan manusia, sulit bagi orang yang menyalahkan (kebenaran yang ada pada saudaranya) untuk kembali kepada kebenaran kecuali dalam kondisi yang sangat jarang sekali. Dan ini kebanyakan terjadi dalam majelis-majelis pelajaran dan forum-forum ahli ilmu.”

Aku (Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Imam hafizhahullah) berkata,

“Apabila tujuan menyebarkan celaan adalah untuk menunjukkan kecemburuan terhadap agama dan bahwasannya dia tidak sabar atas kesalahan yang dia ketahui, maka dalam perbuatan itu terdapat bentuk kepercayaan terhadap diri sendiri.

Adapun jika tujuan menampakkan celaan karena anggapan bahwa hal itu lebih bermanfaat dalam menasihati dan lebih kuat pengaruhnya dalam perbaikan maka itu adalah ijtihad yang diterima, akan tetapi yang menjadi ukuran apakah ijtihadnya benar atau tidak adalah pada akibatnya.

Jadi, apabila nampak akibat penyebaran aib tersebut membuka pintu perselisihan dan pertikaian yang bisa jadi semakin memanas, maka wajib atas pelakunya untuk bersegera melakukan perbaikan apa yang telah dirusaknya, sehingga dia menjadi seorang mujtahid yang mendapat satu pahala dalam penyebaran celaan tersebut, dan mendapat dua pahala ketika dia kembali melakukan perbaikan. Adapun jika telah lewat masa yang panjang, dalam keadaan dia tidak peduli dengan perpecahan yang telah dibuatnya, maka ini hanyalah sekedar memenangkan hawa nafsu belaka. Semoga Allah ta’ala melindungi kita dari keburukan jiwa-jiwa kita.

Maka ingatlah Allah, ingatlah Allah dalam memperbaiki kondisi untuk menjaga ukhuwah, saling tolong menolong, saling menguatkan dan saling menjaga persatuan, kasih sayang dan kecintaan.”

[Al-Ibanah ‘an Kaifiati At-Ta’amul ma’al Khilaaf bayna Ahlis Sunnah wal Jama’ah (Penjelasan tentang Cara Menyikapi Perselisihan antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah), hal. 266-267]

Berakhlak dengan akhlak yang mulia adalah termasuk dari pegangan aqidah ahlus sunnah.

Berakhlak dengan akhlak yang mulia adalah termasuk dari pegangan aqidah ahlus sunnah..

Syaikhul Islam Ibnu Thaimiyyah berkata:

وَيَدْعُونَ إلَى:مَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ.وَمَحَاسِنِ الْأَعْمَالِ.وَيَعْتَقِدُونَ: مَعْنَى قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا» .وَيَنْدُبُونَ إِلَى:أَنْ تَصِلَ مَنْ قَطَعَك.وَتُعْطِيَ مَنْ حَرَمَك.وَتَعْفُوَ عَمَّنْ ظَلَمَك وَيَأْمُرُونَ: بِبِرِّ الْوَالِدَيْنِ. وَصِلَةِ الْأَرْحَامِ. وَحُسْنِ الْجِوَارِ. وَالْإِحْسَانِ إِلَى: الْيَتَامَى، وَالْمَسَاكِينِ، وَابْنِ السَّبِيلِ. وَالرِّفْقِ بِالْمَمْلُوكِ. وَيَنْهَوْنَ عَنْ: الْفَخْرِ، وَالْخُيَلَاءِ. وَالْبَغْيِ، وَالِاسْتِطَالَةِ عَلَى الْخَلْقِ بِحَقِّ أَوْ بِغَيْرِ حَقٍّ. وَيَأْمُرُونَ: بِمَعَالِي الْأَخْلَاقِ وَيَنْهَوْنَ عَنْ: سِفْسَافِهَا

“Dan mereka (al-firqoh an-najiah ahlus sunnah wal jama’ah) menyeru kepada (penerapan) akhlak yang mulia dan amal-amal yang baik. Mereka meyakini kandungan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Yang paling sempuna imannya dari kaum mukminin adalah yang paling baik akhlaknya diantara mereka“. Dan mereka mengajakmu untuk menyambung silaturahmi dengan orang yang memutuskan silaturahmi denganmu, dan agar engkau memberi kepada orang yang tidak memberi kepadamu, engkau memaafkan orang yang berbuat zhalim kepadamu, dan ahlus sunnah wal jama’ah memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua, menyambung silaturahmi, bertetangga dengan baik, berbuat baik kepada anak-anak yatim, fakir miskin, dan para musafir, serta bersikap lembut kepada para budak. Mereka (Ahlus sunnah wal jama’ah) melarang sikap sombong dan keangkuhan, serta merlarang perbuatan dzolim dan permusuhan terhadap orang lain baik dengan sebab ataupun tanpa sebab yang benar. Mereka memerintahkan untuk berakhlak yang tinggi (mulia) dan melarang dari akhlaq yang rendah dan buruk”. [lihat Matan al-'Aqiidah al-Waashithiyyah]

apa itu isbal?

Bismillah.

Kaum yg tetap ingkar dgn larangan isbal (melabuhkan pakaian melebihi paras buku lali / mata kaki), maka ketahuilah mereka adalah kaum yg telah diancam oleh Allah yakni dikecualikan mereka dr golongan2 yg dicintai oleh Allah bahkan lebih buruk dari itu, yakni tdk akan diajak bicara, tdk dipandang serta tdk disucikan dosa mereka oleh Allah.

Wa'iyadzubillah..

- - -

Dari Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu’anhu beliau berkata:

“Aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mendatangi kamar Sufyan bin Abi Sahl, lalu beliau berkata: ‘Wahai Sufyan, janganlah engkau isbal. Kerana Allah tidak mencintai orang-orang yang musbil’”

(HR. Ibnu Maajah no.2892, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Maajah)

- - -

“Ada tiga jenis manusia yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari Kiamat, tidak dipandang, dan tidak akan disucikan oleh Allah. Untuk mereka bertiga seksaan yang pedih. Itulah laki-laki yang isbal, orang yang mengungkit-ungkit sedekah dan orang yang melariskan barang dagangannya dengan sumpah palsu”.

(HR. Muslim, 106)

Via akhina @Abu Muhammad al badr

Tiga Wasiat Penting Rasulullah

Tiga Wasiat Penting Rasulullah

عَنْ أَبِي ذَرّ جُنْدُبْ بْنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذ بْن جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

Dari Abu Dzar, Jundub bin Junadah dan Abu Abdurrahman, Mu’az bin Jabal radhiallahuanhuma dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam beliau bersabda : “Bertakwalah kepada Allah dimana saja kamu berada, iringilah keburukan dengan kebaikan niscaya menghapuskannya dan pergauilah manusia dengan akhlak yang baik “ [HR: Ahmad V/153, 158, 177, at-Tirmidzi no. 1987]

Penjelasan hadits:

Hadits yang mulia ini berisi wasiat berharga dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kita semua dalam mengarungi kehidupan dunia ini. Wasiat ini berhubungan dengan hubungan kita kepada Allah, diri sendiri dan orang lain. Setiap kita mesti akan berhubungan dengan sang pencipta kita dan ini dapat diwujudkan dengan benar hanya dengan takwa kepadaNya disetiap saat. Juga setiap kita akan berhubungan dengan diri sendiri sebagai insan yang tidak luput dari kesalahan dan dosa, maka caranya adalah dengan mengiringi kesalahan dan dosa dengan taubat yang merupakan amalan soleh dan kebajikan yang dapat menghapus dosa kesalahan tersebut. Sehingga bila seorang berbuat dosa maka segera mengiringinya dengan taubat dan menambah amal kebaikan yang dapat menghapusnya.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan laksanakanlah solat pada kedua hujung siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan” (Qs Hûd/11: 114).

Demikian indahnya wasiat ini, sesiapa yang ingin selamat didunia akhirat maka hendaklah mengamalkan tiga wasiat Rasululah Shallallahu’alaihi Wasallam ini. Semoga kita dapat melakukankannya!!!

-hazimfaizsaid-

Bersemangatlah Menuntut Ilmu Agama

[Bersemangatlah Menuntut Ilmu Agama]

Menuntut ilmu agama termasuk amal yang paling mulia, dan ia merupakan tanda dari kebaikan.

Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Orang yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapatkan kebaikan, akan dimudahkan untuk memahami ilmu agama” (HR. Bukhari-Muslim).

Hal ini dikaranakan dengan menuntut ilmu agama seseorang akan mendapatkan pengetahuan yang bermanfaat baginya untuk melakukan amal shalih.

Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya, “Dan Allahlah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan hudaa dan dinul haq” [At Taubah: 33].

Dan hudaa di sini adalah ilmu yang bermanfaat, dan maksud dinul haq di sini adalah amal shalih. Selain itu, Allah Ta’ala pernah memerintahkan Nabi-Nya Shalallahu’alaihi Wasallam untuk meminta tambahan ilmu,

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah (Wahai Muhammad), Ya Rabb, tambahkanlah ilmuku” [Thaha: 114].

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Ayat ini adalah dalil yang tegas tentang keutamaan ilmu. Karena Allah Ta’ala tidak pernah memerintahkan Nabinya Shalallahu’alaihi Wasallam untuk meminta tambahan terhadap sesuatu, kecuali ilmu” [Fathul Baari, 187/1].

Dan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam memberi nama majlis ilmu agama dengan ‘Riyadhul Jannah’ (Taman Surga). Beliau juga memberi julukan kepada para ulama sebagai ‘Warotsatul Anbiyaa’ (Pewaris Para Nabi). Wallahu a'lam.

-hazim faiz said- — at Sana'a ,Yaman.

Semangat di atas ikatan keimanan di antara kaum muslimin

[Semangat di atas ikatan keimanan di antara kaum muslimin]

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara, maka perbaikilah (damaikanlah) hubungan antara kedua saudaramu (yang berselisih), dan bertaqwalah kepada Allah agar kalian diberi rahmat“. (QS. Al-Hujurat: 10)

Dari sini bererti memutus hubungan (di antara kaum muslimin) adalah dosa besar di antara dosa-dosa besar yang ada.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dibukakan pintu-pintu surga pada hari isnin dan khamis, maka diampuni setiap hamba yang muslim selama tidak berbuat syirik kepada Allah, kecuali seseorang yang terdapat kebencian pada saudaranya, lalu dikatakan: Perhatikanlah oleh kalian sampai mereka berdua berdamai. Perhatikanlah oleh kalian sampai mereka berdua berdamai.” (HR. Muslim).

Sesungguhnya seorang muslim yang muwahhid (bertauhid) lagi jujur ketauhidannya, tidak akan membenci dan hasad (dengki) kepada saudaranya. Jika saudaranya merasakan sakit, maka ia pun merasakan hal yang sama. Bahkan ia pun akan merasakan bahagia jika saudaranya bahagia. Ia akan berusaha menjaga dirinya dari sekecil mungkin berbuat salah kepada saudaranya.

(hazim faiz said) — at Sana'a ,Yaman.

Roh & Mati

Roh & Mati

Bismillah. kita baru sahaja mengalami mati kecil iaitu tidur, mati kecil ini setiap hari kita akan alami sementara menunggu mati yg besar iaitu diwaktu roh keluar dari badan kita dan tidak akan kembali lagi.

Perlu kita ketahui bahawa, semasa kita tidur, Roh kita boleh bertemu & saling kenal mengenali dengan Roh orang yang sudah meninggal dunia. Tetapi bila sampai waktunya (bangun dari tidur), Roh kita yang keluar semasa tidur akan Allah pulangkan kembali ke dalam jasad kita tetapi Roh mereka yang sudah meninggal dunia juga ingin kembali ke jasadnya tetapi Allah menghalangnya.

Allah berfirman, "Allah (Yang Menguasai Segala-galanya), Dia mengambil dan memisahkan satu-satu Roh dari badannya, Roh orang yang sampai ajalnya semasa matinya, dan roh orang yang tidak mati; dalam masa tidurnya; kemudian Dia (Allah) menahan Roh orang yang Dia tetapkan matinya dan melelaskan balik Roh yang lain (ke badannya) sehingga sampai ajalnya yang ditentukan." Surah Az-Zumar: Ayat 42.

Abu Abdullah bin Mandah menyebutkan, dari Ibnu Abbas r.a dia berkata mengenai ayat ini; "sampai berita kepadaku bahawa Roh orang-orang yang hidup dan yang sudah meninggal dunia boleh saling bertemu ketika tidur, lalu mereka saling bertanya. Kemudia Allah menahan Roh orang yang sudah meninggal dunia dan mengembalikan Roh orang-orang masih hidup kejasadnya."

Ibnu Abu Hatim berkata di dalam tafsirya, dari As-Suda tentang firman Allah; "Dan Roh orang yang tidak mati: dalam masa tidurnya" bahawa Allah memegang Roh di dalam tidurnya itu, lalu Roh orang yang hidup itu bertemu dengan Roh orang sudah meninggal dunia, lalu mereka saling mengingat dan saling mengenal. Kemudian Roh orang yang hidup kembali ke jasadnya di dunia hingga sampai ajalnya, dan Roh orang yang sudah meninggal dunia ingin kembali jasadnya, tetapi di tahan."

- Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dlm kitabnya "Mengenal Hakikat Roh".

KHUTBAH IBLIS:

KHUTBAH IBLIS:

"Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: "Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada kalian janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepada kalian tetapi aku menyalahinya. sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadap kalian, melainkan (sekadar) aku menyeru kalian lalu kalian mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kalian mencerca aku akan tetapi cercalah diri kalian sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolong kalian dan kalian pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatan kalian yang mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu". Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih".Dan dimasukkanlah orang-orang yang beriman dan beramal soleh ke dalam syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dengan seizin Tuhan mereka" (QS Ibrahim : 22-23)

[ KENALI RABBMU(TUHANMU) MELALUI KALAMNYA DAN SABDA RASULNYA S.A.W SERTA PARA PENGIKUTNYA ]

[ KENALI RABBMU(TUHANMU) MELALUI KALAMNYA DAN SABDA RASULNYA S.A.W SERTA PARA PENGIKUTNYA ]
Firman Allah Ta`ala:
إن ربّكم الله الذي خلق السماوات والأرض في ستة أيام ثم استوى على العرش. يدبّر الأمر ما من شفيع غلا من بعد إذنه ذالكم الله ربكم فاعبدوه أفلا تذكّرون
Maksudnya: " Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,kemudian Dia beristiwa`(bersemayam)di atas `Arasy mengatur segala urusan,tiada seorang pun yang akan memberi syafaat(pertolongan)kecuali sesudah mendapat izinNya,(Zat)yang demikian itulah Allah,Tuhan kamu,maka sembahlah Dia.Maka apakah kamu tidak mengambil pengajaran? [ Yunus 10:3 ]

Sabda Rasulullah s.a.w:
" لما خلق الله الخلق كتب في كتاب فهو عنده فوق العرش إن رحمتي تغلب غضبي "
" Apabila Allah telah mencipta makhluk,Dia telah menulis di Kitab dan ianya berada disisiNya diatas `Arasy " Sesungguhnya rahmatKu mengatasi kemurkaanKu".
[ Muttafaqun`alaihi ],sabda baginda lagi:
" ألا تأمنوني وأنا أمين من في السماء يأتيني خبر السماء مساء وصباحا "
" Apakah kamu tidak mempercayaiku? sedangkan aku ialah kepercayaan yang berada di langit,datang kepadaku khabar langit petang dan pagi" [ Muttafaqun`alaihi ]

Kata Abu Bakr As-Siddiq r.a:
" من كان يعبد محمدا فإن محمدا قد مات ومن كان يعبد الله فإن الله في السماء حي لا يموت "
" Sesiapa yang menyembah Muhammad maka sesungguhnya Muhammad telah mati! dan sesiapa yang menyembah Allah,sesungguhya Allah yang di langit Maha Hidup dan tidak mati!!" [ HR Al-Bukhari dalam At-Tarikh Al-Kabir no:623 ]

Kata `Adi bin `Umairah radiallahu`anhu ketika mengisahkan kisah keluarnya beliau berhijrah kepada Nabi s.a.w dan pengislamannya:
" فإذا هو ومن معه يسجدون على وجوههم ويزعمون أن إلههم في السماء فأسلمت وتبعته "
" Aku mendapati beliau(Nabi) dan orang-orang yang bersamanya sujud menundukkan wajah-wajah mereka dan mereka berkata bahawa Tuhan mereka di langit,lalu aku pun masuk islam dan mengikutinya" [ Al-Maghazi Yahya bin Sa`id Al-Umawi,rujuk Ijtimak Juyush hlm 67 ]

Apakah itu Qadianiah (Ahmadiah)?

Apakah itu Qadianiah (Ahmadiah)?
Firqah Batiniah diasaskan oleh Mirza Ghulam Ahmad yg mendakwa dirinya adalah; Nabi, diberi Wahyu, lebih afdal dri segala Nabi-nabi, dan mendakwa mendapat Kitab baharu yg menggantikan al-Quran diberi nama: al-Kitab al-Mubin.

ALLAH ta'ala telah memusnahkan musuhNya, Mirza ini dgn penyakit Kolera dan dia mati dlm Jamban. na'uzubillah min al-Jahli wa al-Dolal.


  kt Malaysia sudah difatwakan sbgai kafir dan murtad. sudah dibanteras namun masih ada serpihan2 kecil yg kini kembali aktif di "PERLIS DARUL SUNNAH"..

Syari'at/Syara'

Syari'at/Syara' itu ada 3 jenis:

1- Syara' Munazzal (Syariat yg diturunkan dri ALLAH ta'ala)
2- Syara' Mubaddal (Syariat yg direka cipta oleh manusia kmudian disandrkan kpd ALLAH ta'ala)
3- Syara' Muawwal (Hukum Hakam Syariat yg terhasil dri ijtihad para Ulama')

yg pertama WAJIB ikut, yg ke-2 HARAM & KUFUR, yg ke-3 hendklah diukur dgn dalilnya, mana yg sahih diambil, mana yg x Sahih ditolak.

[Mutiara Faedah dri Syaikhul Islam Ibn Taimiah al-Hafid rahimahullah].

Istilah "Jahmiah"

Istilah "Jahmiah" adlh disandrkan kpd Jahm bin Safwan yg muncul pd akhir zmn kerajaan Bani Umayyah, dia menyebarkan ajran menafikan sifat2 ALLAH & membina Aqidahnya ats manhaj: Mendahulukan Aqal ats Naqal.

Maka, semua firqah Ahli Kalam; Muktazilah, Kullabiah, Asya'irah, Maturidiah dikategoriakn secra umum sbgai Jahmiah krna mereka semua membina aqidh mereka ats dasar: Mendahulukan Aqal ats Naqal.

[Faedah dri: Syarah al-Hamawiah oleh Syaikh Soleh Alu Syaikh hafizahullah, m.s 148-149].

Istilah "Syaikhul Islam"

Istilah "Syaikhul Islam" merujuk kpd mereka yg menguasai ilmu syara' dgn penguasaan yg meluas dlm setiap bidangnya; Tafsir, Usul Fiqh, Aqidah, Fiqh, Ilmu Hadis riwayat & dirayah dll.

Org pertama yg digelar dgn gelran ini dgn makna istilahi ini adlh Imam Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah [w.181H].

Istilah Syaikhul Islam jika diitlakkan slepas zaman Ibn Taimiah al-Hafid rahimahullah maka yg dimaksudkan pd kebiasaan adalah beliau (Ibn Taimiah al-Hafid), adapun istilah Syaikhul Islam jika diitlakkan dlm kitab2 Ibn Taimiah al-Hafid rahimahullah maka beliau maksudkan adalah; Syaikhul Islam Abdullah bin Muhammad al-Ansari al-Harawi rahimahullah [w.481 H] pengarng kitab Manazil al-Sairin yg disyarah Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah dlm Madarij al-Salikin.


 demikian juga dlm setiap mazhab ada penggunaan tersendiri bg merujuk istilah Syaikhul Islam. dlm Mazhab al-Syafii jika diitlakkan Syaikhul Islam maka merujuk kpd Imam Abu Zakaria al-Ansari rahimahullah. dlm kitab2 Mustalah Hadis oleh al-Sayuti rahimahullah jika diitlakkan kalimah Syaikhul Islam maka maksud beliau adalh Imam Ibn Hajar al-'Asqalani rahimahullah.

Apakah itu Gerakan Hashashin (Assasins)?

Apakah itu Gerakan Hashashin (Assasins)?

Ia adalah Gerakan Syi'ah Batiniah bersikap Terroris diasaskan pd tahun 483 H di kawasan pergunungan Selatan Laut Caspian. diasaskan oleh:

- Ahmad bin Abdul Malik bin 'Attash (ketua di Kubu Isfahan)
-Al-Hasan bin Muhammad bin Ali al-Sobbah (Hasan-i Sabbah); Ketua Kubu Alamut.

Ia ditubuhkn setelah tumbangnya kerajaan2 Syi'ah Batiniah; Fatimiah Mesir & Qaramitah Bahrain di tgn kesultanan Bani Seljuq bg meneruskn gerakan Ajran Kufur Batiniah.

Tugas Gerakan ini adalah: Membunuh pemimpin2 Politik Sunni & mereka b'jaya menculik & bunuh:

-Khalifah al-Mustarsyid
-Khalifah al-Raasyid
-Sultan 'Imad al-Deen Zanki
-al-Amir Maudud bin al-Tuntakin, Sultan Mosul
-Nizamul Mulk, Menteri Besar kesultanan Seljuq.
dan cubaan bunuh yg gagal terhadap Sultan Salahuddin al-Ayyubi.

selain itu juga, mereka merompak dan bersubhat dgn musuh2 Islam membuat onar dlm negeri2 Islam.

Gerakan ini hnya tamat semasa penjajahan Moghul ke ats negara2 Islam (kurun ke-7 Hijrah).

[MENGENAI ADZAB KUBUR]

[MENGENAI ADZAB KUBUR]

Pertanyaan: Sheikh Utsaimin ditanya tentang adzab kubur, apakah dirasakan oleh ROH DAN BADAN atau kah hanya pada roh saja tanpa badan.

Jawapan: Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, adzab dan nikmat dirasakan oleh roh dan jasad secara bersamaan berdasarkan kesepakatan ahlus sunnah wal jama’ah. Terkadang roh diberi nikmat atau diadzab sendirian tanpa badan, dan terkadang diadzab atau diberi nikmat dalam keadaan roh bersatu dengan badan atau badan bersatu dengan roh, dalam keadaan seperti ini roh dan badan merasakan adzab atau nikmat secara bersamaan, demikian pada saat roh diadzab sendirian tanpa disertai oleh badan (mereka sama-sama merasakan nikmat atau adzab). [Majmu’ Fatawa V/282]

Pertanyaan : Sheikh Utsaimin ditanya, apakah yang dimaksudkan dengan kubur? Apakah lubang tempat mengubur mayat atau alam barzakh?

Jawapan: Pada asalnya kubur adalah tempat dikuburnya mayat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur.” (Abasa:21)

Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu berkata,”Maksud ayat ini, dimuliakan dengan menguburkannya.”

Terkadang juga dimaksud adalah barzakh, yaitu masa penantian setelah kematian dan sebelum terjadinya hari kiamat, sekalipun tidak dikubur. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan di hadapan mereka ada barzakh (dinding) sampai hari mereka dibangkitkan.” (Al-Mu’minun:100)

Yakni bagi orang yang telah mati. Hal itu ditunjuk oleh ayat sebelumnya: “Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seorang dari mereka, dia berkata,’Ya Rabb, kembalikanlah aku (ke dunia)’.” (Al-Mu’minun:99)

Oleh kerana itu jika seorang berdoa dalam shalatnya dengan mengucapkan “Aku berlindung kepada Allah dari adzab kubur” apa kah yang dimaksud adalah adzab dalam kuburan atau adzab barzakh? Jawabnya adalah adzab barzakh. Kerana pada hakikatnya mabusia tidak tahu apakah dia mati dimakan singa atau mati terbakar dan menjadi debu.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia mati.” (Luqman:34)

Sehingga jika saya katakana adzab kubur, maksudnya adalah adzab yang diberikan kepada manusia setelah kematiannya hingga datangnya hari kiamat.

[Majmu’ Fatwa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin II/26-27]

Perlukah majlis yang gah dan glamer? Perlukah menjemput ramai orang? Perlukah bersanding? [Sunnah dalam Walimatul ‘urs]

Perlukah majlis yang gah dan glamer? Perlukah menjemput ramai orang? Perlukah bersanding?

[Sunnah dalam Walimatul ‘urs]

Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar ahlul ilmi, menyelisihi pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib, karena adanya perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah menikah:

أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

“Selenggarakanlah walimah walaupun dengan hanya menyembelih seekor kambing4.” (HR. Al-Bukhari no. 5167 dan Muslim no. 3475)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya seperti dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan:

مَا أَوْلَمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلىَ شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلىَ زَيْنَبَ، أَوْلَمَ بِشَاةٍ

“Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya dengan sesuatu yang seperti beliau lakukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara walimahnya dengan Zainab.” (HR. Al-Bukhari no. 5168 dan Muslim no. 3489)

Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya hari-hari pengantin baru. Namun disenangi tiga hari setelah dukhul, karena demikian yang dinukilkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Shafiyyah radhiyallahu ‘anha dan beliau jadikan kemerdekaan Shafiyyah sebagai maharnya. Beliau mengadakan walimah tiga hari kemudian.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 74: “Diriwayatkan Abu Ya’la dengan sanad yang hasan sebagaimana dalam Fathul Bari (9/199) dan ada dalam Shahih Al-Bukhari secara makna.”)

Hendaklah yang diundang dalam acara walimah tersebut orang-orang yang shalih, tanpa memandang dia orang kaya atau orang miskin. Karena kalau yang dipentingkan hanya orang kaya sementara orang miskinnya tidak diundang, maka makanan walimah tersebut teranggap sejelek-jelek makanan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا اْلأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِيْنُ

“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana yang diundang dalam walimah tersebut hanya orang-orang kaya sementara orang-orang miskin tidak diundang.” (HR. Al-Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 3507)

Pada hari pernikahan ini disunnahkan menabuh duff (sejenis rebana kecil, tanpa keping logam di sekelilingnya -yang menimbulkan suara gemerincing-, ed.) dalam rangka mengumumkan kepada khalayak akan adanya pernikahan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ

“Pemisah antara apa yang halal dan yang haram adalah duff dan shaut (suara) dalam pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no. 3369, Ibnu Majah no. 1896. Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1994)

Adapun makna shaut di sini adalah pengumuman pernikahan, lantangnya suara dan penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan tersebut di tengah manusia. (Syarhus Sunnah 9/47,48)

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu menyebutkan satu bab dalam Shahih-nya, “Menabuh duff dalam acara pernikahan dan walimah” dan membawakan hadits Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha yang mengisahkan kehadiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pernikahannya. Ketika itu anak-anak perempuan memukul duff sembari merangkai kata-kata menyenandungkan pujian untuk bapak-bapak mereka yang terbunuh dalam perang Badr, sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengarkannya. (HR. Al-Bukhari no. 5148)

Dalam acara pernikahan ini tidak boleh memutar nyanyian-nyanyian atau memainkan alat-alat musik, karena semua itu hukumnya haram.

Disunnahkan bagi yang menghadiri sebuah pernikahan untuk mendoakan kedua mempelai dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّّ صلى الله عليه وسلم كاَنَ إِذَا رَفَّأَ اْلإِنْسَاَن، إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ

“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila mendoakan seseorang yang menikah, beliau mengatakan: ‘Semoga Allah memberkahi untukmu dan memberkahi atasmu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan’.” (HR. At-Tirmidzi no. 1091, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

[ Sikap Melampaui Batas ]

[ Sikap Melampaui Batas ]

Saya pernah berjumpa dengan seorang pengamal tarekat, dan dia memaklumkan bahawa antara amalan mereka ialah tidak memakan daging. Kerana beranggapan bahawa itu akan menjejaskan ibadah mereka. Saya melihat amalan ini bertentangan dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan beralasan mahu lebih menumpukan ibadah serta mahu mengurangkan nafsu syahwat. Makan daging dianggap boleh menaikkan nafsu syahwat mereka.

...........................

Dalam ash-Shahiihain dari 'Aisyah bahawa sejumlah orang dari Sahabat Rasulullah bertanya kepada para isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang amalannya pada waktu tidak terlihat oleh sahabat. Sebahagian dari mereka mengatakan, "Aku tidak akan makan daging." Sebahagian yang lain mengatakan, "Aku tidak akan berkahwin dengan wanita". Sebahagian yang lainnya lagi mengatakan, "Aku tidak akan tidur di tempat tidur." Hal itu terdengar oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, maka baginda bersabda:

"Mengapa mereka mengatakan demikian dan demikian? Tetapi aku berpuasa dan berbuka, tidur dan bangun (untuk shalat malam), makan daging, dan menikahi wanita. Barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku."

[Fathul Baari (XI/5) dan Muslim (II/1020). [Al-Bukhari (no.5063) dan Muslim (no.1401). Lafazh hadith ini diriwayatkan dari Anas r.a. Adapun riwayat 'Aisyah, lafazhnya berbeza sedikit dari riwayat yang menulis sebutan di atas. Riwayat 'Aisyah ini ada dalam Shahiihul Bukhari (no.7301) dan Muslim (no.2356).]

- Lihat; Shahih Tafsir Ibnu Katsir (Tafsir Surah Al-Maidah, ayat 87-88) m/s 201-202, Jilid 3, Terbitan Pustaka Ibnu Katsir.

[ Kehebatan Imam Ath-Thabari Dalam Mengajar Ilmu Sejarah ]

[ Kehebatan Imam Ath-Thabari Dalam Mengajar Ilmu Sejarah ]

Ketika Ath-Thabari hendak menyerahkan ilmu sejarahnya, dia bertanya kepada murid-muridnya. "Apakah kalian sedia untuk mempelajarri sejarah dunia dari sejak penciptaan Adam hingga saat ini?" mereka bertanya, "Berapa banyakkah kira-kira yang harus kami pelajari?" Lalu Ath-Thabari menyebutkan jumlah lembaran yang hampir sama dengan jumlah lembaran tafsirnya (yakni sekitar 30,000 lembar), lalu murid-muridnya berkata, "Sepertinya umur kami sudah habis sebelum menyelesaikannya." Kemudian Ath-Thabari mengatakan, "Inna lillah (ucapan tanda bersimpati atas jawapan mereka), ke mana semangat kalian!" lalu Ath-Thabari meringkas ilmu sejarah itu hingga lembarnya berjumlah hampir sama dengan jumlah lembaran tafsirnya (yakni sekitar 3000 lembar sahaja).

[Lihat. Tadzkirah al Huffazh (2/712). Lihat; Shahih Tarikh Ath-Thabari jilid 1 m/s 111-112, Tahqiq, Takhrij dan Ta'liq oleh Muhammad bin Thahir Al Barzanji.]

[Semangat di atas ikatan keimanan di antara kaum muslimin]

[Semangat di atas ikatan keimanan di antara kaum muslimin]

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara, maka perbaikilah (damaikanlah) hubungan antara kedua saudaramu (yang berselisih), dan bertaqwalah kepada Allah agar kalian diberi rahmat“. (QS. Al-Hujurat: 10)

Dari sini bererti memutus hubungan (di antara kaum muslimin) adalah dosa besar di antara dosa-dosa besar yang ada.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dibukakan pintu-pintu surga pada hari isnin dan khamis, maka diampuni setiap hamba yang muslim selama tidak berbuat syirik kepada Allah, kecuali seseorang yang terdapat kebencian pada saudaranya, lalu dikatakan: Perhatikanlah oleh kalian sampai mereka berdua berdamai. Perhatikanlah oleh kalian sampai mereka berdua berdamai.” (HR. Muslim).

Sesungguhnya seorang muslim yang muwahhid (bertauhid) lagi jujur ketauhidannya, tidak akan membenci dan hasad (dengki) kepada saudaranya. Jika saudaranya merasakan sakit, maka ia pun merasakan hal yang sama. Bahkan ia pun akan merasakan bahagia jika saudaranya bahagia. Ia akan berusaha menjaga dirinya dari sekecil mungkin berbuat salah kepada saudaranya.

(hazim faiz said) — at Sana'a ,Yaman.

Sekadar Niat Baik Saja Tidak Cukup

Sekadar Niat Baik Saja Tidak Cukup

Oleh : Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi

Dari Sa’id bin Musayyib, ia melihat seorang laki-laki menunaikan sholat setelah fajar lebih dari dua roka’at, ia memanjangkan rukuk dan sujudnya. Maka Sa’id bin Musayyib pun melarangnya. Orang itu bertanya, “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan menyiksaku dengan sebab sholat?” Beliau menjawab, “Tidak, tetapi Alloh akan menyiksamu karena menyelisihi Sunnah.”

TAKHRIJ ATSAR
SHOHIH. Dikeluarkan oleh ad-Darimi dalam Musnad-nya: 1/404/450, al-Baihaqi dalam Sunan Kubra: 2/466, dan Abdurrozzaq dalam al-Mushonnaf no. 4755 dari jalur Sufyan dari Abu Robah dari Sa’id. Sanad atsar ini dishohihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ul Gholil: 2/236. Dan diriwayatkan juga oleh al-Khotib al-Baghdadi dalam al-Faqih wal Mutafaqqih: 1/381 dari jalur Makhlad bin Malik dari Athof bin Kholid dari Abdrurrohman bin Harmalah dari Sa’id dengan sanad Hasan.1

FIQIH ATSAR
Syaih Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah mengomentari atsar ini dalam kitabnya, Irwa’ul Gholil (2/236), “Ini adalah jawaban Sa’id bin Musayyib2 yang sangat indah. Dan merupakan senjata pamungkas terhadap para ahlul bid’ah yang menganggap baik kebanyakan bid’ah dengan alasan dzikir dan sholat, kemudian membantai Ahlus Sunnah dan menuduh bahwa mereka (Ahlus Sunnah) mengingkari dzikir dan sholat! Padahal sebenarnya yang mereka ingkari adalah penyelewengan ahlul bid’ah dari tuntunan Rosul shallallahu ‘alihi wa sallam dalam dzikir, sholat, dan lain-lain.”

Jadi, agar amal ibadah kita diterima oleh Alloh, bukan hanya dengan modal niat yang baik dan keikhlasan, melainkan juga harus sesuai dengan tuntunan Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam Maka sudah semestinya bagi kita untuk menggali ilmu agar amalan ibadah yang kita lakukan betul-betul sesuai dengan tuntunan beliau. Semoga Alloh menerima amal ibadah kita semua.

1 Dinukil dari Silsilah atsar ash-shohihah karya Abu Abdillah ad-Dani: 1/58, cet, Dar Atsariyyah.
2 Berkata al-Fasii dalam ‘Aqdu Tsamin tentang nama Sa’id radhiallahu ‘anhu “Yang masyhur adalah dengan memfathah huruf ya’ (Baca : Musayyab), namun penduduk Madinah berpendapat dengan mengkasroh huruf ya’ (baca: Musayyib).” (Dinukil dari Dhobthu al-A’lam hlm. 191 karya Ahmad Taimur Basya).

ITTIBA’ KEPADA NABI MENURUT AL-QUR’AN DAN SUNNAH

ITTIBA’ KEPADA NABI MENURUT AL-QUR’AN DAN SUNNAH

Ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu inti dan pondasi dasar agama islam. Juga merupakan syariat paling agung yang diterima dan diketahui dengan pasti. Dalil-dalil syar’i yang shahih, yang menjelaskan dan menegaskan hal ini sangat banyak. Di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (Qs. Al-Hasyr: 7)

Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا

“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (Qs. An-Nisaa: 80)

Akan tetapi ketika pemahaman telah kacau dan kaki telah tergelincir, hal itu tidak menghalangi adanya kelompok-kelompok dari kaum muslimin yang menyimpang dari meniti dan menetapi jalan tengah yang lurus. Sehingga kebutuhan untuk menjelaskan dan menerangkan hal ini menjadi lebih besar dan lebih wajib.

Oleh karena itu, di dalam pelajaran ini aku akan berusaha memberikan perhatian kepadanya untuk menampakkan hakikat dan hukum ittiba’, menerangkan kedudukan dan tanda-tandanya serta menjelaskan jalan yang membantu untuk mewujudkannya dan sebagian penghalang-penghalangnya. Dengan berharap kepada Rabbku (Penguasaku) Yang maha pengampun agar memberikan petunjuk kepada kebaikan dan memperbaiki niat ini. Sesungguhnya Dia maha berkuasa atas segala sesuatu dan berhak menjawab do’a.

Ittiba’ Menurut Bahasa

Ittiba’ adalah mashdar (kata bentukan) dari kata ittaba’a (mengikuti). Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan mengiringinya. Dan kata ini berkisar pada makna menyusul, mencari, mengikuti, meneladani dan mencontoh.

Dikatakan ittiba’ kepada al-Qur’an, yaitu mengikutinya dan mengamalkan kandungannya. Dan ittiba’ kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu meneladani, mencontoh dan mengikuti jejak beliau. (1)

Ittiba’ Menurut Istilah Syar’i

Yaitu meneladani dan mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam keyakinan, perkataan, perbuatan dan di dalam perkara-perkara yang ditinggalkan. Beramal seperti amalan beliau sesuai dengan ketentuan yang beliau amalkan, apakah wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Dan disertai dengan niat dan kehendak padanya.

Ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam keyakinan akan terwujud dengan meyakini apa yang diyakini oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan bagaimana beliau meyakininya – apakah merupakan kewajiban, kebid’ahan ataukah merupakan pondasi dasar agama atau yang membatalkannya atau yang merusak kesempurnaannya – dengan alasan karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meyakininya.

Ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam perkataan akan terwujud dengan melaksanakan kandungan dan makna-makna yang ada padanya. Bukan dengan mengulang-ulang lafadz dan nashnya saja. Sebagai contoh sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (2)

Ittiba’ kepadanya adalah dengan melaksanakan shalat seperti shalat beliau.

Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا

“Janganlah kalian saling hasad dan janganlah kalian berbuat najasy.” (3)

Ittiba’ kepadanya adalah dengan meninggalkan hasad dan najasy.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلمٍ عَلِمَهُ ثُمَّ كَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِياَمَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ

“Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu yang dia ketahui kemudian dia menyembunyikannya maka pada hari kiamat dia dikekang dengan tali kekang dari api.” (4)

Ittiba’ kepadanya adalah dengan menyebarkan ilmu yang shahih dan bermanfaat serta tidak menyembunyikannya.

Sebagaimana ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam perbuatan adalah dengan melakukan amalan seperti yang beliau lakukan, sesuai ketentuan yang beliau lakukan dan dengan sebab karena beliau melakukannya.

Kami katakan “seperti yang beliau lakukan” karena meneladani sesuatu tidak akan terwujud jika terdapat perbedaan bentuk dalam tatacara perbuatan.

Makna perkataan kami “sesuai dengan ketentuan yang beliau lakukan” adalah adanya kesamaan di dalam tujuan dan niat perbuatan itu – berupa keikhlasan dan pembatasan terhadap perbuatan itu dari segi wajib atau sunnahnya – karena tidak dapat dikatakan meneladani jika berbeda tujuan dan niatnya meskipun sama bentuk perbuatannya.

Dan kami katakan “dengan sebab karena beliau melakukannya” karena meskipun sama bentuk dan niat perbuatannya, jika maksud melakukannya bukan untuk meneladani dan mencontoh maka tidak akan dikatakan sebagai ittiba’.

Sebagai contoh untuk menjelaskan ittiba’ di dalam perbuatan; Jika kita ingin meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam puasa beliau maka kita harus berpuasa sebagaimana tatacara puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar shadiq sampai terbenamnya matahari, dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Maka jika salah seorang di antara kita menahan dirinya hanya dari sebagian perkara yang membatalkan puasa berarti dia belum ittiba’. Sebagaimana jika dia menahan diri pada sebagian waktu saja.

Dan kita juga harus berpuasa sesuai dengan ketentuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berpuasa dari segi niatnya. Yaitu dengan puasa ini kita mengharapkan wajah Allah dan untuk melaksanakan kewajiban atau sebagai qadha atau sebagai nadzar. Atau meniatkannya sebagai puasa sunnah sesuai dengan alasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa. (5)

Sebagaimana juga kita melakukan puasa tersebut dengan alasan karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya. Oleh karena itu seseorang yang melakukan amalan yang sama bentuk dan tujuannya dengan orang lain – selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam – tidaklah dianggap meneladani orang tersebut jika keduanya sama-sama melakukannya dengan niat melaksanakan perintah Allah dan ittiba’ kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sedangkan ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam perkara-perkara yang ditinggalkan adalah dengan meninggalkan perkara-perkara yang beliau tinggalkan, yaitu perkara-perkara yang tidak disyariatkan. Sesuai dengan tatacara dan ketentuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam meninggalkannya, dengan alasan karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallammeninggalkannya. Dan ini adalah batasan yang sama dengan batasan ittiba’ di dalam perbuatan.

Sebagai contoh untuk menjelaskannya; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan (tidak melakukan) shalat ketika terbit matahari. Maka seorang yang meneladani beliau juga meninggalkan shalat pada waktu itu sesuai dengan ketentuan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam meninggalkannya, dengan alasan karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya. (6)

Footnote:

(1) Lihat Lisanul ‘Arab (1/416-417), al-Mu’jamul Wasith (1/81)
(2) Al-Bukhari no. 631 lihat Fath al-Bari (2/131-132)
(3) Muslim (4/1986) no. 2564
(4) At-Tirmidzi (5/29) no. 2649 dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi (2/336) no. 2135
(5) Jika ada tatacara dan tujuan yang khusus bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti puasa wishol (puasa sejak terbit fajar sampai waktu sahur -pen) atau kewajiban shalat malam, maka tidak boleh menyamai beliau di dalam kekhususan tatacara dan tujuan ini. Akan tetapi perkara ittiba’ berkaitan dengan tujuan-tujuan dan tatacara yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam syariatkan kepada umatnya.
(6) Lihat al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah (10/409) dan al-Ihkam karya al-Amidi (1/226, 227)

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Menghilangkan Kebiasaan Onani

Menghilangkan Kebiasaan Onani

Assalamu’alaikum. Saya seorang remaja muslim yang terjebak kebiasaan buruk onani. Saya tahu hal tersebut adalah kesalahan dan saya ingin menghentikannya tapi saya belum mampu. Tolong berikanlah saya nasihat bagaimana cara menghentikannya. Dan tolong beritahukan saya apa akibat buruk onani bagi kesehatan dan dampaknya dalam hubungan suami isteri setelah menikah. Karena ada beberapa kalangan termasuk ahli kedokteran yang menganggap perbuatan onani adalah normal, padahal yang saya tahu apa yang dilarang Allah l untuk dikerjakan manusia adalah agar mereka menjauhinya agar tidak mengerjakannya untuk kepentingan (kemanfaatan) manusia sendiri.
Fulan di bumi Allah
Dijawab oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah As Sarbini Al- Makassari
Wa’alaikumsalam warahmatullah. Benar apa yang anda katakan bahwa apa yang dilarang oleh Allah l atas hamba-hamba-Nya adalah demi kepentingan dan maslahat manusia sendiri. Tidaklah seorang hamba mengerjakan sesuatu yang haram kecuali pasti membahayakan dirinya sendiri. Di antara perbuatan haram yang terlarang adalah melakukan onani, apalagi sampai pada tahap jadi kebiasaan. Jadi perbuatan onani bukanlah perbuatan normal yang biasa-biasa saja. Para ulama dan ahli kesehatan juga telah menyatakan adanya mudharat yang akan merusak kesehatan pelakunya serta melemahkan kemampuan berhubungan suami-istri ketika berkeluarga. Selain itu pula onani merupakan perangai buruk yang rendah dan hina serta memalukan. Seorang muslim yang berakal dan berakhlak mulia akan menjaga dirinya semaksimal mungkin dari perbuatan yang hina ini. Barangsiapa terjebak dengan kebiasaan buruk ini, maka kami nasihatkan kepadanya hal-hal berikut ini:
1. Hendaklah bertaubat kepada Allah l dan memohon ampunan-Nya.
2. Menyabarkan diri agar tidak terjatuh kembali ke dalam kebiasaan buruk itu dan memohon pertolongan kepada Allah l agar mampu menghindarinya.
3. Segera menempuh solusi yang akan membebaskannya dari onani dengan cara menikah, jika sudah mampu biaya untuk itu.
4. Jika belum mampu menikah, hendaklah memperbanyak puasa hingga syahwatnya benar-benar hilang dan luluh dengan puasa.
5. Menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan ibadah dan kegiatan duniawi yang bermanfaat baginya untuk mengalihkan pikirannya dari onani.
6. Menjauhkan diri dari hal-hal yang membangkitkan syahwat, seperti melihat wajah dan sosok wanita secara langsung atau melalui gambar, bercampur baur (ikhtilat) dengan wanita, dan yang semisalnya yang bisa membangkitkan syahwat.
Ini yang bisa kami nasihatkan, semoga anda dan semisalnya diberi hidayah dan taufiq oleh Allah l untuk membenahi diri dan menempuh lembaran hidup baru di atas jalan Allah l. Seseorang tidak boleh berputus asa dari kebaikan dan rahmat Allah l, kesempatan masih terbuka lebar dan tidak ada kata terlambat selama hayat masih dikandung badan. Rasulullah n bersabda:
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجِزْ
“Bersemangatlah engkau untuk meraih apa-apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah l, serta janganlah engkau berputus asa.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah z)

BEGINILAH AQIDAH SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB

BEGINILAH AQIDAH SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB (Yang dituding oleh Musuh² Tauhid sebagai Wahabi-red), BAGAIMANA DENGAN AQIDAH ANTUM?

Berikut ini akan kami bawakan risalah yang berisi tanya-jawab dalam hal aqidah Islam yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.

Dengan mencermati karya beliau ini akan tampaklah bagi kita sebenarnya bagaimana aqidah [keyakinan] beliau yang mungkin bagi sebagian kalangan telah mendapatkan kesan negatif mengenai beliau. Silakan anda telaah dengan pikiran yang jernih dan hati yang tenang. Semoga Allah memberikan hidayah-Nya kepada kita.

Tanya : Siapakah Rabbmu?

Jawab : Rabbku adalah Allah yang telah memeliharaku dan memelihara seluruh alam dengan segala nikmat-Nya. Dia lah sesembahanku, tidak ada bagiku sesembahan selain-Nya. Sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala dalam surat al-Fatihah (yang artinya), “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”

Tanya : Apakah makna kata Rabb?

Jawab : Yang menguasai dan yang mengatur, dan hanya Dia (Allah) yang berhak untuk diibadahi

Tanya : Apa makna kata Allah?

Jawab : Yaitu yang memiliki sifat ketuhanan dan berhak diibadahi oleh seluruh makhluk-Nya

Tanya : Dengan apa kamu mengenal Rabbmu?

Jawab : Dengan memperhatikan ayat-ayat-Nya dan makhluk-makhluk ciptaan-Nya

Tanya : Makhluk apakah yang terbesar yang bisa kamu lihat di antara makhluk ciptaan-Nya?

Jawab : Langit dan bumi

Tanya : Apakah ayat (tanda kekuasaan)-Nya yang paling besar?

Jawab : Malam dan siang, matahari dan bulan

Tanya : Apakah dalil atas hal itu?

Jawab : Dalilnya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya Rabb kalian adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy. Allah menutupkan malam kepada siang dan mengikutinya dengan cepat, matahari dan bulan serta bintang-bintang semuanya ditundukkan dengan perintah-Nya. Ingatlah, sesungguhnya penciptaan dan pemberian perintah adalah hak-Nya, Maha berkah Allah Rabb seluruh alam.” (QS. al-A’raf : 54).

Tanya : Untuk apakah Allah menciptakan kita?

Jawab : Untuk beribadah kepada-Nya

Tanya : Apa yang dimaksud beribadah kepada-Nya?

Jawab : Mentauhidkan Allah dan menaati-Nya

Tanya : Dalam hal apa kita menaati-Nya?

Jawab : Kita taati perintah-Nya dan kita jauhi segala yang dilarang-Nya kepada kita

Tanya : Apa dalil untuk hal itu?

Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat : 56).

Tanya : Apa makna ’supaya mereka beribadah kepada-Ku’?

Jawab : Maknanya adalah agar mereka mentauhidkan Allah

Tanya : Apa yang dimaksud dengan tauhid?

Jawab : Tauhid adalah mengesakan Allah dalam beribadah

Tanya : Apakah perkara terbesar yang dilarang Allah untuk kita?

Jawab : Perkara terbesar yang dilarang Allah adalah syirik yaitu berdoa kepada selain Allah [saja] atau berdoa kepada selain-Nya di samping berdoa kepada-Nya.

Tanya : Apakah dalilnya?

Jawab : Dalilnya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya (dalam beribadah) dengan sesuatu apapun.” (QS. an-Nisaa’ : 36).

Tanya : Apa yang dimaksud dengan ibadah?

Jawab : Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi

Tanya : Apa sajakah yang termasuk macam-macam ibadah?

Jawab : Ibadah itu banyak jenisnya, di antaranya adalah :

doa,
takut,
harap,
tawakal,
roghbah (keinginan),
rohbah (kekhawatiran),
khusyu’,
khas-yah (takut yang dilandasi ilmu),
inabah (taubat),
isti’anah (meminta pertolongan),
isti’adzah (meminta perlindungan),
istighotsah (meminta keselamatan dari bahaya),
menyembelih,
nadzar,
dan jenis-jenis ibadah yang lainnya.

Tanya : Apakah dalilnya?

Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Seluruh masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kamu menyeru bersama-Nya sesuatu pun.” (QS. al-Jin : 18).

Tanya : Apa hukum bagi orang yang mengalihkan ibadah kepada selain Allah?

Jawab : Orang yang melakukannya dihukumi musyrik dan kafir

Tanya : Apakah dalilnya?

Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang menyeru bersama Allah sesembahan yang lain padahal tidak ada bukti baginya, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada akan beruntung.” (QS. al-Mukminun : 117).

Tanya : Perkara apakah yang diwajibkan pertama kali oleh Allah kepada kita?

Jawab : Yaitu mengingkari thaghut dan beriman kepada Allah

Tanya : Apa yang dimaksud dengan thaghut?

Jawab : Segala sesuatu yang menyebabkan hamba melampaui batas, yang berupa sesembahan, orang yang diikuti atau sosok yang ditaati, maka dia adalah thaghut

Tanya : Ada berapakah thaghut itu?

Jawab : Jumlah mereka banyak, namun pembesarnya ada lima :

1 Iblis -semoga Allah melaknatnya-,
2 orang yang diibadahi dan ridha dengan hal itu,
3 orang yang menyeru orang lain untuk beribadah kepada dirinya,
4 orang yang mengaku mengetahui ilmu gaib,
5 dan orang yang berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah

Tanya : Apakah dalilnya?

Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Tidak ada paksaan dalam agama, sungguh telah jelas antara petunjuk dengan kesesatan. Barangsiapa yang mengingkari thaghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya dia telah berpegang dengan buhul tali yang sangat kuat dan tidak akan putus, Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. al-Baqarah : 256).

Tanya : Apa yang dimaksud dengan Urwatul Wutsqa (buhul tali yang sangat kuat)?

Jawab : Maksudnya adalah laa ilaha illallah

Tanya : Apa makna laa ilaha illallah?

Jawab : Laa ilaha adalah penolakan, sedangkan illallah adalah penetapan

Tanya : Apa yang ditolak dan apa yang ditetapkan?

Jawab : Aku menolak segala sesembahan selain Allah dan aku tetapkan bahwa seluruh jenis ibadah harus ditujukan kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya

Tanya : Apakah dalilnya?

Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya; sesungguhnya aku berlepas diri dari semua sesembahan kalian kecuali dari Dzat yang telah menciptakanku, sesungguhnya Dia pasti menunjuki diriku. Dan Allah menjadikan kalimat itu tetap ada pada keturunannya (Ibrahim) semoga mereka mau kembali (kepada kebenaran).” (QS. az-Zukhruf : 26-28).

Tanya : Apakah agamamu?

Jawab : Agamaku Islam, yaitu menyerahkan diri kepada Allah dengan bertauhid, patuh kepada-Nya dengan melakukan ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya

Tanya : Apakah dalilnya?

Jawab : Yaitu firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah hanya Islam.” (QS. Ali Imran : 19).

Dan juga firman-Nya (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan pernah diterima darinya, dan di akhirat nanti dia pasti termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran : 85).

Tanya : Ada berapakah rukun Islam?

Jawab : Ada lima; syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke rumah Allah yang suci jika memiliki kemampuan.

Tanya : Apakah dalil syahadat laa ilaha illallah?

Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Allah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain-Nya, demikian pula para malaikat dan orang-orang yang berilmu, dengan menegakkan keadilan. Tidak ada sesembahan yang benar selain Dia, Yang Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS. Ali Imran : 18).

Tanya : Apakah dalil syahadat anna Muhammadar rasulullah?

Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sekali-kali Muhammad itu bukanlah ayah salah seorang lelaki di antara kalian, namun dia adalah utusan Allah dan penutup nabi-nabi.” (QS. al-Ahzab : 40).

Tanya : Apa makna syahadat anna Muhammadar rasulullah?

Jawab : Maknanya adalah menaati perintahnya, membenarkan beritanya, menjauhi segala larangannya, dan beribadah kepada Allah hanya dengan syari’atnya

Tanya : Apakah dalil sholat, zakat serta tafsir dari tauhid?

Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan tidaklah mereka disuruh melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan penuh ikhlas melakukan amal karena-Nya (tanpa disertai kesyirikan), mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah : 5)

Tanya : Apakah dalil puasa?

Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. al-Baqarah : 183).

Tanya : Apakah dalil haji?

Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Wajib bagi umat manusia untuk menunaikan ibadah haji ke baitullah karena Allah, yaitu bagi orang yang mampu melakukan perjalanan ke sana. Barangsiapa yang kufur maka sesungguhnya Allah Maha kaya dan tidak membutuhkan seluruh alam.” (QS. Ali Imran : 97).

Tanya : Apakah pondasi ajaran dan kaidah dalam agama Islam?

Jawab : Ada dua perkara :

[Pertama] adalah perintah untuk beribadah kepada Allah semata dan memotivasi manusia untuk melakukannya, membangun loyalitas di atasnya dan mengkafirkan orang yang meninggalkannya (tidak beribadah kepada Allah).

[Perkara Kedua] adalah memperingatkan manusia dari kesyirikan dalam hal ibadah kepada Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya, bersikap keras dalam hal itu (mengingkari syirik), membangun permusuhan di atasnya, dan mengakfirkan orang yang melakukannya (kemusyrikan).

Tanya : Ada berapakah rukun iman?

Jawab : Ada enam; yaitu iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan beriman kepada takdir baik dan yang buruk

Tanya : Apakah dalilnya?

Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Bukanlah kebaikan itu kamu memalingkan wajahmu ke arah timur ataupun barat, akan tetapi yang disebut kebaikan adalah orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab, dan para nabi.” (QS. al-Baqarah : 177).

Tanya : Apakah dalil iman kepada takdir?

Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan ukuran/takdir.” (QS. al-Qamar : 49).

Tanya : Apa yang dimaksud ihsan?

Jawab : Ihsan terdiri dari satu rukun yaitu; kamu beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya dan jika kamu tidak bisa maka yakinlah bahwa Dia senantiasa melihatmu

Tanya : Apakah dalilnya?

Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya Allah akan bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. an-Nahl : 128).

Tanya : Siapakah Nabimu?

Jawab : Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib bin Hasyim, sedangkan Hasyim berasal dari keturunan Quraisy, Quraisy dari bangsa Arab, sedangkan Arab merupakan keturunan Nabi Ismail putra Ibrahim al-Khalil (kekasih Allah) semoga shalawat dan salam yang paling utama tercurah kepadanya dan kepada nabi kita.

Tanya : Berapakah umur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Jawab : Enam puluh tiga tahun; empat puluh tahun sebelum diangkat menjadi nabi dan dua puluh tiga tahun sebagai nabi dan rasul

Tanya : Dengan apakah beliau diangkat menjadi Nabi? Dan dengan apa diangkat sebagai rasul?

Jawab : Beliau diangkat menjadi Nabi dengan turunnya Iqra’ dan diangkat sebagai rasul dengan turunnya al-Muddatstsir

Tanya : Di manakah negerinya?

Jawab : Beliau berasal dari Mekah lalu berhijrah ke Madinah, dan kemudian beliau wafat di sana -semoga shalawat dari Allah dan keselamatan senantiasa tercurah kepadanya- setelah Allah sempurnakan agama dengan mengutus beliau (beserta ajarannya).

Tanya : Apa yang dimaksud dengan hijrah?

Jawab : Berpindah dari negeri syirik menunju negeri Islam, sementara hijrah itu tetap berlaku hingga tegaknya hari kiamat

Tanya : Apakah dalilnya?

Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat itu dalam keadaan menganiaya diri mereka sendiri. Maka malaikat bertanya kepadanya; Di manakah dulu kalian berada? Mereka menjawab; Kami dulu berada dalam keadaan tertindas dan lemah di muka bumi. Mereka berkata; bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kalian dapat berhijrah di atasnya? Mereka itulah orang-orang yang tempat kembalinya adalah neraka Jahannam dan sungguh neraka itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’ : 97).

Tanya : Apakah dalilnya dari Sunnah (Hadits)?

Jawab : Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah terputus hijrah sampai taubat terputus, dan tidak akan terputus [kesempatan] bertaubat hingga matahari terbit dari arah tenggelamnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan ad-Darimi).

Tanya : Apakah Rasul masih hidup atau sudah mati?

Jawab : Beliau telah meninggal sedangkan agamanya masih tetap ada hingga hari kiamat tiba

Tanya : Apakah dalilnya?

Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya kamu pasti mati dan mereka pun akan mati, kemudian nanti pada hari kiamat di sisi Rabb kalian maka kalian pun akan saling bermusuhan.” (QS. az-Zumar : 31).

Tanya : Apakah setelah mati manusia akan dibangkitkan?

Jawab : Iya, benar

Tanya : Apakah dalilnya?

Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dari tanah itulah Kami ciptakan kalian dan kepadanya kalian Kami kembalikan, dan dari dalamnya Kami akan mengeluarkan kalian untuk kedua kalinya.” (QS. Thaha : 55).

Tanya : Apakah hukum orang yang mendustakan hari kebangkitan?

Jawab : Orang yang melakukan hal itu adalah kafir

Tanya : Apakah dalilnya?

Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Orang-orang kafir itu mengira bahwa mereka tidak akan dibangkitkan lagi, katakanlah; sekali-kali tidak, demi Rabbku, kalian benar-benar akan dibangkitkan kemudian akan dikabarkan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan [di dunia], dan hal itu bagi Allah sangatlah mudah.” (QS. at-Taghabun : 7).

Diterjemahkan dari :

Maa yajibu ‘alal muslim ma’rifatu wal ‘amalu bihi
Oleh Syaikhul Islam Muhammad bin Sulaiman at-Tamimi rahimahullah
Dengan pengantar Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Alu Jarullah