Friday 30 November 2012

Pengunaan istilah yahudi lebih tepat

Pengunaan istilah yahudi lebih tepat...bukan israel
Bismillah.

«« Katakanlah mereka adalah YAHUDI bukan ISRAEL !! »»

Fatwa Asy-Syaikh Shalih bin Muhammad Al-Luhaidan
Ketua Majelis Qadha` Al-A’la (Majelis Kehakiman Tinggi Saudi Arabia)

Syaikh, kami memliki beberapa pertanyaan. Kami minta izin kepada Anda untuk menyebarkannya.

[Pertama]

Ada pertanyaan yang berbunyi:

“Kami mendengar di sebagian media adanya celaan kepada negeri kita ini (Saudi) dan pemerintahnya, khususnya di akhir-akhir ini. Hal ini terjadi setelah (kejadian) Israil menyerang Libanon. Beberapa komentar sangat kelewatan hingga mereka menjadikan negara Saudi, Israel dan Amerika adalah satu kelompok. Semuanya kafir dan saling berwala’ (berloyalitas).

Apa komentar anda, sebab kami mengetahui bagaimana pemerintah kami mencintai Islam dan kaum Muslimin? (Pemerintah kami) juga mendakwahkan Islam yang benar lagi murni, bahkan di antara mereka (pemerintah) dan para ulama saling memberi nasihat dan musyawarah dalam agama.”

Beliau menjawab:

“Alangkah ngerinya apa yang keluar dari mulut mereka. Yang mereka ucapkan tidak lain adalah dusta. Tidak diragukan lagi bahwa kerajaan Saudi Arabia adalah yang menjadi target untuk disakiti oleh Amerika…

Bukankah mereka telah menyerang lembaga-lembaga amal dan bersemangat untuk menghentikan dan membekukan bantuan (kaum muslimin untuk muslimin). (Amerika) berlagak berbuat baik kepada kerajaan ini di harian-harian mereka yang terkenal. Semoga Allah merendahkan mereka dan menghancurkan berita-berita mereka.

Mereka (Amerika) ingin melecehkan ulama-ulama besar… Mereka menyatakan bahwa para ulama itu mendanai para teroris. Di antaranya sedekah yang diberikan kepada kaum muslimin yang lemah, yang diberikan oleh yayasan sosial.
(Maka) yang mengatakan bahwa Saudi bersama Yahudi dan Amerika, tidak lain hal itu diucapkan oleh orang yang di hatinya ada kedengkian terhadap aqidah ini dan para pemikulnya serta pembelanya. Kedengkian-kedengkian itu hanya akan menjerumuskan para pemiliknya kepada berbagai kehinaan dan kejelekan.

Tidak diragukan lagi, di dunia Islam tidak ada negara yang bisa memberikan bantuan melalui badan-badan dan lembaga-lembaga amal seperti yang dilakukan oleh negara ini. Baik secara pemerintahan atau pribadi.

Saya tidak suka kalau disebut “Israil (yang membantai -pent)”, sebab Israil adalah nama lain dari Nabi Allah, Ya’qub -'alaihissalam-.

Adapun mereka (yang membantai), adalah famili para babi dan monyet… (Yahudi).

Tidak diragukan lagi bahwa mereka adalah Yahudi, tapi mereka bukan Israil. Tapi mereka menggunakan nama itu.
Kemudian nama ini juga tercela bagi umat ini, yakni untuk menyebut dirinya dengan negara Islam atau dakwah Islam atau menjadikan tandanya adalah Islam.

Negara Yahudi menamakan dirinya dengan Israil, yakni menurut dasar keyahudian.

Tidak diragukan lagi bahwa setiap orang yang berakal di dunia ini, baik Nashrani di Barat maupun orang kafir di Timur, pasti tahu bahwa Amerika sangat gigih untuk melecehkan dunia Islam. Akan tetapi –tentu saja– Saudi-lah target utama mereka.

Alhamdulillah, karena kita berpegang teguh kepada agama kita yang benar dan kita menggigitnya –dengan gigi geraham kita– secara jujur serta mengikhlaskan amal kita untuk Allah, maka Allah menolong hamba-hamba-Nya yang beriman. Dan tidak ada penyebab terlambat datangnya pertolongan Allah melainkan karena para hamba menyia-nyiakan agama mereka.

Kita mohon kepada Allah agar menampakkan (hukuman) –dengan segera tanpa ditunda– terhadap Amerika yang akan membahagiakan kaum mukminin… Silahkan.”

Penanya: “Jazakallahu khairan, Syaikh.”

- - -

[Kedua]

Ada yang bertanya:

“Yang kami hormati Asy-Syaikh Shalih bin Muhammad Al-Luhaidan, semoga Allah menjagamu dan menuntunmu. Tidak diragukan lagi bahwa Anda juga mengetahui kenyataan pahit yang dialami kaum muslimin di dunia Islam yang mana terjadi berbagai fitnah dan peperangan. Khususnya peperangan yang terjadi antara Yahudi dan kelompok Hizbullah yang merupakan kelompok Syi’ah di Libanon. Apa sikap seorang muslim terhadap peperangan ini? Sebab kita mendengar adanya ajakan untuk berjihad bersama mereka dan mendoakan kemenangan untuk mereka ketika qunut.

Kaum muslimin menjadi bingung dalam hal ini. Apa pengarahan dari Anda?”

Beliau menjawab:

“Tidak diragukan lagi bahwa kelompok yang menamakan dirinya dengan Hizbullah (kelompok Allah -pent) adalah Hizbur Rafidhah (kelompok Rafidhah/Syi’ah). Dan Rafidhah telah diketahui (kesesatannya -pent) dan telah diketahui (sesatnya) manhaj (metode) mereka. Mereka hakekatnya menganggap mayoritas Ahlus Sunnah… (bahwa) semua Ahlus Sunnah adalah orang kafir. Ini adalah hal yang tidak samar bagi orang yang menelaah buku-buku mereka.
Kita berlindung kepada Allah agar jangan sampai kita menolong, membela, dan membantu mereka yang itu akan membuat mereka semakin kuat. Mereka bagian dari Iran.

Tidak ragu lagi (benarnya -pent) ucapan pemimpin Mesir:

“Sesungguh-nya Syi’ah yang ada di negara ini dengan yang di Iran sama saja. Sebab, kecenderungan dan loyalitas mereka kepada Iran.”

Namun, bila masyarakat tertimpa musibah hendaknya segera memperbaikinya menurut cara yang sesuai (syariat) dan bisa memperbaiki musibah itu.

Adapun apa yang menimpa Libanon secara umum, kalau tidak bisa dikatakan semua, dalangnya adalah kelompok ini. Mereka yang menamakan dirinya dengan kelompok Allah (Hizbullah), sebenarnya mereka adalah Hizbusy Syaithan (kelompok/partai Setan)! Sekian.”

- - -

Fatwa ini adalah kutipan fatwa suara Asy-Syaikh Shalih Al-Luhaidan ketika menjawab dua pertanyaan saat Daurah Al-Imam Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz -rahimahullah-. Lantas situs Ar-Radd mentranskripnya dan menyebarkannya di situsnya serta dikutip di Sahab.net.

Fatwa ini diterjemahkan oleh Abu Mu’awiyah M. Ali bin Ismail Al-Medan
 
 
 

Larangan berdebat

Rupa-rupanya dalam kalam para ulama dan sahabat nabi, mereka antara orang yang paling tidak suka berdebat. Mereka ialah Sulaiman bin Dawud, Ibnu Abbas, Muslim bin Yasar, Umar Abdul Aziz, Muawiyah bin Qurrah, Al-Auza'i, Malik bin Anas, As-Syafi'e, Ahmad bin Hanbal, Fudahil bin Iyadh, Muhammad bin Ja'afar dan ramai lagi. Bahkan, Nabi kita, Muhammad sallallahu' alaihi wa sallam juga melarang perdebat
an. Antara kata-kata ulama tersebut:

اياكم والمنازعة, والخصومة, واياكم وهولاء الذين يقولون ارايت, ارايت؟
"Jauhi oleh kalian perdebatan dan permusuhan. Jauhi oleh kalian orang-orang yang mengatakan: Bagaimana menurutmu, bagaimana pendapatmu.? -Imran Al-Qashir

اذا رايت الرجل لجوما مماريا, فقد تمت خسارته
"Jika kamu meihat seseorang terus-terusan menentang dan berdebat, maka sempurnalah kerugiannya."-Bilal bin saad.

الجدال انه يقسي القلب ويورث الضغائن
"Perdebatan mengeraskan hati dan menimbulkan kebencian.-Muhammad bin Idris Asy-Syafie.

اخبر بالسنة ولا تخاصم عليها
"Sebarkanlah sunnah, dan janganlah berdebat keranannya."-Ahmad bin Hanbal-

اياكم والمراء, فانها ساعة جهل العالم وبها يبتغي الشيطان زلته
"Jauhilah perdebatan, kerana ia adalah saat bodohnya seorang alim: dengan perdebatan itu syaitan ingin dia tergelincir.- Musim bin Yasar.

#Ya, sudah tentu kita melihat orang yang berdebat tidak terlepas dari inginkan kemenangan dan kadang-kala menjadikan orang yang berdebat itu sebagai sasaran serangan peribadi. Hinggalah terkeluar pelbagai perkataan yang kesat dan tidak sepatutnya. Bahkan, jika mampu, elakkan untuk berdebat. Jika tidak, jangan jadikan berdebat sebagai gelanggang untuk mencari kemenangan, tetapi carilah kebenaran.
 
oleh: Mohamad Izwan B. Zainal Abidin
 
 

Tawassul yang diperbolehkan.

Tawasul secara syar’i dibagi menjadi 3 macam. Yaitu:

1. Bertawasul dengan nama-nama baik Allah.

Bertawasul dengan zat Allah yang Maha Suci, dengan nama-nama-Nya yang baik, dengan sifat-sifat-Nya, atau dengan perbuatan-Nya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hanya milik Allah asmaa-ul husna , maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu…” (QS. Al A’raf:180). Dal

ilnya juga adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa beliau, “… Aku memohon dengan setiap nama-Mu, yang Engkau memberi nama diri-Mu dengannya, atau yang Engkau ajarkan kepada salah satu makhluk-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau sembunyikan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu…” (H.R Ahmad. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih, Silsilah Ash Shahihah no. 199).

2. Bertawasul dengan amalan-amalan baik.

Bertawasul dengan amal sholih juga diperbolehkan. Dalilnya adalah firman Allah (yang artinya), “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui“. (QS. Al Baqarah:127). Adapun dalil dari hadits yakni dalam kisah tiga orang yang terperangkap dalam gua. Mereka bertawasul dengan amal shalih yang mereka lakukan berupa berbuat baik kepada kedua orangtua, meninggalkan perbuatan zina, dan menunaikan hak orang lain, maka Allah mengabulkan doa mereka sehingga mereka dapat keluar dari goa karena sebab tawasul dalam doa yang mereka lakukan. Ini menunjukkan diperbolehkannya sesorang bertawasul dengan amal sholih.

3. Bertawasul dengan doa orang lain.

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala ketika mengkisahkan anak-anak Nabi Ya’qub ‘alaihis salaam (yang artinya), “Mereka berkata: “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)“.(QS. Yusuf:97). Sedangkan dalil dari hadits adalah doa Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ‘Ukasyah bin Mihson radhiyallhu ‘anhu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon kepada Allah agar menjadikan ‘Ukasyah termasuk tujuh puluh ribu golongan yang masuk surga tanpa hisab.
 
 
 

hadith jiran itu dhoif (lemah)

Hadith dhoif:

"Hak tetangga itu sampai empat puluh rumah, ke arah kanan, kiri, depan dan belakang."

Diriwayatkan oleh Abu Ya'la dalam Musnad (10/385/5982) beliau, Ibnu Hibban dalam adh-Dhu'afa' (2/150), dari Muhammad bin Jami' al-Athor, '' Telah menceritakan kepada kami Muhammad Bin Utsman , telah menceritakan kepada kami Abdus Salam bin Abul Janub , dari Abu Salamah, dari Abu Hurairoh secara ma

rfu''.''

Sisi cacat hadith ini ada tiga:

1) Pada sanadnya ada seseorang yang bernama Abdus Salam bin Abul Janub. Ibnu Hibban berkata, '' Hadithnya mungkar.''Abu Hatim berkata,'' Hadithnya matruk (ditinggalkan).''

2) Pada sanadnya terdapat Muhammad bin Jami' al-Aththor. Imam al-haitsami berkata,"Dia itu lemah".

3) Pada sanadnya juga ada Muhammad bin Utsman al-Makki, dan dia itu seorang yang lemah.

Oleh kerana itu imam al-'iroqi berkata dalam Takhrij Ihya' (2/189),'' Hadith ini lemah."
 
 

Melarang Nusyrah (mengubati sihir dengan sihir)

Ahlus Sunnah Melarang Nusyrah (mengubati sihir dengan sihir)

Dalil:

1) Dari Jabir Bin Abdillah , ia berkata : " Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya tentang nusyrah , maka Rasululah SAW menjawab:

" Nusyrah itu termasuk perbuatan syaitan. (HR. Ahmad(294), Abu daud (no.3868)


 "sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan penyakit kamu pada apa2 yang diharamkan atas kamu. (HR.Bukhari dengan sanadnya yang shahih).

 Cara mengatasi untuk mereka yang terkena sihir, guna2, santau dan lainnya , hendaklah ia berobat dengan rawatan islam dengan cara memakan 7 biji kurma Ajwah (kurma Nabi SAW) setiap pagi, minum habbatus sauda' (jintan hitam, dan druqyah ( dibacakan dengan ayat2 quran dan doa2 dari rasulullah yang shahih), InsyaAllah , akan sembuh dengan izin Allah.

Amaran keras terhadap ilmu kalam

Penjelasan Sikap Ahlus sunnah wal jamaah terhadap ilmu kalam.

Imam Abu hanifah berkata: "Aku telah menjumpai para ahli kalam. Hati mereka keras, jiwanya kasar, tidak peduli jika mereka bertentangan dengan al-quran dan assunnah. Mereka tidak memiliki sifat wara' dan tidak juga taqwa.

Imam Abu hanifah juga berkata ketika ditanya tentang pembahasan yang diada-adakan dalam ilmu kalam menngenai sosok

dan bentuk (bagi dzat Allah), ia berkata "hendaklah engkau berpegang dengan As-sunnah dan jalan yang telah ditempuh oleh salafus shalih. Jauhilah olehmu setiap hal baru, kerana ia adalah bid'ah. (Manhaj Imam as-syafi'i Itsbatil 'aqidah)

Imam Malik b. Anas berkata: "seandainya ilmu kalam adalah ilmu, nescaya para sahabat dan tabiin akan membicarakannya sebagaimana pembicaraan mereka terhadap ilmu2 syariat , akan tetapi ilmu kalam adalah sebuah kebathilan yang menunjukkan kepada kebathilan. (Syarhus sunnah dan al=amru bil ittiba')

Imam syafi'i berkata: "para ulama ilmu kalam tidak akan pernah beruntung selama-lamanya." Beliau juga mengucapkan : "hukum untuk ahli kalam menurutku adalah mereka harus dicambuk dengan pelepah kurma dan sandal(sepatu) dan dinaikkan ke unta, lalu diiring keliling kampung. Dan dikatakan "inilah balasan orang yang meninggalkan al-kitab dan assunnah serta mengambil ilmu kalian. (Ahadits Dzammil kalam wa ahlih).

Segala ilmu selain Al-quran hanyalah menyibukkan, terkecuali ilmu hadith dan fiqh untuk mendalami agama.

Imam Ahmad berkata: " pemilik ilmu kalam tidak akan beruntung selamanya. Para ulama kalam itu adalah zindiq (orang yang menampakkan permusuhan terhadap Islam).
(kitab tablis iblis dan manhaj aqidah imam assyafi'i)

Ulama Ahlu sunnah sentiasa mendahulukan naql (wahyu) daripada 'aql (akal). Namun penggunaan akal menurut ahlus sunnah:

1) syariat didahulukan atas akal, kerana syariat itu ma'shum sedangkan akal tidak ma'shum.

2) akal mempunyai kemampuan mengenal dan memahami yang bersifat global, tidak bersifat terperinci.

3) apa yang benar dari hukum akal pasti tidak bertentangan dengan syariat.

4) apa yang salah dari pemikiran akal adalah apa yang bertentangan dengan syariat.

(lihat al-madkhal li dirasaatil 'aqidah al islamiyyah 'aala madzhab ahlis suunah wal jamaah)
 
 
 
 

Thursday 29 November 2012

Doa untuk pemerintah

[Artikel] Doa Mustajab Buat Pemerintah

oleh:  Abu Numair Nawawi B. Subandi
Kalau kita lihat dari hari ke sehari, fitnah politik yang melanda agak menyesakkan. Pelbagai isu berlaku dan masing-masing bertindak mahu menjadi juara pidato! Tidak kurang di antara mereka yang saling bertindak membelasah sesiapa sahaja yang tidak sealiran.
Namun, apa yang mahu penulis jabarkan dalam tulisan ini bukanlah menambahkan lagi kekeruhan dan kekusutan dalam sebuah pertembungan yang telah sedia berlangsung. Tetapi, penulis berniat mengajak untuk muhasabah diri dan kembali merenung prinsip-prinsip yang ditinggalkan oleh para ulama generasi awal dalam menghadapi pelbagai bentuk fitnah politik dan kepimpinan sesebuah negara.
Kemunculan pelbagai fitnah politik, kepelbagaian sikap pemimpin, serta sikap-sikap kepembangkangan dalam isu-isu kepimpinan bukanlah suatu yang asing dalam sejarah umat Islam. Bahkan ia telah dikhabarkan sendiri oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Persoalannya, apakah saranan dan tindakan yang diperintahkan oleh agama kepada kita semua dalam menghadapi mehnah politik tersebut? Jadi, itulah yang mahu kita lihat dan renung-renungkan.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِيْ أَثَرَةً فَاصْبِرُوْا حَتَّى تَلْقَوْنِيْ عَلَى الْحَوْضِ
“Bahawasanya kamu nanti akan menemui atsarah (pemegang amanah (pemimpin) yang mementingkan diri). Maka bersabarlah sehingga kamu menemuiku di haudh.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, no. 4330. Muslim, no. 1061, 1845)
Imam an-Nawawi rahimahullah (Wafat: 676H) menjelaskan, “Hadis ini mengandungi anjuran untuk mendengar dan taat kepada pemerintah, walaupun ia merupakan seorang yang zalim dan mementingkan dirinya. Maka berikanlah haknya (sebagai pemimpin) iaitu berbentuk ketaatan, tidak keluar dari mentaatinya, dan tidak menjatuhkannya. Tetapi (perbuatan yang perlu dilakukan oleh seseorang muslim adalah) dengan bersungguh-sungguh lebih mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala supaya Allah menghilangkan gangguan (atau siksaan) darinya, menolak kejahatannya, dan supaya Allah memperbaikinya (kembali taat kepada Allah dengan meninggalkan kezalimannya).” (Syarah Shahih Muslim, 12/232)
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (Wafat: 728H) menyatakan, “Aku telah menyebutkan di perbahasan yang lain bahawa punca kepada masalah yang berlaku kepada penguasa, kemudian para menterinya, hakim-hakimnya, dan para panglimanya bukan hanya perlu dilihat dari kekurangan diri mereka sahaja, akan tetapi kerana kekurangan para pemimpin dan rakyat sekaligus, kerana sebagaimana keadaan kamu, maka begitulah akan dijadikan pemimpin untuk kamu.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman (pemimpin) bagi sebahagian yang lain.” (Surah al-An’am, 6: 129).
Telah diketahui dan ditetapkan secara masyhur pada selain tempat ini bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan supaya mentaati para pemimpin selagi mana bukan dalam urusan maksiat, (bertindak) menasihati mereka, bersabar di dalam menerima keputusan dan ketetapan mereka, berperang bersama-sama mereka, solat di belakang mereka, dan mengikuti mereka di dalam perkara-perkara yang baik yang tidak dilaksanakan melainkan oleh mereka.” (Majmu’ al-Fatawa, 35/20-21)
Demikian nasihat para ulama dalam menghadapi fitnah politik. Kita tidak seharusnya menyandarkan apa yang berlaku semata-mata ke atas tubuh badan pemerintah, tetapi sebaliknya perlu melihat secara keseluruhan dan bertindak dengan syar’i. Iaitu dengan memperbaiki pegangan agama kita dalam persoalan iman dan amal-amal soleh agar sentiasa selari dengan ketetapan nash-nash yang sahih. Seterusnya hendaklah sentiasa membantu dan bersama-sama pemimpin melaksanakan kebaikan serta saling menasihati dan serta saling mendoakan kebaikan untuk pemimpin Islam dan umat Islam secara umum. Kerana kebaikan pemimpin itu amat bermanfaat kepada semua pihak.
Al-Hafiz Abu Bakar al-Ismaili rahimahullah (Wafat: 371H) berkata:
ويرون الدعاء لهم بالإصلاح والعطف إلى العدل، ولا يرون الخروج بالسيف عليهم ولا قتال الفتنة، ويرون قتال الفئة الباغية مع الإمام العدل، إذا كان وجد على شرطهم في ذلك
“Dan mereka (ahli hadis) berpandangan disyariatkan berdoa untuk kebaikan para pemimpin umat Islam dan supaya mereka berubah untuk bersikap adil dan mereka juga berpandangan tidak boleh memberontak terhadap mereka dengan senjata dan hendaklah orang muslim tidak turut serta berperang ketika terjadi fitnah (pertikaian di antara kaum muslimin sendiri) dan mereka juga berpandangan tentang wajibnya memerangi golongan yang zalim yang dilakukan bersama pemimpin yang adil apabila ditentukan kesesuaian dengan syarat yang mereka tetapkan dalam perkara tersebut.” (Abu Bakar al-Ismaili, I’tiqad A’immatul Hadits, m/s. 75-76)
Imam al-Baihaqi rahimahullah (Wafat: 458H) meriwayatkan daripada Abu ‘Utsman rahimahullah. Katanya:
فانصح للسلطان و أكثر له من الدعاء بالصلاح و الرشاد بالقول و العمل و الحكم فإنهم إذا صلحوا صلح العباد بصلاحهم
و إياك أن تدعو عليهم باللعنة فيزدادوا شرا و يزداد البلاء على المسلمين و لكن ادع لهم بالتوبة فيتركة الشر فيرتفع البلاء عن المؤمنين
“Nasihatilah para pemerintah, banyakkanlah berdoa untuk kebaikan dan kebenarannya dalam beramal dan dalam ucapan serta ketika memutuskan hukuman. Maka, apabila mereka baik, maka akan baiklah rakyatnya. Berhati-hatilah kamu, jangan sampai mendoakan keburukkan atau melaknat mereka, kerana yang demikian itu hanya akan menambahkan keburukkan ke atas umat Islam. Tetapi, mintakanlah keampunan kepada Allah untuk pemerintah semoga mereka meninggalkan perbuatan yang buruk yang dengannya akan dihilangkan musibah umat Islam pula.” (al-Baihaqi, Syu’abul Iman, no. 7401)
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah (Wafat: 321H) menyebutkan dalam kitab aqidah beliau:
وَلاَ نَرَى الْخُرُوجَ على أَئِمَّتِنَا وَوُلاَة أُمُورِنَا، وَإِنْ جَارُوا، وَلاَ نَدْعُو عَلَيْهِمْ، وَلاَ نَنْزِعُ يَدًا مِنْ طَاعَتِهِمْ، وَنَرَى طَاعَتَهُمْ مِنْ طَاعَة الله عَزَّ وَجَلَّ فَرِيضَة، مَا لَمْ يَأْمُرُوا بِمَعْصِيَة، وَنَدْعُوا لَهُمْ بِالصَّلَاحِ وَالْمُعَافَاة
“Kami tidak membenarkan keluar dari ketaatan terhadap imam dan ulil amri (pemerintah) walaupun mereka seorang yang zalim. Dan kami tidak membenarkan mendoakan keburukan ke atas mereka. Dan kami juga tidak membenarkan keluar dari ketaatan terhadap mereka. Kami berpendapat bahawa taat kepada pemerintah adalah sebahagian dari bentuk ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla yang diwajibkan ke atas kita selagi mana mereka tidak memerintahkan kita untuk melakukan maksiat. Kami juga mendoakan mereka supaya mendapat kebaikan dan keselamatan.” (Matan Aqidah ath-Thahawiyah)
Demikian juga Imam al-Barbahari rahimahullah (Wafat: 329H), beliau turut menyatakan perkara yang sama sebagai sebahagian dari prinsip-prinsip dasar aqidah ahlus sunnah wal-jama’ah. Beliau mengatakan dalam kitab aqidah beliau:
“Jika kamu melihat orang yang berdoa keburukan kepada pemimpin, ketahuilah bahawa ia termasuk salah seorang pengikut hawa nafsu, namun apabila kamu melihat orang yang berdoa untuk kebaikan seseorang pemimpin, ketahuilah bahawa ia tergolong sebagai seorang ahli sunnah, insyaAllah.
Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika aku memiliki doa yang baik yang makbul, maka semuanya akan aku persembahkan (pohonkan) untuk pemerintah.” Beliau ditanya, “Wahai Abu Ali, jelaskan maksud ucapan tersebut?” Beliau berkata, “Bila doa itu hanya aku tujukan untuk diriku, maka ia hanya bermanfaat untuk diriku, tetapi apabila aku pohonkan untuk pemimpin dan ternyata para pemimpin berubah menjadi baik, maka semua orang dan negara merasakan manfaat dan kebaikan.” (Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam “al-Hilyah” (8/91) dari jalan Mardawaih as-Shabigh dan sanad Abu Nu’aim adalah sahih)
Kita diperintahkan untuk mendoakan mereka dengan kebaikan bukan keburukan, walaupun ia seorang pemimpin yang zalim lagi jahat kerana kezaliman dan kejahatan akan kembali kepada diri mereka sendiri manakala apabila mereka (pemimpin) menjadi baik maka mereka dan seluruh kaum muslimin akan merasakannya.” (Syarhus Sunnah, m/s. 83-84)
Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari rahimahullah (Wafat: 324H) menegaskan dalam kitab aqidahnya:
ونرى الدعاء لأئمة المسلمين بالصلاح والإقرار بإمامتهم، وتضليل من رأى الخروج عليهم إذا ظهر منهم ترك الاستقامة
“Dan kami (ahli sunnah wal-jama’ah) beri’tiqad akan kesunnahan mendoakan dengan doa-doa kebaikan untuk pemerintah kaum muslimin dan mengakui kepimpinan mereka serta menganggap sesat sesiapa sahaja yang berpendapat perlu memberontak ke atas pemerintah jika mereka melakukan kezaliman.” (al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah, m/s. 20)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Doa seseorang muslim kepada saudaranya tanpa pengetahuan saudaranya tersebut adalah doa yang mustajab (dikabulkan). Di sisinya ada malaikat. Ketika dia berdoa kebaikan kepada saudaranya, malaikat tersebut mengatakan, “Amin, engkau akan mendapatkan yang sama dengannya.” (Hadis Riwayat Muslim, no. 2733)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ
“Sebaik-baik pemimpin bagi kamu adalah orang-orang yang kamu semua cintai dan mereka pun mencintai kamu semua, juga yang kamu semua mendoakan kebaikan untuk mereka dan mereka pun mendoakan kebaikan untuk kamu semua.” (Hadis Riwayat Muslim, no. 1855)
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz B. Bazz rahimahullah ketika ditanya berkenaan orang-orang yang enggan mendoakan kebaikan untuk pemerintahnya, maka beliau menjawab:
هذا من جهله، وعدم بصيرته؛ لأن الدعاء لولي الأمر من أعظم القربات، ومن أفضل الطاعات، ومن النصيحة لله ولعباده، والنبي صلى الله عليه وسلم لما قيل له: إن دوساً عصت وهم كفار قال: ((اللهم اهد دوساً وائت بهم)) فهداهم الله وأتوه مسلمين. فالمؤمن يدعو للناس بالخير، والسلطان أولى من يدعى له؛ لأن صلاحه صلاح للأمة، فالدعاء له من أهم الدعاء، ومن أهم النصح أن يوفق للحق وأن يعان عليه، وأن يصلح الله له البطانة، وأن يكفيه الله شر نفسه وشر جلساء السوء، فالدعاء له بالتوفيق والهداية وبصلاح القلب والعمل وصلاح البطانة من أهم المهمات، ومن أفضل القربات، وقد روي عن الإمام أحمد رحمه الله أنه قال: (لو أعلم أن لي دعوة مستجابة لصرفتها للسلطان)، ويروى ذلك عن الفضيل بن عياض رحمه الله.
“Ini berpunca dari kejahilan dan lemahnya pengetahuan. Berdoa kepada pemerintah adalah sebahagian dari sebesar-besar amalan yang mendekatkan diri kepada Allah dan merupakan seafdhal-afdhal ketaatan. Ini termasuk sebahagian nasihat kerana Allah dan hamba-hamba-Nya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam apabila diajukan kepadanya tentang kaum Daus yang telah melakukan maksiat (kerana menolak dakwah Islam) dan mereka adalah orang-orang kafir. Beliau pun berdoa: “Ya Allah, berilah hidayah kepada kaum Daus dan selamatkanlah mereka. Ya Allah, berilah hidayah kepada kaum Daus dan selamatkanlah mereka.”
Rasulullah mendoakan manusia dengan kebaikan. Pemerintah merupakan orang yang paling perlu didoakan kerana kebaikannya merupakan kebaikan kepada seluruh masyarakat (rakyat). Maka doa untuk pemerintah merupakan doa yang sangat penting. Di antara nasihat yang sangat penting adalah supaya ia diberi taufiq ke arah kebenaran dan bantuan kebaikan. Ia didoakan supaya diberikan Allah para pembantu yang baik dan didoakan supaya Allah menyelamatkannya dari kejahatan dirinya serta kejahatan pembantunya. Maka mendoakan pemerintah dengan taufiq, hidayah, kebaikan hati serta amalan, dan kebaikan para pembantunya adalah suatu tugas yang penting dan ia adalah seafdhal-afdhal pendekatan diri kepada Allah.
Diriwayatkan daripada Imam Ahmad rahimahullah bahawasanya beliau berkata, “Jika aku memiliki doa yang baik yang dimakbulkan, maka semuanya akan aku persembahkan (pohonkan) untuk pemerintah.” Perkataan ini juga diriwayatkan daripada Fudhail B. ‘Iyadh rahimahullah. (Fatwa Syaikh ‘Abdul ‘Aziz B. Bazz, http://www.binbaz.org.sa/mat/1941)
Begitulah sikap para ulama ahlus sunnah wal-jama’ah apabila berhadapan dengan fitnah politik dan karenah para pemerintah. Mereka tetap melaksanakan ketaatan kepada pemerintah sebagaimana saranan agama. Mereka tidak suka kepada pemberontakan sama ada yang dilakukan dengan lisan seperti menebar aib, menghina, mencaci, memaki hamun, menghambur kesalahan penguasa di media-media terbuka, dan memalukan pemerintah. Apatah lagi pemberontakan secara kekerasan seperti melakukan demonstrasi jalanan, provokasi, dan pelbagai lagi bentuk-bentuk lainnya yang hanya membawa kepada kesan yang jauh lebih buruk bukan sahaja kepada diri pelaku, malah kepada masyarakat umum seluruhnya.
Tetapi pendirian mereka adalah dengan mengambil sikap menasihati, memperkuatkan kesabaran, sentiasa memperbaiki diri dengan ilmu, dan mendoakan dengan doa-doa kebaikan.
Jadi, berapa ramaikah di antara kita yang telah bersungguh-sungguh bersimpuh sujud dan bertahajjud di keheningan malam memohon kepada Allah supaya memberikan hidayah kebaikan buat para pemimpin dengan penuh ketulusan?
Berapa ramaikah di antara kita hari ini yang telah bersungguh-sungguh memenuhi syarat-syarat berdoa agar doa-doa kita diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu berdoa memohonkan kebaikan buat para pemerintah?
Dari itu, fahamilah perkara ini dengan ilmu yang syar’i di atas prinsip-prinsip yang benar sebagaimana dijelaskan oleh para ulama ahlus sunnah wal-jama’ah. Dan bukan dengan prinsip-prinsip para tokoh yang menyimpang sebagaimana kaum khawarij yang sering mengumandangkan prinsip-prinsip kepembangkangan dan pemberontakan saban waktu. Fahamilah juga bahawa bagaimana diri-diri kamu, maka demikianlah pemerintah bagi kamu. Peribadi pemimpin itu adalah cerminan masyarakat secara umum.
[*] Sebahagian perbahasan berkaitan yang disebutkan secara umum dalam bahagian ini telah pun diperincikan dalam tulisan yang lain; http://www.ilmusunnah.com/?p=7865

Hukum lelaki bergaul (bermuamalah) dengan wanita melalui internet

Hukum lelaki bergaul (bermuamalah) dengan wanita melalui internet


24 November 2011
Oleh syaikh Abu Abdil Mu’izz Muhammad ‘Ali Ferkous

Fatwa No 116, kategori: fatwa keluarga – kewanitaan
Pertanyaan: Apa hukum pelajaran dan studi ilmiyah secara tertulis yang mengumpulkan antara pengguna lelaki dan wanita dalam forum-forum internet? Baarokallahu fikum.

Jawaban:
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Semoga shalawat dan salam dicurahkan kepada beliau yang diutus Allah sebagai rahmat untuk alam, juga kepada keluarganya, para shahabatnya, dan saudara-saudaranya (seislam) sampai hari pembalasan nanti. Adapun sesudah itu,
Mengadakan muamalah (pergaulan) secara lisan atau tertulis atau dengan dua-duanya bersamaan dengan wanita ajnabiyah (selain mahram), jika tidak diiringi dengan ketentuan amannya dari fitnah, dan pergaulan itu terjadi dari dua arah, terus-menerus, berentetan, maka itu bahayanya jelas atas agama dan kehormatan seorang lelaki. Telah datang dalam satu hadits:
«مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ»

“Tidak aku tinggalkan satu fitnah setelahku yang lebih bahaya untuk para lelaki daripada para wanita.” (HR al-Bukhari: Kitab an-Nikah Bab Ma Yuttaqa min Syuum al-Mar’ah 5096 dan Muslim: Kitab ar-Riqaq 2740 dari hadits Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma)

 Dan telah diketahui dari perbincangan wanita dengan lelaki ajnabi (bukan mahram) seharusnya dipakai adab yang sempurna sesuai dengan keperluan, agar tidak memunculkan dalam hati lelaki pendengar satu ketertarikan yang akan berkembang pada hati lelaki yang mempunyai penyakit.

Oleh kerana itu, setiap pergaulan dengan pembicaraan atau tulisan yang mengandungi ketundukan, kelembutan, irama, nada, perbualan yang tak berfaedah, senda gurau, keramahan, gurauan, dan lainnya yang akan menimbulkan syahwat dan menggerakkan tabiat, maka itu terlarang untuk menutup jalan kepada yang haram. Method dalam pergaulan ini keluar dari pembicaran yang beradab dan ucapan yang baik, bahkan suara yang lembut dan yang rendah akan memungkinkan –tanda diragukan- tabiat-tabiat dan syahwat untuk naik dan muncul baik jaraknya dekat atau jauh. Allah berfirman:

﴿يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا﴾ [

“Wahai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 32)
Ketika beberapa akhwat (para wanita) tidak memenuhi ketentuan ini dan tidak menghormati batasan-batasan syariat dalam ucapan, perbincangan, dan surat-menyurat mereka, maka yang lebih selamat untuk kehormatan dan agama adalah meninggalkan bergaul (bermuamalah) dengan para wanita kecuali dalam batasan yang sempit dengan memenuhi syarat-syarat amannya dari fitnah dan dalam ikatan kebutuhan secara syariat. NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

« .. فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ»

“Takutlah kalian dari dunia, dan takutlah kalian dari para wanita. Sesungguhnya fitnah pertama pada bani israil adalah dalam masalah wanita.” (HR. Muslim: Kitab ar-Riqaq 2742 dari Abi Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)

Dan ilmunya di sisi Allah. Dan akhir seruan kami segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Dan semoga shalawat dan sallam tercurah atas Nabi Muhammad, keluarganya, para shahabatnya, saudara-saudaranya (seislam) sampai hari pembalasan, demikian juga keselamatan.
Al-Jazair, 10 Syawwal 1432 H / 8 September 2011
Sumber: Website resmi Yang Mulia Syaikh Muhammad ‘Ali Ferkous hafizhahullah ta’ala

kenapa perlu memilih teman?

Seseorang itu berdasarkan agama teman dekatnya



Rosululloh -shalallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

الأرواح جنود مجندة فما تعارف منها ائتلف وما تناكرمنها اختلف

“Ruh-ruh itu adalah tentara yang berkelompok-kelompok. Yang saling mengenail akan saling mendekati, dan yang tidak saling kenail akan saling menjauih.” [HSR Al Bukhori secara muallaq, dan bersambung di “Al Adabul Mufrod”, dan Imam Muslim si “Shohih” beliau dari Aisyah –radhiyallohu `anha-]

Dan dari Abu Huroiroh bahwasanya Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

«الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ». (سنن أبى داود – (4835) والترمذي (2552))

“Seseorang itu berdasarkan agama teman dekatnya. Maka hendaknya seseorang dari kalian itu memperhatikan dengan siapa dia berteman dekat.” [HSR Abu Dawud (4835) dan At Tirmidzi (2552)]

Ibnu Mas`ud –radhiyallohu `anhu- berkata:

إنما يماشي الرجل ويصاحب من يحبه ومن هو مثله (“الإبانة” لابن بطة /2 /476)

“Seseorang itu hanyalah akan mengajak berjalan dan bersahabat dengan orang disukainya dan yang seperti dirinya” [“Al Ibanah” 2\476\ karya Imam Ibnu Baththoh -rahimahulloh-]

Muadz bin Muadz berkata:

قلت ليحيى بن سعيد: يا أبا سعيد الرجل وإن كتم رأيه لم يخف ذاك في ابنه ولا صديقه ولا جليسه

“Aku berkata kepada Yahya bin Said.”Wahai Abu Said, sesungguhnya seseorang itu walaupun menyembunyikan pemikirannya, yang demikian itu tidak tersembunyi pada anaknya ataupun sahabatnya dan teman duduknya.” [“Al Ibanah” 2\474\ karya Imam Ibnu Baththoh -rahimahulloh-]

Qotadah -rahimahulloh- berkata:

إنا والله ما رأينا الرجل يصاحب من الناس إلا مثله وشكله فصاحبوا الصالحين من عباد الله لعلكم أن تكونوا معهم أو مثلهم

“Sesungguhnya kami –demi Alloh- tidaklah kami melihat seseorang itu mengambil sahabat dari manusia kecuali yang semisal dan seperti dirinya. Maka ambillah sahabat dari kalangan orang-orang yang shalihin dari hamba-hamba Alloh, semoga kalian boleh bersama mereka atau menjadi seperti mereka.” [“Al Ibanah” 2\480\ karya Imam Ibnu Baththoh -rahimahulloh-]

Imam Al Auza`i -rahimahulloh- berkata:

من ستر علينا بدعته لم تخف علينا ألفته

“Barangsiapa menyembunyikan dari kami kebid`ahannya, tidak tersembunyi dari kami teman akrabnya.” [“Al Ibanah” 2\479\ karya Imam Ibnu Baththoh -rahimahulloh-]

Muhammad bin Ubaid Al Ghulabi -rahimahulloh- berkata:

يتكاتم أهل الأهواء كل شيء إلا التآلف والصحبة

“Para Ahlul Ahwa` saling menyembunyikan segala sesuatu kecuali keakraban dan persahabatannya.” [“Al Ibanah” 2\479\ karya Imam Ibnu Baththoh -rahimahulloh-]

Imam Ibnu Baththoh -rahimahulloh- berkata:

فانظروا رحمكم الله من تصحبون ، وإلى من تجلسون ، واعرفوا كل إنسان بخدنه ، وكل أحد بصاحبه ، أعاذنا الله وإياكم من صحبة المفتونين ، ولا جعلنا وإياكم من إخوان العابثين ، ولا من أقران الشياطين ، وأستوهب الله لي ولكم عصمة من الضلال ، وعافية من قبيح الفعال » (“الإبانة الكبرى” لابن بطة – تحت رقم 46)

“Maka perhatikanlah –semoga Alloh merahmati kalian- siapa yang kalian bersahabat dengannya, dan dengan siapakah kalian duduk, dan kenalilah setiap orang dengan teman dekatnya dan setiap orang dengan sahabatnya. Semoga Alloh melindungi kami dan kalian dari pertemanan orang yang terfitnah, dan jangan menjadikan kami dan kalian termasuk dari kalangan saudara orang-orang yang berbiat sia-sia, ataupun sejawat setan. Dan aku memohon pada Alloh untuk kami dan kalian karunia penjagaan dari kesesatan, dan keselamatan dari perbuatan yang buruk.” [“Al Ibanah” nomor 46 karya Imam Ibnu Baththoh -rahimahulloh-]

Imam Ibnu Baththoh -rahimahulloh- meriwayatkan:

ولما قدم سفيان الثوري رحمه الله البصرة جعل ينظر إلى أمر الربيع – يعني ابن صبيح- وقدره عند الناس، سأل أي شيء مذهبه؟ قالوا: ما مذهبه إلا السنة. قال: من بطانته؟ قالوا: أهل القدر. قال: هو قدري

“Manakala Sufyan Ats Tsauri -rahimahulloh- tiba di Bashroh beliau mulai melihat keadaan Robi` – yakni Ibnu Shubaih- dan martabat dia di kalangan orang-orang. Beliau bertanya,”Apa madzhab dia?” Mereka menjawab,”Tidaklah madzhabnya kecuali As Sunnah.” Beliau bertanya,”Siapakah teman peribadinya?” Mereka menjawab,”Ahlul Qodar.” Beliau berkata,”Dia itu qodari.” [“Al Ibanah” 2\456\ karya Imam Ibnu Baththoh -rahimahulloh-]
 

siapa itu syiah?

Apa Itu Syi’ah?
Syi’ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. (Tahdzibul Lughah 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus 5/405, karya az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq Mu’ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali al-Awaji). Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib z lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. (al-Fishal fil Milali wal Ahwa wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm)
Syi’ah, dalam sejarahnya mengalami sejumlah pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok ini terpecah menjadi lima sekte yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (Rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat, dan Isma’iliyyah. Dari kelimanya, lahir sekian banyak cabang-cabangnya. (al-Milal wan Nihal, hlm. 147, karya asy-Syihristani). Tampaknya, yang terpenting untuk diangkat pada kesempatan kali ini adalah sekte Imamiyyah atau Rafidhah, yang sejak dahulu hingga kini berjuang keras untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Dengan segala cara, kelompok sempalan ini terus-menerus menebarkan berbagai macam kesesatannya. Terlebih lagi kini didukung dengan negara Iran-nya.
Rafidhah رَافِضَة, diambil dari رَفَضَ – يَرْفُضُ yang menurut etimologi bahasa Arab bermakna تَرَكَ – يَتْرُكُ, meninggalkan (al-Qamus al-Muhith, hlm. 829). Sedangkan dalam terminologi syariat bermakna: Mereka yang menolak imamah (kepemimpinan) Abu Bakr dan Umar, berlepas diri dari keduanya, dan mencela sekaligus menghina para sahabat Nabi n. (Badzlul Majhud fi Itsbati Musyabahatir Rafidhati lil Yahud, 1/85, karya Abdullah al-Jumaili). Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan Umar c.” (ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hlm. 567, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t)
Sebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abu Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86)
Asy-Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari  berkata,
“Zaid bin ‘Ali adalah seorang yang melebihkan ‘Ali bin Abu Thalib z atas seluruh sahabat Rasulullah n, mencintai Abu Bakr dan ‘Umar, serta memandang bolehnya memberontak1 terhadap para pemimpin yang jahat. Maka ketika ia muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan ‘Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka ia katakan kepada mereka:
رَفَضْتُمُوْنِي؟
“Kalian tinggalkan aku?”
Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka “Rafadhtumuunii.” (Maqalatul Islamiyyin, 1/137)
Demikian pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t dalam Majmu’ Fatawa (13/36). Rafidhah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi’ah membenci Abu Bakr dan ‘Umar sebagaimana keadaan Syi’ah Zaidiyyah. Rafidhah sendiri terpecah menjadi beberapa cabang. Namun yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan kali ini adalah al-Itsna ‘Asyariyyah.
Siapakah Pencetusnya?
Pencetus pertama bagi paham Syi’ah Rafidhah ini adalah seorang Yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin Saba’ al-Himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan ‘Utsman bin Affan2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Asal ar-Rafdh ini dari munafiqin dan zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, pen). Pencetusnya adalah Abdullah bin Saba’ az-Zindiq. Ia tampakkan sikap ekstrem di dalam memuliakan ‘Ali, dengan suatu slogan bahwa ‘Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa, pen).” (Majmu’ Fatawa, 4/435)
Sesatkah Syi’ah Rafidhah ?
Berikut ini akan dipaparkan prinsip (akidah) mereka dari kitab-kitab mereka yang ternama, untuk kemudian para pembaca bisa menilai sejauh mana kesesatan mereka.
a.    Tentang Al-Qur’an
Di dalam kitab al-Kafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti Shahih al-Bukhari di sisi kaum muslimin), karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini (2/634), dari Abu Abdullah (Ja’far ash-Shadiq), ia berkata, “Sesungguhnya Al-Qur’an yang dibawa Jibril kepada Muhammad (ada) 17.000 ayat.”
Di dalam Juz 1, hlm. 239—240, dari Abu Abdillah ia berkata, “…Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fathimah ‘alaihassalam. Mereka tidak tahu apa mushaf Fathimah itu. Abu Bashir berkata, ‘Apa mushaf Fathimah itu?’ Ia (Abu Abdillah) berkata, ‘Mushaf tiga kali lipat dari apa yang terdapat di dalam mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari Al-Qur’an kalian…’.” (Dinukil dari kitab asy-Syi’ah wal Qur’an, hlm. 31—32, karya Ihsan Ilahi Zhahir)
Bahkan salah seorang “ahli hadits” mereka yang bernama Husain bin Muhammad at-Taqi an-Nuri ath-Thabrisi telah mengumpulkan sekian banyak riwayat dari para imam mereka yang ma’shum (menurut mereka), di dalam kitabnya Fashlul Khithab fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab, yang menjelaskan bahwa Al-Qur’an yang ada ini telah mengalami perubahan dan penyimpangan.
b.    Tentang sahabat Rasulullah.
Diriwayatkan oleh “imam al-jarh wat ta’dil” mereka (al-Kisysyi) di dalam kitabnya Rijalul Kisysyi (hlm. 12—13) dari Abu Ja’far (Muhammad al-Baqir) bahwa ia berkata, “Manusia (para sahabat) sepeninggal Nabi, dalam keadaan murtad kecuali tiga orang,” maka aku (rawi) berkata, “Siapakah tiga orang itu?” Ia (Abu Ja’far) berkata, “Al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi…” kemudian menyebutkan surat Ali Imran ayat ke-144. (Dinukil dari asy-Syi’ah al-Imamiyyah al-Itsna ‘Asyariyyah fi Mizanil Islam, hlm. 89)
Ahli hadits mereka, Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini berkata, “Manusia (para sahabat) sepeninggal Nabi dalam keadaan murtad kecuali tiga orang: al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi.” (al-Kafi, 8/248, dinukil dari asy-Syi’ah wa Ahlil Bait, hlm. 45, karya Ihsan Ilahi Zhahir)
Demikian pula yang dinyatakan oleh Muhammad Baqir al-Husaini al-Majlisi di dalam kitabnya Hayatul Qulub, 3/640. (Lihat kitab asy-Syi’ah wa Ahlil Bait, hlm. 46)
Adapun sahabat Abu Bakr dan ‘Umar , dua manusia terbaik setelah Rasulullah, mereka cela dan laknat. Bahkan berlepas diri dari keduanya merupakan bagian dari prinsip agama mereka. Oleh karena itu, didapati dalam kitab bimbingan doa mereka (Miftahul Jinan, hlm. 114), wirid laknat untuk keduanya:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ، وَالْعَنْ صَنَمَيْ قُرَيْشٍ وَجِبْتَيْهِمَا وَطَاغُوْتَيْهِمَا وَابْنَتَيْهِمَا
“Ya Allah, semoga shalawat selalu tercurahkan kepada Muhammad dan keluarganya, laknatlah kedua berhala Quraisy (Abu Bakr dan Umar), setan dan thaghut keduanya, serta kedua putri mereka….”
Yang dimaksud dengan kedua putri mereka adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah dan Hafshah (pen). (Dinukil dari kitab al-Khuthuth al-‘Aridhah, hlm. 18, karya as-Sayyid Muhibbuddin al-Khatib)
Mereka juga berkeyakinan bahwa Abu Lu’lu’ah al-Majusi, si pembunuh Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab, adalah seorang pahlawan yang bergelar “Baba Syuja’uddin” (seorang pemberani dalam membela agama). Hari kematian ‘Umar dijadikan sebagai hari “Iedul Akbar”, hari kebanggaan, hari kemuliaan, kesucian, hari barakah, serta hari sukaria. (al-Khuthuth al-‘Aridhah, hlm. 18)
Adapun ‘Aisyah dan para istri Rasulullah  lainnya, mereka yakini sebagai pelacur—na’udzu billah min dzalik—. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab mereka Ikhtiyar Ma’rifatir Rijal (hlm. 57—60) karya ath-Thusi, dengan menukilkan (secara dusta) perkataan sahabat Abdullah bin ‘Abbas  terhadap ‘Aisyah, “Kamu tidak lain hanyalah seorang pelacur dari sembilan pelacur yang ditinggalkan oleh Rasulullah….” (Dinukil dari kitab Daf’ul Kadzibil Mubin al-Muftara Minarrafidhati ‘ala Ummahatil Mukminin, hlm. 11, karya Dr. Abdul Qadir Muhammad ‘Atha)
Demikianlah, betapa keji dan kotornya mulut mereka. Oleh karena itu, al-Imam Malik bin Anas t berkata, “Mereka itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk menghabisi Nabi  namun tidak mampu. Maka akhirnya mereka cela para sahabatnya agar kemudian dikatakan bahwa ia (Nabi Muhammad) adalah seorang yang jahat. Karena, kalau memang ia orang saleh, niscaya para sahabatnya adalah orang-orang saleh.” (ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimirrasul, hlm. 580)
c. Tentang imamah (kepemimpinan umat)
Imamah menurut mereka merupakan rukun Islam yang paling utama3. Diriwayatkan dari al-Kulaini dalam al-Kafi (2/18) dari Zurarah dari Abu Ja’far, ia berkata, “Islam dibangun di atas lima perkara:… shalat, zakat, haji, shaum, dan wilayah (imamah)…” Zurarah berkata, “Aku katakan, mana yang paling utama?” Ia berkata, “Yang paling utama adalah wilayah.” (Dinukil dari Badzlul Majhud, 1/174)
Imamah ini (menurut mereka, red.) adalah hak ‘Ali bin Abu Thalib dan keturunannya, sesuai dengan nash wasiat Rasulullah . Adapun selain mereka (Ahlul Bait) yang telah memimpin kaum muslimin, seperti Abu Bakr, ‘Umar, dan yang sesudah mereka hingga hari ini, walaupun telah berjuang untuk Islam, menyebarkan dakwah dan meninggikan kalimatullah di muka bumi, serta memperluas dunia (wilayah) Islam, maka sesungguhnya mereka hingga hari kiamat adalah para perampas (kekuasaan). (Lihat al-Khuthuth al-‘Aridhah, hlm. 16—17)
Mereka pun berkeyakinan bahwa para imam ini ma’shum (terjaga dari segala dosa) dan mengetahui hal-hal yang ghaib. al-Khumaini (Khomeini) berkata, “Kami bangga bahwa para imam kami adalah para imam yang ma’shum, mulai ‘Ali bin Abu Thalib hingga Penyelamat Umat manusia al-Imam al-Mahdi, sang penguasa zaman—baginya dan bagi nenek moyangnya beribu-ribu penghormatan dan salam—yang dengan kehendak Allah Yang Mahakuasa, ia hidup (pada saat ini) seraya mengawasi perkara-perkara yang ada.” (al-Washiyyah al-Ilahiyyah, hlm. 5, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/192)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t dalam kitabnya Minhajus Sunnah, benar-benar secara rinci membantah satu per satu kesesatan-kesesatan mereka, terkhusus masalah imamah yang selalu mereka tonjolkan ini.
d.    Tentang taqiyyah
Taqiyyah adalah berkata atau berbuat sesuatu yang berbeda dengan keyakinan, dalam rangka nifaq(kemunafikan), dusta, dan menipu umat manusia. (Lihat Firaq Mu’ashirah, 1/195 dan asy-Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah, hlm. 80)
Mereka berkeyakinan bahwa taqiyyah ini bagian dari agama. Bahkan sembilan per sepuluh agama. Al-Kulaini meriwayatkan dalam al-Kafi (2/175) dari Abu Abdillah, ia berkata kepada Abu Umar al-A’jami, “Wahai Abu ‘Umar, sesungguhnya 9/10 dari agama ini adalah taqiyyah. Tidak ada agama bagi siapa saja yang tidak ber-taqiyyah.” (Dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/196)
Oleh karena itu, al-Imam Malik  ketika ditanya tentang mereka, beliau berkata, “Jangan kamu berbincang dengan mereka dan jangan pula meriwayatkan dari mereka, karena sungguh mereka itu selalu berdusta.”
Demikian pula al-Imam asy-Syafi’i t berkata, “Aku belum pernah tahu ada yang melebihi Rafidhah dalam persaksian palsu.” (Mizanul I’tidal, 2/27—28, karya al-Imam adz-Dzahabi t)
e.    Tentang Raj’ah
Raj’ah adalah keyakinan hidupnya kembali orang yang telah meninggal. ‘Ahli tafsir’ mereka, al-Qummi ketika menafsirkan surat an-Nahl ayat 85, berkata, “Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah raj’ah.” Kemudian dia menukil dari Husain bin ‘Ali bahwa ia berkata tentang ayat ini, ‘Nabi kalian dan Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib ) serta para imam ‘alaihimus salam akan kembali kepada kalian’.” (Dinukil dari kitab Atsarut Tasyayyu’ ‘alar Riwayatit Tarikhiyyah, hlm. 32, karya Dr. Abdul ‘Aziz Nurwali)
f.    Tentang al-Bada’
Al-Bada’ adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Mereka berkeyakinan bahwa al-Bada’ ini terjadi pada Allah l. Bahkan mereka berlebihan dalam hal ini. Al-Kulaini dalam al-Kafi (1/111), meriwayatkan dari Abu Abdillah (ia berkata), “Tidak ada pengagungan kepada Allah yang melebihi al-Bada’.” (Dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/252)
Suatu keyakinan kafir yang sebelumnya diyakini oleh Yahudi4.
Demikianlah beberapa dari sekian banyak prinsip Syi’ah Rafidhah, yang darinya saja sudah sangat jelas kesesatan dan penyimpangannya. Namun sayang, tanpa rasa malu al-Khumaini (Khomeini) berkata, “Sesungguhnya dengan penuh keberanian aku katakan bahwa jutaan masyarakat Iran di masa sekarang lebih utama dari masyarakat Hijaz (Makkah dan Madinah, pen.) di masa Rasulullah n, serta lebih utama dari masyarakat Kufah dan Irak di masa Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib) dan Husein bin ‘Ali.” (al-Washiyyah al-Ilahiyyah, hlm. 16, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hlm. 192)
Perkataan Ulama tentang Syi’ah Rafidhah
Asy-Syaikh Dr. Ibrahim ar-Ruhaili di dalam kitabnya al-Intishar Lish Shahbi wal Aal (hlm. 100—153) menukilkan sekian banyak perkataan ulama tentang mereka. Namun karena sangat terbatasnya ruang rubrik ini, maka hanya bisa ternukil sebagiannya saja.
1.    Al-Imam ‘Amir asy-Sya’bi t berkata, “Aku tidak pernah melihat kaum yang lebih dungu dari Syi’ah.” (as-Sunnah, 2/549, karya Abdullah bin al-Imam Ahmad)
2.    Al-Imam Sufyan ats-Tsauri t ketika ditanya tentang seseorang yang mencela Abu Bakr dan ‘Umar c, beliau berkata, “Ia telah kafir kepada Allah l.” Kemudian ditanya, “Apakah kita menshalatinya (bila meninggal dunia)?” Beliau berkata, “Tidak, tiada kehormatan (baginya)….” (Siyar A’lamin Nubala, 7/253)
3.    Al-Imam Malik dan al-Imam Asy-Syafi’i rahimahumallah, telah disebut di atas.
4.    Al-Imam Ahmad bin Hanbal t berkata, “Aku tidak melihat dia (orang yang mencela Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Aisyah g) itu sebagai orang Islam.” (as-Sunnah, 1/493, karya al-Khallal)
5.    Al-Imam al-Bukhari t berkata, “Bagiku sama saja apakah aku shalat di belakang Jahmi (penganut Jahmiyah, red.) dan Rafidhi (penganut Syiah Rafidhah, red.), atau di belakang Yahudi dan Nashara (yakni sama-sama tidak boleh, red.). Mereka tidak boleh diberi salam, tidak dikunjungi ketika sakit, tidak dinikahkan, tidak dijadikan saksi, dan tidak dimakan sembelihan mereka.” (Khalqu Af’alil ‘Ibad, hlm. 125)
6.    Al-Imam Abu Zur’ah ar-Razi  t berkata, “Jika engkau melihat orang yang mencela salah satu dari sahabat Rasulullah n, maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq. Yang demikian itu karena Rasul bagi kita adalah haq dan Al-Qur’an haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah para sahabat Rasulullah n. Sungguh mereka mencela para saksi kita (para sahabat) dengan tujuan untuk meniadakan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka (Rafidhah) lebih pantas untuk dicela dan mereka adalah zanadiqah (orang-orang zindiq).” (al-Kifayah, hlm. 49, karya al-Khathib al-Baghdadi t)
Demikianlah selayang pandang tentang Syi’ah Rafidhah, mudah-mudahan bisa menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran. Amin.
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Pandangan ini tentunya bertentangan dengan ajaran Rasulullah n sebagaimana yang terdapat dalam banyak sabda beliau, di antaranya dalam Shahih Muslim, “Kitabul Imarah”.
2 Untuk lebih rincinya tentang Abdullah bin Saba’, lihat al-Kamil fit Tarikh, 3/154, karya Ibnul Atsir, al-Bidayah wan Nihayah, 7/176, karya Ibnu Katsir, dan Badzlul Majhud fi Itsbati Musyabahatir Rafidhati lil Yahudi, karya Abdullah al-Jumaili, 1/98—164.
3 Menurut mereka, rukun Islam juga ada lima, akan tetapi mereka mengganti dua kalimat syahadat dengan imamah.
4 Secara jujur, ada kemiripan antara prinsip (akidah) mereka dengan prinsip (akidah) Yahudi, sebagaimana yang dinyatakan oleh para ulama. Untuk lebih rincinya, lihat kitab Badzlul Majhud fi Itsbati Musyabahatir Rafidhati lil Yahud, karya Abdullah al-Jumaili.



oleh: salafymalaysia

Bahaya isbal

Peringatan Bagi Para Pemuda Dari Bahayanya Isbal

 (Dipetik dari kitab " Peringatan Bagi Para Pemuda Dari Bahayanya Isbal" oleh Syaikh Abdullah Jarullah ibn Jarullah ")
1 : LARANGAN ISBAL 
2 : HUKUM ISBAL BAGI LELAKI 
3 : HUKUM ISBAL KERANA SOMBONG DAN TIDAK SOMBONG
4 : TIDAK BOLEH ISBAL SAMA SEKALI
5 : HUKUM MEMANJANGKAN SELUAR 
6 : ISBAL TANPA KESOMBONGAN

1 : LARANGAN ISBAL

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan nikmat kepada para hambanya berupa pakaian yang menutup aurat-aurat mereka dan memperindah bentuk mereka. Dan ia telah menganjurkan untuk memakai pakaian takwa dan mengkhabarkan bahwa itu adalah sebaik-baiknya pakaian.
Saya bersaksi tidak ada yang diibadahi selain Allah Subhanahu wa Ta’ala yang maha Esa. Tiada sekutu baginya miliknya segenap kekuasan di langit dan di bumi dan kepadanya kembali segenap makhluk di hari Akhir. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu ialah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tidak ada satupun kebaikan kecuali telah diajarkan baginda kepada ummatnya. Dan tidak ada suatu kejahatan kecuali telah diperingatkan baginda kepada ummatnya agar jangan mlakukannya. Semoga Shalawat serta Salam tercurah kepada baginda, keluarganya, dan para sahabatnya dan orang yang berjalan di atas manhaj Baginda dan berpegang kepda sunnah baginda.
“Wahai kaum muslimin, bertakwalah kalian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman :
 Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat kalian dan pakaian indah itu perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala mudah mudahan mereka selalu ingat.” (QS Al A’raf -26)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan nikmat kepada para hambaNya berupa pakaian dan keindahan. Dan pakaian yang dimaksudkan oleh ayat ini ialah pakaian yang menutupi aurat. Dan ar riisy yang dimaksud ayat ini adalah memperindah secara zhohir. maka pakaian adalah suatu keperluaan yang penting, sedangkan ar riisy adalah keperluan pelengkap.
Imam Ahmad meriwatkan dalam musnadnya, beliau berkata :
Abu Umamah pernah memakai pakaian baru, ketika pakaian itu lusuh ia berkata :
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan pakai ini kepadaku guna menutupi auratku dan memperindah diriku dalam kehidupanku”, kemudian ia berkata : aku mendengar Umar Ibn Khattab berkata : Rasulullah bersabda : “Siapa yang mendapatkan pakaian baru kemudian memakainya. Dan kemudian telah lusuh ia berkata segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan pakaian ini kepadaku guna menutupi auratku dan memperindah diriku dalam kehidupanku dan mengambil pakaian yang lusuh dan menyedekahkannya, dia berada dalam pengawasan dan lindungan dan hijab Allah Subhanahu wa Ta’ala, hidup dan matinya.” (HR Ahmad, Tirmidzi dan Ibn Majah. Dan Turmudzi berkata hadis ini gharib )
Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan pakaian tubuh yang digunakan untuk menutup aurat, membalut tubuh dan memperindah bentuk, Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan bahwa ada pakaian yang lebih bagus dan lebih banyak faedahnya iaitu pakaian taqwa. Yang pakaian taqwa itu ialah menghiasi diri dengan berbagai keutamaan-keutamaan. Dan membersihkan dari berbagai kotoran. Dan pakaian taqwa adalah tujuan yang dimahukan. Dan siapa yang tidak memakai pakaian taqwa, tidak manfaat pakaian yang melekat di tubuhnya. Bila seseorang tidak memakai pakaian taqwa, berarti ia telanjang walaupun ia berpakaian.
Maksudnya :
Pakaian yang disebut tadi adalah agar kalian agar mengingat nikmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan menyukurinya. Dan hendaknya kalian ingat bagaimana kalian memerlukan kepada pakaian dhahir dan bagaimana kalian memelukan kepada pakaian batin. Dan kalian tahu faedah pakaian batin yang tidak lain adalah pakaian taqwa.
Wahai para hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, sesungguhnya pakaian adalah salah satu nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para hambanya yang wajib disyukuri dan dipuji. Dan pakaian itu memiliki beberapa hukum syariat yang wajib diketahui dan diterapkan. Para pria memiliki pakaian khusus dalam segi jenis dan bentuk.
Wanita juga memiliki pakaian khusus dalam segi jenis dan bentuk. Tidak boleh salah satunya memakai pakaian yang lain. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melaknat laki-laki yang meniru wanita dan wanita yang meniru laki laki.(HR Bukhari, Abu Daud, Turmudzi dan Nasa’i).
Dan Nabi juga bersabda :
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknat wanita yang memakai pakaian laki-laki dan laki-laki yang memakai pakaian wanita.”( HR Ahmad, Abu Daud, Nasa’I, Ibnu Majah, dan Ibnu Hiban dan beliau mensahihkannya, serta Al Hakim, beliau berkata : Hadits ini shahih menurut syarat Muslim).
Haram bagi lelaki untuk melakukan Isbal pada sarung, pakian, dan celana. Dan ini termasuk dari dosa besar.
Isbal adalah menurunkan pakaian di bawah mata kaki. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman :
Dan janganlah engkau berjalan diatas muka bumi ini dengan sombong, kerana sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak suka kepada setiap orang yang sombong lagi angkuh.” ( Luqman: 18 )
Dari Umar Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasullulah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :
Barangsiapa yang menyeret pakaiannya kerana sombong, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya di hari kiamat.” (HR Bukhari dan yang lainnya ).
Dan dari Ibnu umar juga, Nabi bersabda :
Isbal berlaku bagi sarung, gamis, dan serban. Barang siapa yang menurunkan pakaiannya karena sombong, tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat.” ( Hr Abu Daud, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Dan hadits ini adalah hadits yang sahih ).
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, baginda bersabda :
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat orang yang menyeret sarungnya kerana sombong”. (Muttafaq ‘alaihi)
Dalam riwayat Imam Ahmad dan Bukhari dengan bunyi :
Apa saja yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka tempatnya di Neraka.”
Rasullullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda :
Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat. Tidak dilihat dan dibersihkan (dalam dosa) serta akan mendapatkan azab yang pedih, iaitu seseorang yang melakukan isbal (musbil), pengungkit pemberian, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu.” (Hr Muslim, Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Wahai para hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam keadaan kita mengetahi ancaman keras bagi pelaku Isbal, kita lihat sebagian kaum muslimin tidak serius dalam masalah ini. Dia membiarkan pakaiannya atau seluarnya turun melewati kedua mata kaki. Bahkan kadang-kadang sampai menyapu tanah. Ini adalah merupakan kemungkaran yang jelas. Dan ini merupakan keharaman yang menjijikan. Dan merupakan salah satu dosa yang besar. Maka wajib bagi orang yang melakukan hal itu untuk segera bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan juga segera menaikkan pakaiannya kepada sifat yang disyari’atkan.
Rasullullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Sarung seorang mukmin sebatas pertengahan kedua betisnya. Tidak mengapa ia menurunkan dibawah itu selama tidak menutupi kedua mata kaki. Dan yang berada dibawah mata kaki tempatnya di neraka. (HR Malik dalam Muwaththa’ ,dan Abu Daud dengan sanad yang sahih)
Ada juga pihak yang selain pelaku Isbal, iaitu orang-orang yang menaikan pakaian mereka di atas kedua lututnya, sehingga tampak paha-paha mereka dan sebagainya, sebagaimana yang dilakukan atlit, di lapangan-lapangan. Dan ini juga dilakukan oleh sebahagian pekerja.
Kedua paha adalah aurat yang wajib ditutupi dan haram dibuka. Dari ‘Ali Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Jangan engkau singkap kedua pahamu dan jangan melihat paha orang yang masih hidup dan juga yang telah mati.” (HR Abu Daud, Ibnu Majah, dan Al Hakim. Al Arnauth berkata dalam Jami’il Ushul 5/451 : “sanadnya hasan”)
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan manfaat kepadaku dan anda sekalian melalui hidayah kitab-Nya. Dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendengarkan ucapan yang benar kejadian mengikutinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala Ta’ala berfirman :
Apa yang diberikan Rasul kepada kalian, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kalian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat keras hukuman-Nya (Al Hasyr : 7)
2 : HUKUM ISBAL BAGI LELAKI
Rasulullah bersabda :
Apa yang ada di bawah kedua mata kaki berupa sarung (kain) maka tempatnya di neraka” (HR.Bukhori)
Dan baginda berkata lagi ;
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat orang yang menyeret sarungnya kerana sombong”.
dan dalam sebuah riwayat yang berbunyi :
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat di hari kiamat kepada orang-orang yang menyeret pakaiannya kerana sombong.” (HR. Malik, Bukhari, dan Muslim)
dan baginda juga bersabda :
 Ada 3 golongan yang tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan ( dari dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, iaitu pelaku Isbal (musbil), pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim, Ibn Majah, Tirmidzi, Nasa’i).
Musbil (pelaku Isbal) adalah seseorang yang menurunkan sarung atau seluarnya kemudian melepasi kedua mata kakinya. Dan Al mannan yang tersebut pada hadist di atas adalah orang yang mengungkit apa yang telah ia berikan. Dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu adalah seseorang yang dengan sumpah palsu ia mempromosikan dagangannya. Dia bersumpah bahwa barang yang ia beli itu dengan harga sekian atau dinamai dengan ini atau dia menjual dengan harga sekian padahal sebenarnya ia berdusta. Dia bertujuan untuk melariskan dagangannya.
Dalam sebuah hadist yang berbunyi :
Ketika seseorang berjalan dengan memakai perhiasan yang membuat dirinya bangga dan bersikap angkuh dalam langkahnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melipatnya dengan bumi kemudian dia terbenam di dalamya hingga hari kiamat. (HR. Mutafaqqun ‘Alaihi)
Rasulullah bersabda :
 Isbal berlaku pada sarung, gamis, serban. Siapa yang menurunkan sedikit saja kerana sombong tidak akan dilihat Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat.” (HR Abu Dawud dengan sanad Shohih).
Hadist ini bersifat umum. Mencakupi pakaian seluar dan yang lainnya yang yang masih tergolong pakaian. Rasulallah Shallallahu ‘alaihi wassalam mengkhabarkan dengan sabdanya ;
 Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima shalat seseorang yang melakukan Isbal.” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shahih. Imam Nawawi mengatakan di dalam Riyadlush Sholihin dengan tahqiq Al Anauth hal: 358)
Melalui hadist-hadist Nabi yang mulia tadi menyatakan bahwa menurunkan pakaian di bawah kedua mata kaki dianggap sebagai suatu perkara yang haram dan salah satu dosa besar yang mendapatkan ancaman keras berupa neraka. Memendekkan pakaian hingga setengah betis lebih bersih dan lebih suci dari kotoran kotoran . Dan itu juga merupakan sifat yang lebih bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Oleh kerana itu, wajib bagimu… wahai saudaraku muslimin…, untuk memendekkan pakaianmu diatas kedua mata kaki karena taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengharapkan pahala-Nya dengan mentaati Rasullullah.
Dan juga kamu melakukannya kerana takut akan hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengharapkan pahala-Nya. Agar engkau menjadi panutan yang baik bagi orang lain. Maka segeralah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan melakkukan taubat nasuha (bersungguh-sungguh) dengan terus melaksanakan ketaatan kepada-Nya. Dan hendaknya engkau telah menyesal atas apa yang kau perbuat.
Hendaknya engkau sungguh-sungguh tidak untuk tidak mengulangi perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dimasa mendatang, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubat orang yang mau bertaubat kepada-Nya, karena ia maha Penerima Taubat lagi maha Penyayang.
“Ya Allah Subhanahu wa Ta’ala, terimalah taubat kami, sungguhnya engkau maha Penerima Taubat lagi maha Penyayang.”
“Ya Allah Subhanahu wa Ta’ala berilah kami dan semua saudara saudara kami kaum muslimin bimbingan untuk menuju apa yang engkau ridhoi, kerana sesungguh-Nya engkau maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Dan semoga shalawat serta salam tercurahkan kepada Muhammad, keluarganya dan sahabatnya.”
3 : HUKUM ISBAL KERANA SOMBONG DAN TIDAK SOMBONG
Pertanyaan :
Apakah hukumnya memanjangkan pakaian jika dilakukan kerana sombong atau kerana tidak sombong. Dan apa hukum jika seseorang terpaksa melakukakannya, apakah kerana paksaan keluarga atau kerana dia kecil atau kerana sudah menjadi kebiasaan ?
Jawab :
Hukumnya haram sebagaimana sabda Nabi :
Apa yang di bawah kedua mata kaki berupa sarung maka tempatnya di Neraka ” (HR.Bukhari dalam sahihnya )
Imam Muslim meriwayatkan dalam shahih Abu Dzar ia berkata: Rasulullah bersabda:
 Ada 3 golongan yang tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari Kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan (dari dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, iaitu pelaku Isbal (musbil), pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu.” ( HR. Muslim, Ibn Majah, Tirmidzi, Nasa’i).
Kedua hadist ini semakna dengan mencakupi musbil yang sombong atau kerana sebab lain. Kerana Rasulullah mengucapkan dengan bentuk umum tanpa mengkhususkan . Kalau ia melakukan kerana sombong maka dosa yang ia lakukan akan lebih besar lagi dan ancamannya lebih keras, Rasulullah bersabda :
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat orang yang menyeret sarungnya kerana sombong”. (Muttafaq ‘alaihi)
Tidak boleh menganggap bahwa larangan melakukan Isbal itu hanya kerana sombong saja, kerana rasullullah tidak memberikan pengecualian hal itu dalam kedua hadist yang telah kita sebutkan tadi, sebagaiman juga baginda tidak memberikan pengecualian dalam hadist yang lain, Rasul bersabda :
Jauhilah olehmu Isbal, kerana ia termasuk perbuaan yang sombong” (HR Abu Daud, Turmudzi dengan sanad yang shahih).
Baginda menjadikan semua perbuatan Isbal termasuk kesombongan kerana secara umum perbuatan itu tidak dilakukan kecuali memang demikian. Siapa yang melakukannya tanpa diiringi rasa sombong maka perbuatannya boleh menjadi perantara menuju kesana. Dan perantara dihukumi sama dengan tujuan . dan semua perbuatan itu adalah perbuatan berlebihan lebihan dan mengancam terkena najis dan kotoran.
Oleh kerana itu Umar Ibn Khatab melihat seorang pemuda berjalan dalam keadaan pakaiannya menyeret di tanah, ia berkata kepadanya : “Angkatlah pakaianmu, kerana hal itu adalah sikap yang lebih taqwa kepada Rabbmu dan lebih suci bagi pakaianmu ( Riwayat Bukhari lihat juga dalam al Muntaqo min Akhbaril Musthafa 2/451 )
Adapun Ucapan Nabi kepada Abu Bakar As Shiddiq ketika ia berkata :
Wahai Rasulullah, sarungku sering melorot (lepas ke bawah) kecuali aku benar- benar menjaganya. Maka baginda bersabda :”Engkau tidak termasuk golongan yang melakukan itu karena sombong.” (Muttafaq ‘alaih).
Yang dimaksudkan oleh oleh Rasulullah bahwa orang yang benar-benar menjaga pakaiannya bila melorot kemudian menaikkannya kembali tidak termasuk golongan orang yang menyeret pakaiannya kerana sombong. Kerana dia (yang benar-benar menjaga ) tidak melakukan Isbal. Tapi pakaian itu melorot (turun tanpa sengaja) kemudian dinaikkannya kembali dan menjaganya benar-benar. Tidak diragukan lagi ini adalah perbuatan yang dimaafkan.
Adapun orang yang menurunkannya dengan sengaja, apakah dalam bentuk cseluar atau sarung atau gamis, maka ini termasuk dalam golongan orang yang mendapat ancaman, bukan yang mendapatkan kemaafan ketika pakaiaannya turun. Karena hadits-hadits shahih yang melarang melakukan Isbal besifat umum dari segi teks, makna dan maksud.
Maka wajib bagi setiap muslim untuk berhati-hati terhadap Isbal. Dan hendaknya dia takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika melakukannya. Dan janganlah dia menurunkan pakaiannya di bawah mata kaki dengan mengamalkan hadits-hadits yang shahih ini. Dan hendaknya juga itu dilakukan karena takut kepada kemurkaan Alllah dan hukuman-Nya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik pemberi taufiq.
(Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn Bazz dinukil dari Majalah Ad Da’wah hal 218).
4 : TIDAK BOLEH ISBAL SAMA SEKALI
Pertanyaan:
Bila seeorang melakukan Isbal pada pakaiannya tanpa diiringi rasa sombong dan angkuh, apakah itu juga diharamkan baginya? Dan apakah hukum Isbal itu juga berlaku pada lengan pakaian?
Jawab:
Isbal tidak boleh dilakukan secara mutlak berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam :
Apa yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka itu tempatnya di neraka.” (HR Bukhari dalam shahihnya)
Dan juga karena sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir Ibn Sulaim:
Jauhilah Isbal olehmu, kerana itu tergolong kesombongan.” (HR Abu Daud dan Turmudzi dengan sanad yang shahih)
Dan juga karena sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang tsabit dari baginda:
Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan dari dosa serta mereka akan mendapat aazab yang sangat pedih, iaitu pelaku Isbal, pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR Muslim dalam shahihnya)
Tidak ada beza apakah dia melakukan kerana sombang atau tidak. Itu berdasarkan keumuman banyak hadits. Dan juga kerana secara keumuman itu dilakukan kerana sombong dan angkuh, walau dia tidak bermaksud demikian. Perbuataannya adaalah perantara menuju kesombongan dan keangkuhan.
Dan dalam perbuatan itu juga ada mengandung unsur meniru wanita dan mempermudah pakaian dikenai kotoran dan najis. Serta perbuatan itu juga menunjukkan sikap berlebih-lebihan. Siapa yang melakukannya kerana sombong, maka dosanya lebih besar. Berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam :
Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat.” (HR Bukhari dan Muslim)
Adapun sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam kepada Abu Bakar Ash Shiddiq Radliyallah’anhu ketika dia mengatakan kepada baginda bahwa sarungnya sering melorot kecuali kalau dia benar-benar menjaganya:
Sesungguhnya engkau tidak termasuk orang yang melakukannya karena sombong.”(HR Bukhari dan Muslim)
Ini adalah bantahan bagi orang yang melakukannya, tapi berdalil dengan apa yang dilakukan Abu Bakar Ash Shiddiq. Bila dia memang benar-benar menjaganya dan tidak sengaja membiarkannya, itu tidak mengapa.
Adapun lengan baju, maka sunnahnya tidak melewati pergelangan
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik pemberi taufiq.
(Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn Bazz dinukil dari Majalah Ad Da’wah hal 220).
5 : HUKUM MEMANJANGKAN SELUAR
Pertanyaan:
Sebahagian orang ada yang memendekkan pakaiannya (gamisnya) di atas kedua mata kaki, tapi seluarnya tetap panjang. Apa hukum hal itu?
Jawab:
Isbal adalah perbuatan haram dan mungkar, sama saja apakah hal itu terjadi pada gamis atau sarung. Dan Isbal adalah yang melewati kedua mata kaki berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
Apa yang di bawah kedua mata kaki berupa sarung, maka tempatnya di neraka.” (HR Bukhari)
Dan baginda Shalallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan dari dosa serta mereka akan mendapat aazab yang sangat pedih, iaitu pelaku Isbal, pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR Muslim dalam shahihnya)
Baginda juga bersabda kepaada sebahagian para sahabatnya:
Jauhilah Isbal olehmu, kerana itu termasuk kesombongan.” (HR Abu Daud dan Turmudzi dengan sanad yang shahih)
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Isbal termasuk salah satu dosa besar, walau pelakunya mengira bahwa dia tidak bermaksud sombong ketika melakukannya, berdasarkan keumumannya. Adapun orang yang melakukannya karena sombong, maka dosanya lebih besar berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam :
Siapa yang menyeret pakaiannya kerana sombong, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya di hari kiamat.” (HR Bukhari dan Muslim)
Kerana perbuatan itu menggabung antara Isbal dan kesombongan. Kita mengharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Dia memberi keampunan. Adapun ucapan Nabi Shalallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Bakr ketika dia berkata kepada Baginda:
 Wahai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, sarungku sering turun kecuali kalau aku benar-benar menjaganya.” Maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:” Engkau tidak termasuk orang yang melakukan hal itu kerana sombong.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits ini tidak menunjukkan bahwa Isbal boleh dilakukan bagi orang yang tidak kerana sombong. Tapi hadits ini menujukkan bahwa orang yang sarungnya atau seluarnya melorot tanpa maksud sombong kemudian dia benar-benar menjaganya dan membetulkannya tidak berdosa. Adapun menurunkan seluar di bawah kedua mata kaki yang dilakukan sebahagian orang adalah perbuatan yang dilarang. Dan yang sesusai dengan sunnah adalah hendaknya gamis atau yang sejenisnya, ujungnya berada antara setengah betis sampai mata kaki dengan mengamalkan semua hadits-hadits tadi.
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik pemberi taufiq
(Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn Bazz dinukil dari Majalah Ad Da’wah hal 221).
6 : ISBAL TANPA KESOMBONGAN
Pertanyaan :
Apakah menurunkan pakaian melewati kedua mata kaki (Isbal) bila dilakukan tanpa sombong didanggap suatu yang haram atau tidak ?
Jawab :
Menurunkan pakaian di bawah kedua mata kaki bagi lelaki adalah perkara yang haram. Apakah itu kerana sombong atau tidak. Akan tetapi jika dia melakukannya kerana sombong maka dosanya lebih besar dan keras, berdasarkan hadist yang tsabit dari Abu Dzar dalam Shahih Muslim, bahwa Rasulullah bersabda :
Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat, tidak dibersihkan dari dosa serta mereka akan mendapatkan azab yang pedih.”
Abu Dzarr berkata : “Alangkah rugi dan bangkrutnya mereka ya Rasulullah!
Baginda berkata: “(Mereka adalah pelaku Isbal, pengungkit pemberian dan orang yang menjual barangnya dengan sumpah palsu” ( HR Muslim dan Ashabus Sunan)
Hadis ini adalah hadist yang mutlak akan tetapi dirinci dengan hadist Ibnu umar, dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersada :
Siapa yang menyeret pakaiannya kerana sombong tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa ta’ala pada hari kiamat.”(HR Bukhari)
Kemutlakan pada hadist Abu Dzar dirinci oleh hadist Ibnu Umar, jika dia melakukan kerana sombong Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya, membersihkannya dan dia akan mendapatkan azab sangat pedih. Hukuman ini lebih berat dari pada hukuman bagi orang yang tidak menurunkan pakaian tanpa sombong. Karena Nabi berkata tentang kelompok ini dengan:
Apa yang berada dibawah kedua mata kaki berupa sarung maka tempatnya di neraka” (HR Bukhari dan Ahmad)
Ketika kedua hukuman ini berbeza, tidak boleh membawa makna yang mutlak kepada pengecualian, kerana kaedah yang membolehkan untuk megecualikan yang mutlak adalah dengan syarat bila kedua nash sama dari segi hukum.
Adapun bila hukum berbeza maka tidak boleh salah satunya dikecualaikan dengan yang lain. Oleh kerana ini ayat tayammum yang berbunyi :
Maka sapulah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian dengan tanah itu.” (Al Maidah :6).
Tidak boleh kita kecualikan dengan ayat wudlu yang berbunyi :
Maka basuhlah wajah wajah kalian dan tangan tangan kalian sampai siku. ( Al Maidah : 6).
Maka kita tidak boleh melakukan tayammum sampai kesiku. Itu diriwayatkan oleh Malik dan yang lainnya dari dari Abu Said Al Khudri bahwa Nabi bersabda :
Sarung seseorang mukmin sampai setengah betisnya. Dan apa yang berada dibawah mata kaki, maka tempatnya di neraka. Dan siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya.”
Disini Nabi menyebutkan dua contoh dalam hukum kedua hal itu, kerana memang hukum keduanya berbeza. Keduanya berbeda dalam perbuatan, maka juga berbeza dalam hukum. Dengan ini jelas kekeliruan dan yang mengecualikan sabda Rasulullah ;
Apa yang dibawah mata kaki tempatnya dineraka.”
Dengan sabda baginda :
Siapa yang menyeret pakaiannya kerana sombong, tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Memang ada sebahagian orang yang bila ditegur perbuatan Isbal yang dilakukannya, dia berkata: Saya tidak melakuakan hal ini kerana sombong.
Maka kita katakan kepada orang ini : Isbal ada dua jenis, iaitu jenis hukumnnya ; adalah bila seseorang melakukannya kerana sombong maka dia tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendapatkan siksa yang sangat pedih. berbeza dengan orang yang melakukan Isbal tidak kerana sombong. orang ini akan mendapatkan adzab, tetapi ia masih di ajak bicara, dilihat dan dibersihkan dosanya. Demikian kita katakan kepadanya.
(diambil dari As’ilah Muhimmah Syaikh Muhammad Ibn Sholeh Uthaimin
(Dipetik dari kitab " Peringatan Bagi Para Pemuda Dari Bahayanya Isbal" oleh Syaikh Abdullah Jarullah ibn Jarullah ")

oleh: salafymalaysia